Kamis, 28 Agustus 2008

PERUBAHAN IAIN MENJADI UIN

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Cara memandang ilmu pengetahuan vis a vis agama secara dikotomik sudah sejak lama ditinggalkan orang. Bahkan dalam sejarah pemikiran Islam, jalan pikiran seperti itu ditengarai menjadi sebab terjadinya kemunduran umat Islam sejak abad 12 yang lalu. Orang Islam yang mempersepsi bahwa ajaran Islam hanyalah mencakup fiqih, tauhid, akhlaq-tasawuf, tarikh dan sejenisnya, disadari atau tidak telah menjadikan umat Islam tertinggal dari komonitas lainnya.(Prof.Dr.Imam Suprayogo) Kemajuan peradaban umat manusia, sekalipun hal itu penting, bukanlah dihasilkan oleh kemajuan ilmu agama, melainkan oleh teknologi, kedokteran, perbankan, geologi, astronomi, fisika-kimia, manajemen dan seterusnya. Setidak-tidaknya, sumbangan ilmu fiqih, tauhid dan akhlaq dalam membangun peradaban dunia, sekalipun ada, tidak sebesar yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melihat dan menyadari kenyataan itu, tidak lantas kemudian para pemikir Islam menafikan peran dan fungsi ajaran Islam. Ajaran Islam yang bersumber al qur’an dan al hadits tetap diyakini kebenarannya. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia juga dipandang memiliki kekuatan dalam memajukan peradaban ini. Bertolak dari penglihatan seperti itu, muncul pertanyaan: “Adakah yang salah dari cara memandang agama pada satu sisi dan ilmu pengetahuan modern pada sisi lainnya”?
Komitmen yang mendasari perubahan IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah integrasi keilmuan agama dan umum. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dewasa ini upaya untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum terus bergulir tiada henti. Munculnya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan telah mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan sosial, agamawan, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Konsep yang pertama kali digulirkan oleh Al-Faruqi dimaksudkan sebagai “filter” terutama terhadap “ilmu-ilmu produk barat” yang melenceng jauh dari norma-norma Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Al Faruqi (1982) dalam Islamic of Knowledge, ada beberapa kerangka kerja yang digunakan untuk merumuskan praktek Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu ;
1). Penguasaan disiplin ilmu modern.
2). Penguasaan akidah dan nilai-nilai Islam
3). Penentuan relevansi antara akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4). Pencarian sintesa kreatif antara unsur-unsur akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
5). Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.

2. Rumusan Masalah.
Untuk lebih memfokuskan paparan permasalahan pada makalah ini penulis membatasi pada rumusan masalah sebagai berikut;
Mengapa IAIN/STAIN harus berubah menjadi UIN, dan bagaimana integrasi kurikulumnya ?.
Sejauh mana IAIN/STAIN dalam mensikapi perubahan tersebut?

3. Metodologi
Makalah ini disusun menggunakan metode telaah pustaka, dengan cara mengutip pendapat dari tulisan yang telah dibaca, kemudian ditelaah dan dianalisis sesuai dengan kemampuan penulis.
Untuk pengumpulan data pada makalah ini digunakan metode pengumpulan data literer, yakni dengan terlebih dahulu menelusuri buku – buku yang ada relevansinya dengan masalah – masalah yang dibahas dan melalui jaringan internet untuk dikaji guna mencari landasan upaya pemecahan persoalan.





B. PEMBAHASAN MASALAH

1. Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN.
Sebuah pertanyaan yang sangat amat sederhana tetapi membutuhkan jawaban yang sangat cerdas. Mengapa STAIN/IAIN harus berubah menjadi UIN?.
Status sebagai STAIN hanya memungkinkan lembaga ini menangani dan menekuni satu bidang keilmuan saja, seperti tarbiyah saja, atau syariah saja; sedangkan status IAIN memberikan ruang yang lebih besar, yakni menangani bidang-bidang keilmuan yang beragam, namun keragaman bidang kajian itu hanyalah dalam lingkup kajian Islam. Sehingga baik dalam status STAIN maupun IAIN, secara konseptual semua itu tidak relevan dengan keyakinan dasar Islam yang menyatakan sebagai agama universal. Konsep Islam Universal dalam wadah Universitas Islam Negeri (UIN) mewujudkan integrasi dan sintesis ilmu-ilmu keislaman (agama) dengan ilmu-ilmu umum (sains) dalam sebuah bangunan peradaban Islam. Dalam hal ini, ilmu-ilmu keislaman, seperti tarbiyah, ushuluddin, syariah, dakwah, adab, dan lainnya, diperankan sebagai basis keilmuan. Pada basis keilmuan ini, Wahyu al-Qur’an dan al-Hadits-yang melahirkan ilmu-ilmu keislaman-diletakkan berdampingan dengan akal, observasi, dan eksperimentasi yang melahirkan ilmu-ilmu alamiah, atau ilmu-ilmu umum. Dua sisi basis keilmuan ini diperankan dan diaktifkan secara serempak untuk melahirkan bidang-bidang keilmuan alam, sosial, dan humaniora. Dari tiga bidang keilmuan ini akan lahir berbagai disiplin ilmu yang mencerminkan kesemestaan Islam. Dari bidang ilmu alam akan lahir ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu alamiah lainnya; dari bidang sosial akan lahir ilmu psikologi, Sosiologi, Sejarah, Hukum, Manajemen, dan lain-lain; sedangkan dari bidang Humaniora akan lahir ilmu-ilmu filsafat, seni, bahasa, sastra, dan lain-lain. Semua bidang dan disiplin keilmuan ini akan menjadi bagian integral dari proses pendidikan Islam ketika IAIN/STAIN sudah berubah menjadi UIN. (Hady, 2004:5-6).
Meskipun berubahnya sebagian IAIN/STAIN menjadi UIN secara legal-formal sudah terwujud dengan turunnya SK Presiden, masing-masing IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN Sultan Syarif Qasim Riau. Salah satu perubahan yang paling tampak dari pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN adalah penambahan fakultas serta perluasan disiplin dan bidang kajian. Fakultas yang sebelumnya hanya terkait dengan disiplin keilmuan dasar Islam, seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, Dakwah, dan Adab kemudian ditambah dengan beberapa fakultas yang mengkaji disiplin keilmuan yang tidak berkaitan langsung dengan disiplin dasar Islam, seperti Sains dan Teknologi, Ekonomi, Psikologi, Humaniora dan Budaya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwasannya dalam konteks UIN tidak membedakan adanya fakultas agama dan fakultas umum. Dalam hal ini akan dibuktikan pada struktur keilmuan yang dikembangkan di UIN tersebut, yakni semua mahasiswa-baik jurusan agama maupun jurusan umum-akan mendapatkan Mata Kuliah Ciri Khusus (MKCK) UIN meliputi Studi al-Qur’an, Studi Hadits, Studi Fiqh, Tasawuf, Teologi, Bahasa Arab dan lain-lain. Sehingga diharapkan output/ lulusan UIN akan menyandang gelar “Ulama yang Intelek Professional dan Intelek Profesional yang Ulama” Dalam pengamatan penulis, satu hal yang masih membutuhkan kerja keras kita dalam rangka benar-benar mewujudkan gerakan Islamisasi ilmu Pengetahuan, yaitu Kurikulum yang dikembangkan di UIN harus berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan di PT umum atau PT Islam yang telah lama berkembang. Berkaitan hal ini, penulis setuju dengan konsep yang dibangun ketika IAIN/STAIN berubah menjadi UIN, yakni UIN merupakan Perguruan Tinggi yang berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum dan bahkan berbeda dengan Perguruan Tinggi Islam yang telah ada sekarang. Kalau kita melihat perbedaan dengan Perguruan Tinggi Umum memang sudah nampak kelihatan, tetapi bagaimana perbedaan dengan Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama berkembang. UIN haruslah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan Perguruan Tinggi Umum. Bahkan juga tidak harus sama dengan Universitas Islam sejenis yang sudah lama berkembang. Dengan hadirnya UIN harus dapat memberikan banyak peran dan inovasi baru yang dapat ditawarkan. Atau dengan kata lain kehadiran UIN harus berani tampil beda dibandingkan dengan universitas lain yang selama ini masih dalam kompetensi institusi keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik dan moral. Berani tampil beda merupakan tantangan, sekaligus merupakan kesempatan mencari peluang-peluang baru sehingga peran-peran yang dimainkan akan terasa baru yang selama ini belum tergarap secara maksimal oleh perguruan Tinggi yang sudah ada. Kurikulum yang dikembangkan selama ini di PT Islam masih diwarnai dengan adanya dikotomisasi ilmu, hal ini dibuktikan masing-masing keilmuan (baca; mata kuliah) masih berdiri sendiri-sendiri. Harapan dengan lahirnya UIN adalah dalam kurikulum tidak ada lagi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, UIN harus mampu mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam setiap mata kuliah yang menjadi lahan garapannya, UIN harus mampu mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Dengan hadirnya UIN, sebagaimana yang dikatakan Zainuddin (2004:17) maka diharapkan dapat mencetak sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yakni keunggulan di bidang Sains dan Teknologi sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman. Misalkan di Fakultas Sains dan Teknologi mahasiswa diberikan mata kuliah Studi al-Qur’an, maka seharusnya materi yang diberikan tentu akan berbeda dengan materi yang diberikan pada mahasiswa Fakultas Syariah. Mata kuliah studi al-Qur’an bagi mahasiswa Sains dan Teknologi harus digunakan sebagai landasan/pijakan dalam rangka menggali ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam raya. Atau dengan kata lain materi yang diberikan kepada mahasiswa Sains dan teknologi adalah berkutat pada ayat-ayat tentang kekuasaan Tuhan, proses penciptaan manusia, kesehatan, reproduksi, lingkungan dan lainnya meskipun tidak mengesampingkan materi dasar tentang ketauhidan/keislaman. Di Fakultas Ekonomi materi al-Qur’an yang diberikan juga harus bersentuhan berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti: jual beli, riba, manajeman, dan lainnya. Begitu juga di Fakultas Psikologi harus benar-benar berbeda dengan kurikulum di Fakultas Psikologi PT Umum/PT Islam yang sudah berkembang lebih dulu. Bahkan boleh jadi kurikulum UIN Jakarta akan berbeda dengan kurikulum yang diterapkan di UIN Malang atau UIN Yogyakarta, begitu sebaliknya. Sehingga kurikulum yang ada benar-benar terintegrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dan yang lebih penting adalah kurikulum yang digunakan harus mampu menjawab pelbagai problem yang muncul di masyarakat. (www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125)

2. Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kehawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru
Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagai mana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin?. Mengapa harus berubah menjadi “Universitas” ? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang disandangnya selama 53 tahun (1951-2004)? Akankah struktur keilmuan , kurikulum dan silabinya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan? Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur struktur mata kuliah, kurikulum dan silabi pada prodi-prodi umum di UIN dan Universitas Umum yang lain? Bagai mana pola pembinaan dan Pengembangan dan Pengembangan minat dan bakat, ketrampilan dan kepribadian mahasiswa? Dan berbagai pertanyaan yang lain?
Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul, Pertama, yang harus digaris bawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, namun tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan penegasan itu, maka sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Isam masih tetap menjadi tugas utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh Winder mandate-nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik okus penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang adapada universitas.
Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini ( fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin), dari semula berdiri memanag telah dengan sengaja dibina, dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Sampai sekarang, masing-masing fakultas telah mempunyai sejumlah tenaga pengajar yang cukup kuat, dan dosen-dosen tetap bergelar magister dan doctor cukup memadahi. Usaha untuk mengembangkan tenaga pengajar yang sudah ada tetap berlangsung hinga sekarang baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarangtidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemology baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana sini, sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.
Ketiga, dalam rancang bangunfakultas yang berada dibawah UIN akan mengalami perubahan sesuai dengan prinsip dasar “Miskin struktur, kaya fungsi” seperti yang diminta oleh Kementrian Pndidikan Nasional saat meng-verifikasi prodi-prodi umum yang diusulkan untuk dibuka di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 Desember 2003 dan deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) saat melakukan rapat interdepartemental untuk membahas draft rancangan Keputusan Presiden pada tanggal 11 Maret 2004. Dalam diskusi forum think tank IAIN yang melibatkan seluruh pimpinan fakultas dan institut dan para pakar di IAIN sampai pada kesimpulan bahwa untuk memperkuat fakultas yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada fakultas – fakultas yang ada sekarang ini. Untuk sementara,fakultas-fakultas yang ada sekarang aklan berubah nama sebagai berikut:Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin, Sains dan Tehnologi serta Sosial dan Humaniora. Nama 5 Fakultas yang lama masih sama seperti ketika masih berada di IAIN, tetapi berbeda dari segi muatan metode, pendekatan serta sistem pembelajaran.
Keempat, berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika Sekolah Tinggi hanya menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah, maka perjalanan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) yang membuka lebih dari satu bidang ilmu sebenarnya menyalahi aturan dan nomenklatur yang biasa dikenal di lingkungan pendidkan tinggi. Sedang Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu (seperti yang ada pada IAIN sekarang, yaitu keilmuan Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin). Adapun Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial maupun humaniora.
Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daipada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupuin luar negeri menjadai terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat. Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah peneilitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.


3. Beberapa Perguruan Tinggi STAIN/IAIN dalam mensikapi perubahan menjadi UIN.
3.1. Idealisme UIN Malang ke Depan
Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Malang bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata, melainkan yang justru lebih diutamakan adalah tataran perilaku warga kampus. Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika UIN Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam pengabdian dan pergaulannya ditengah-tengah masyarakat. Islam membimbing mahluk manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh (kaffah),lahir dan bathin, keselamatan dunia dan akhirat,meliputi pengembanagan aspek spiritual,akidah,akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian,kasih sayang,keindahan dan kebersihan,hemat dan tidak boros,dapat dipercaya atau amanah dan istiqomah.Pilar-pilar itu disebut sebagai arkan al-jami’ah (rukun perguruan tinggi)yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu:
1. Tenaga dosen, yakni dosen yang mumpuni, baik dari sisi akhlak,spiritual,latar belakang pendidikan,jabatan akademik, dan kualitas serta kuantitas produktivitasnya.
2. Masjid,masjid dimaknai sebagai wahana pengembanaganspiritual, tempat berupaya bagi siapa saja termasuk warga kampus untuk mendekatkan diri pada Allah secara berjamaah.Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbol kekayaan spiritual umat islam yang kering makana karena tempat ibadah itu kurang maksimal dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan spiritual,maupun intelektual.
3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kukuh. Kultur yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa islami. Bentuk konkretnya adalah kebiasaan melakukakn shalat berjamaah, tadarus Al-Quran,shalat malam,menghargai waktu,disiplin, menghormati sesama kolega, menghargai ilmu sampai pada karakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan manajemen modern ebagai produk ilmu pengetahuan.
4. Perpustakaan.UIN Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan yang unggul,baik dari sisi koleksi maupun pelayanan.
5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam,UIN Malang menyadari betapa kitab suci Al-Quran dan hadist nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh melalui observasi,ksperimen maupun olah akal yang cerdas.
6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah,berupa ruang kuliah,ruang dosen tempat diskusi, dan lain-lain.
7. Tempat pelayanan administrasi kampus. Bagaimanapun kampus perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat,tepat ,dan santun. Dalam melayani siapa saja,entah dosen,karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip bangunan akhlakul karimah.
8. Pusat pengembangan seni dan olahraga. Kedua aspek ini perlu dikembanmgkan untuk mengembangkan watak strategis yang harus dimilikioleh setiap calon pemimpin,yaitu watak halus dan kasar tetapi spotif. Watak halus biasanya dikembamngkan lewat aktivitas seni, sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya dikembangkan melalui olah rasa. UIN Malang yang bermaksud mengembangkan calon pemimpin masa depan ya ng tangguh memerlukan wahana pelatihan olahraga dan seni.
9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian besar perguruan tinggi Iuslam adalah dalam hal pengembangan pendanaan.Akibatnya, mereka tidak mampu membangun performance kampus yang gagah dan bersih, memberikan imbalan tenaga pengajar yang cukup,merumuskan program peningkatan kualitas serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Saya berimajinasi bahwa UIN Malang sebagai penyandang nama”Islam”, kampusnya harus tampak gagah,bersih,tertib,disiplin;orang-orangnya jujur, sabar, tawakal dan istiqomah, dan semua pekerjaan dilakukan berdasarkan semangat kebersamaan dan dalam suasana kasih sayang, keikhlasan, tanggung jawab,senantiasa mengharapkan bimbingan dan petunjuk Yang Maha Kuasa, serta memiliki kesdaran sejarah yang tinggi. Atas dasar semangata seperti itu, maka kampus ini menjadi produktif, mampu menghasilkan karya-karya unggulan berupa penulisan buku, laporan penelitian, dan pemikiran-pemikiranyang diekspresikan pada berbagai media cetak yang telah disiapkan di dalam kampus maupun media di luar kampus. Keunggulan-keunggulan seperti itu secara langsung telah mendongk citra dan reputasi UIN Malang. UIN Malang terkesan bwerwibawa di tengah-tengah masyarakat perguruan tinggi pada umunya. Selain itu kampus ini dihuni orang –orang yang berakhlak mulia, mencintai, dan mernghargai serta mengembangkan ilmu pengetahuan, dosen mencintai mahasiswanya, dan demikian sebaliknya, para mahasiswa menghormati dosen-dosen mereka karena kapasitas akhlak, cinta, dam kedalaman ilmunya.
Performa fisik kampus UIN Malang harus senantiasa tampak bersih, taman dan rumputnyaditata rapi,tidak boros, lingkungannya dijaga baik, tenaga pengajar dan karyawannya selalu bahagia karena kebutuhan hidupnya tercukupi, karena itu mereka bangga akan statusnya sebagai warga UIN Malang. Kehidupan masyarakat kampus seperti digambarkan di atas yang dapat saya sebut sebagai perguruan tinggi Islam

3.2 . UIN Sunan Gunung Jati Bandung
Agama dapat memberikan makna pada ilmu pengetahuan yang tidak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan penggunaan cara berfikir dan cara bekerja yang lazim dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan, pada umumnya masih menuntut penafsiran yang lebih mutakhir dan menyeluruh, yang hanya dapat diberikan oleh ajaran agama yang bersangkutan, buat umat Islam tentu saja ajaran agama Islam. Ini berarti, bahwa para ahli agama diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengaitkan beraneka ragam pengetahuan yang pada hakekatnya bersifat sekuler dengan acuan yang terwujud sebagai ajaran agama.
Bukan pula berarti bahwa ilmu pengetahuan harus diganti dengan ajaran agama. Pengetahuan kedokteran seperti juga pengetahuan fisika, biologi, kimia, ilmu ekonomi, dan sosiologi, adalah pengetahuan ilmiah yang harus dipelajari, dipelihara, diajarkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan dengan ketekunan dan kerja keras, apapun agama atau ideologi yang dianut oleh masing-masing ahli. Semestinya tidak ada kedokteran Islam, atau Fisika Islam, sosiologi Islam. Akan tetapi, para tenaga ahli masing-masing bidang pengetahuan keahlian memerlukan sudut penglihatan, perspektif, yang memberikan pandangan yang lebih luas dan makna yang lebih dalam daripada yang diberikan oleh pengetahuan keahlian yang bersangkutan. Agamalah yang dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas dan makna yang lebih mendalam ini melalui para ahlinya.
Dalam masyarakat modern, semakin banyak jenis pekerjaan yang dituntut diselenggarakan oleh tenaga ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Juga dalam bidang agama, semakin banyak jenis pekerjaan yang dahulu tidak menuntut pengetahuan keahlian tertentu, menuntut agar tenaga-tenaga penyelenggara jenis pekerjaan yang bersangkutan memiliki pengetahuan keahlian tertentu yang biasanya diperoleh dari perguruan tinggi.
Pengetahuan keahlian dalam bidang-bidang pengetahuan keahlian tidak dapat berkembang bilamana tidak diselenggarakan kegiatan-kegiatan penelitian yang senantiasa menghasilkan pengetahuan baru. Kegiatan penelitian, biasanya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang memang mempunyai kegemaran dan kemampuan untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian.
Sesungguhnya kemampuan untuk menyelenggarakan penelitian, harus di miliki oleh setiap dosen IAIN, paling sedikit kemampuan untuk menyelenggara kan kegiatan penelitian perorangan buat terus menerus mengembangkan berbagai mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengetahuan baru yang terkembangkan, biasanya merupakan sumbangan pada perkembangan bidang pengetahuan keahlian khusus yang bersangkutan, sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dan bahkan, dengan perantaraan berbagai bentuk dan cara penyajian, menjadi bagian dari pemikiran keagamaan dari umat Islam. Penyebar luasan hasil pengkajian atau hasil penelitian, sebagaimana biasa, harus dapat diterbitkan oleh IAIN sendiri, penerbit lain, ataupun disiarkan melalui media massa.
Di zaman klasik Islam juga tidak terdapat dualisme dalam sistem pendidikan, seperti sekarang. Di waktu itu tidak ada sekolah hanya memberikan pelajaran dalam ilmu umum dan pula tidak ada madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Universitas-universitas, kurikulumnya mencakup ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Ulama-ulama modern mendirikan sekolah-sekolah modern tersendiri yang mengajarkan pemikiran rasional, sains dan teknologi Barat. Dari zaman itu mulailah timbul dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum sebagaimana Untuk menghadapi era kemajuan sains dan teknologi serta globalisasi sekarang, civitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung sejak lama mengapresiasi untuk mempelajari masalah pengembangan IAIN dari institut menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum.
Untuk mengetahui mengapa peningkatan IAIN yaitu Institut Agama Islam Negeri menjadi UIN yaitu Universitas Islam Negeri perlu diadakan, tampaknya perlu melihat dahulu perkembangan pendidikan dan ilmu dalam sejarah Islam.
Islam mempertemukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan Hadis dengan akal yang tinggi dalam peradaban Yunani. Pertemuan ini menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah dikalangan ulama Islam, dan berkembanglah falsafat dan sains yang menimbulkan peradaban Islam yang tinggi.
Pemikiran rasional itu bukan falsafat dan sains, yang sekuler, tetapi sains dan falsafat yang terikat pada ajaran-ajaran Islam. Maka hukum yang mengatur peredaran alam ini tidak disebut para saintis Islam itu hukum alam (sunatullah) sesuai yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam konteks historis, yang dikembangkan pemikiran rasional bukan hanya falsafat dan sains tetapi juga ilmu agama, sehingga berkembang dengan pesat.
Dari kenyataan di atas dapat dilihat bahwa tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum seperti halnya sekarang. Keduanya menjadi satu dan keduanya diajarkan kepada anak didik. Maka pendidikan zaman klasik menghasilkan ulama-ulama agama yang tidak asing baginya ilmu-ilmu umum dan ulama dalam ilmu umum yang tidak asing baginya ilmu-ilmu agama. juga mulai timbul dualisme dalam pendidikan. Ilmu Umum terpisah dari ilmu agama dan sekolah umum terpisah dari madrasah, Sekolah umum dikelola oleh pemerintah di dunia Islam pada umumnya dan madrasah dikelola oleh lembaga-lembaga swasta.
Sebagai akibatnya timbullah di abad XIX dan XX dua kelompok terpelajar diseluruh dunia Islam. Sekolah-sekolah umum menghasilkan intelektual umum yang dipengaruhi oleh pemikiran sains dan teknologi Barat yang sekuler dan dalam pada itu sedikit sekali pendidikan agama mereka.
Kalau sekolah-sekolah umum menghasilkan kaum intelektual yang sekularis dan jauh dari agama, madrasah-madrasah menghasilkan golongan ulama yang tradisional pemikirannya dan banyak terikat pada ajaran-ajaran agama masa lampau. Dalam pada itu ulama-ulama tradisional ini jauh dari ilmu pengetahuan dan kemajuan modern.
Di Indonesia di masa yang akhir ini telah terdapat perubahan dalam hal ini. Kaum intelektual umum sudah mulai memperhatikan agama berkat organisasi-organisasi mahasiswa Islam, juga kaum ulama sudah mulai memperhatikan IPTEK, Sekolah Umum telah masuk ke pesantren.
Inilah masalah dunia Islam yang dibawa oleh dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan Islam. Kaum terpelajar Islam dewasa ini terpecah dua yang kurang serasi hubungannya dan bukan lagi satu sebagai halnya dengan ulama Islam di zaman klasik.
Karena adanya dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan, sistem pendidikan di dunia Islam tidak sanggup menghasilkan ulama agama yang tidak asing baginya ilmu agama, dan ulama yang sekaligus menguasai ilmu agama, sains dan filsafat, sebagai mana halnya dengan pendidikan zaman klasik yang tak kenal dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan. Jelas bahwa dikhotomisme antara ilmu agama dan ilmu umum dan dualisme pendidikan madrasah dan pendidikan sekolah harus dihapuskan dan diganti oleh kesatuan ilmu dan kesatuan pendidikan.
Berbeda dari perguruan tinggi umum (PTU) yang cenderung mendalami ilmu-ilmu umum, UIN SGD Bandung nantinya mengemban dua misi sekaligus. la menjadi lembaga tempat berkembangnya ilmu-ilmu agama, sekaligus ilmu-ilmu umum. Tanggung jawab ganda ini berimplikasi pada cara pengembangan yang berbeda. Hal itu berdasarkan Firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang artinya;
… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah, : 11).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Al-Imran, : 190)
Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya. (Q.S. Al-Hujurat, : 61)
Karakteristik ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum sebenarnya bagaikan dua sisi uang yang berbeda, namun tidak terpisahkan. Dalam sejarah keilmuan, ilmu-ilmu umum berkembang pesat dalam sebuah tradisi yang disebut intellectus quaerens fidem, yakni suatu tradisi pembuktian ayat-ayat Kauniyah yang menyandarkan pada obyektivitas dan kebenaran ilmiah. Sedangkan ilmu-ilmu keislaman telah meluaskan cakupannya dalam tradisi sejarah ilmu yang disebut fides quarerens intellectum, yakni perkembangan ilmu yang menyandarkan pada kebenaran akhir (ultimate truth) yang dipesankan melalui ayat-ayat Qur’aniyah. Di bawah ini wujud integrasi ilmu UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagaimana disimbolkan dalam gambar roda berputar dunia bergulir.
Dasar pembidangan ilmu yang dikembangkan oleh UIN SGD Bandung berorientasi pada usaha memadukan : pertama, hubungan organis semua disiplin ilmu pada suatu landasan keislaman; kedua, hubungan yang integral di antara semua disiplin ilmu; ketiga, saling keterkaitan semua disiplin ilmu untuk mencapai tujuan umum pendidikan nasional; keempat, keutamaan pengetahuan yang disampaikan melalui wahyu yang menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan; kelima, kesatuan antara pengetahuan yang dicapai, yang diproses dan yang dikembangkan secara ilmiah akademis; keenam, pengintegrasian wawasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam spesialisasi dan disiplin ilmu yang memberikan dasar bagi seluruh disiplin akademis. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama yang merupakan tiga komponen utama dari peneguhan iman, ilmu, dan amal sholeh.
UIN SGD Bandung mengakui adanya dua karakteristik ilmu yang lahir dalam tradisi yang berbeda. Pembedaan karakteristik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam bukan menjadi tujuan akhir dari perumusan filosofi ilmu-ilmu UIN SGD Bandung. Pembedaan ilmu hanyalah sebuah cara untuk menghargai keunikan ilmu pada wilayah kajian masing­-masing.
Paradigma keilmuan UIN SGD Bandung yang utuh itu dibingkai dalam metapora sebuah roda. Roda adalah simbol dinamika dunia ilmu yang selalu berputar pada porosnya dan berjalan melewati relung permukaan bumi. Roda adalah bagian yang esensial dari sebuah makna kekuatan yang berfungsi penopang beban dari suatu kendaraan yang bergerak dinamis.
Fungsi roda dalam sebuah kendaraan ini diibaratkan fungsi UIN Bandung pada masa mendatang yang mampu menopang berbagai perkembangan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus dipikul. Kekuatan UIN Bandung dalam menopang semua bidang kehidupan itu tentu tidak statis. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kemajuan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa bergerak lebih maju, menyentuh realitas yang diinginkann dan selalu menampilkan identitas keislamannya.
Paradigma keilmuan UIN Bandung dengan simbol roda berputar dunia bergulir tersebut, menjadi pendorong bagi pengembangan IAIN menjadi UIN, dari institut yang mengasuh hanya ilmu agama menjadi universitas yang mengajarkan di samping ilmu-ilmu agama juga ilmu-ilmu umum. Maka yang terdapat di UIN nanti bukan hanya program studi agama dari Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab, tetapi juga program studi umum seperti Sosiologi, Teknologi, Ekonomi, Pertanian, MIPA, Psikologi, dan sebagainya.
Dalam UIN yang mencakup program studi agama dan umum, mahasiswa dengan pergaulannya sesama mahasiswa akan terbiasa dengan kedua macam ilmu. Bahkan akan terjadi mahasiswa agama akan mengambil ilmu umum tertentu di Program Studi umum dan sebaliknya mahasiswa umum akan mengambil ilmu agama tertentu di Program Studi agama. Lebih dari itu akan terjadi mahasiswa mengambil kesarjanaan di Fakultas umum dan kemudian kesarjanaan lagi di Fakultas agama atau sebaliknya.
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung selama ini telah mengembangkan beberapa jurusan dan program studi sebagai upaya memadukan kajian ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’aniyah. Selain mengembangkan kajian Islam yang dijadikan sebagai dasar yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa, lembaga pendidikan tinggi ini membuka jurusan-jurusan: Psikologi, Ekonomi, Bahasa, Hukum, MIPA, dan Ilmu Pendidikan. Pemikiran itu didasari oleh keyakinan, bahwa model seperti ini akan mampu mengantarkan para mahasiswanya memiliki pengetahuan, kepribadian dan wawasan yang lebih utuh, dengan kata lain para mahasiswa akan memiliki kemampuan IMTAK (Iman dan Takwa) dan sekaligus penguasaan IPTEKS (Ilmu, Teknologi dan Sains).
Sesuai dengan pemikiran yang melatarbelakangi pengembangan Perguruan Tinggi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung telah menyusun “Rencana Strategis Pengembangan”. Berkaitan dengan itu IAIN Sunan Gunung Djati Bandung diproyeksikan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Kini rencana tersebut telah memperoleh momentum yang sangat menguntungkan dengan munculnya tenaga baru, bahwa agama (baca: Islam) telah menjadi bagian penting dalam membangun masyarakat, dan bahkan semakin diyakini secara luas bahwa Islam (agama) tidak dapat diabaikan dalam kehidupan modern, termasuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, iklim keterbukaan di hampir segala bidang saat ini memberikan optimisme baru bagi seluruh anggota sivitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk mengantarkan lembaga ini menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Dengan landasan tersebut UIN SGD Bandung nantinya diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan-tantangan zaman. Ia hendaklah dapat memberikan warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat secara keseluruhan. Semua ini dapat disebut sebagai ekspektasi sosial kepada UIN. Pada saat yang sama UIN juga diharapkan mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan UIN. Inilah ekspektasi akademis kepada UIN. Dengan demikian, UIN Sunan Gunung Djati Bandung memikul dua harapan, yaitu sosial expectations dan academic expectations.

3.3 Sejarah Dan Perkembangan IAIN Sunan Kalijaga.
Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi kedalam beberapa periode yaitu ;
Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu :
Pertama, periode rintisan ( tahun 1951-1960 ). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga ditandai dengan pengubahan Fakultas Agama UII menjadi PTAIN sampai penggabungan PTAIN dengan ADIA ( Akedemi Dinas Ilmu Agama ). Jumlah Fakultas yang ada pada periode ini hanya tiga, yaitu : Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Tarbiyah. PTAIN ini dipimpin secara berturut – turut oleh K.H.R. Moh. Adnan (1951–1959) dan kemudian Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (1959-1960).
Kedua, periode pembangunan landasan kelembagaan (tahun 1960-1972). IAIN pada periode ini dipimin oleh Prof. RHA. Soenarjo SH dan ditandai dengan pemindahan kamus lama ( di jalan Simanjuntak yang sekarang menjadi gedung MAN 1 Yogyakarta ) ke kampus baru yang jauh lebih luas ( di jalan Adi Sucipto Yogyakarta ). Sejumlah gedung dan Fakultas di bangun dan di tengah –tengahnya dibangun sebuah masjid yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Sistem pendidikan yang berlaku pada periode ini masih bersifat bebas karena mahasiswa diberi kesempatan untuk maju ujian setelah mereka benar benar menyiapkan diri. Sementara itu materi kurikulumnya masih mengacu pada kurikulum Timur Tengah, yang juga dikembangkan pada masa PTAIN.
Ketiga, periode pembangunan landasan akademik (tahun 1972-1996). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga dipimpin secara berturut – turut oleh Rektor Kolonel Drs. H. Bakri Syahid (Tahun 1972-1976); Prof. H. Zaini Dahlan, MA. (Tahun 1976-1980 dan 1980-1983); Prof. Drs. Mu’in Umar (Tahun 1983-1992) dan Prof. Dr. H. Simuh (Tahun 1992-1996). Periode ini ditandai dengan lanjutan pembangunan sarana fisik kampus, pembangunan Fakultas Dakwah, gedung perpustakaan, gedung Pascasarjana dan gedung Rektorat. System pendidikan yang digunakan pada periode ketiga ini mulai bergeser dari system Liberal kepada system terpimin dengan mengintrodusir system semester semu dan akhirnya system kredit system semester murni. Dari segi kurikulum, IAIN Sunan Kalijaga telah mengalami penyesuaian yang radikal, sesuai dengan kebutuhan Nasional Bangsa Indonesia. Jumlah Fakultas berubah menjadi lima buah, yaitu : Fakultas Adab, Fakultas Dakwah, Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Program Pascasarjana dibuka pada periode ini, tepatnya pada tahun ajaran 1983-1984. Sebelumnya program ini adalah PGC (Post Graduate Course) dan SPS ( Studi Purna Sarjana ) yang tidak memberikan gelar. Pembukaan Program Pascasarjana ini telah mengukuhkan status IAIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang sebagai lembaga Dakwah.
Keempat, periode pemantapan orientasi akademik dan manajemen (Tahun 1997-2001). Periode ini dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Atho’ Mudzhar sebagai Rektor dan ditandai dengan upaya melanjutkan pembangunan mutu ilmiah IAIN Sunan Kalijaga, khususnya mutu dosen dan mutu para alumni. Pada dosen dalam jumlah yang besar diberi kesempatan dan didorong untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana, baik untuk tingkat magister (S2) maupun Doktor (S3) dalam bidang keilmuan keislaman maupun ilmu – ilmu yang terkait, baik di program pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga sendiri maupun di perguruan tinggi lain, di dalam maupun di luar negeri. Demikian pula peningkatan mutu sumber daya manusia bagi tenaga administrasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan pelayanan administrasi akademik.
Kelima, masa pengembangan IAIN. Pada masa ini dimulai tahun 2002 ampai sekarang dibawah kepemiminan Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah. Dengan seiring semakin besarnya tantangan di masa depan dan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap lembaga IAIN, maka IAIN merasa tertantang untuk mengembangkan secara instutional dalam format yang lebih jelas, yakni berubah menjadi Universitas. Namun, sebelum perubahan tersebut dilakukan, IAIN juga melakukan pengembangan dengan konsep “IAIN with wider mandate” (IAIN dengan mandate yang lebih luas). Dengan konsep ini, IAIN telah dan akan mengembangkan jurusan/program studi bidang ilmu - ilmu sosial dan ilmu - ilmu eksakta yang dalam tahapan selanjutnya akan di Up-grade menjadi Fakultas-fakultas, jurusan-jurusan, dan program-program studi.
Adapun kebijakan kearah pengembangan perguruan tinggi dewasa ini bertumpu pada paradigma baru yaitu bertumpu pada tiga pilar utama; kemandirian (autonomy), akuntabilitas (accountability) dan jaminan mutu (Quality Assurance). Berdasarkan hal tersebut IAIN bekerja keras melakukan banyak hal :
1. Integrasi epistemology keilmuan sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu – ilmu agama.
2. Memberikan landasan moral bagi pengembangan IPTEK dan melakukan pencerahan dalam pembinaan IMTAQ sehingga IPTEM dan IMTAQ dapat sejalan.
3. Mengartikulasikan Ajaran Islam secara professional ke dalam konteks kehidupan masyarakat sehingga tidak ada lagi jarak antara norma agama dan sofistifikasi masyarakat.
4. Mengembangkan riset dan penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif sehingga tidak ada kesan deduktifikasi ilmu – ilmu keislaman. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pola pengabdian yang professional.
5. Memberikan landasan moral dan spiritual terhadap pem,bangunan nasional sehingga konsep pembangunan manusia seutuhnya dapat tercaai.
6. Melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas dalam berbagai segi baik kelembagaan, akademis, amangerial, dan fisik.

C. Kesimpulan Dan Saran
1. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Perubahan perguruan tinggi IAIN / STAIN menjadi UIN membuka peluang dan harapan baru.
2. Integrasi kurikulum Agama dan Sain Teknologi merupakan tuntutan zaman dan merupakan perkembangan pemikiran paradigma.
3. Anehnya mengapa tidak diintegrasi dari TK, SD sampai SMA tidak terintegrasi bahkan waktu untuk agama hanya 2 jam pelajaran.
4. Kena apa yang dikaji hanya IAIN saja, sementara banyak perguruan swasta yang bernafaskan Islam seperti Universitas Muhammadiyah, STAINU, dll mestinya ikut terintegrasi.
Sebagai saran ilmu ke Islaman disitu tetap harus diutamakan, yang perlu digali mampukah bersaing dengan universitas lain? Tentunya dengan kesungguhan yang dilandasi dengan perjuangan. Dan semua jenjang pendidikan harus diikuti terintegratet.




DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar Jogjakarta.
2. Prof. Dr. Imam Suprauogo, Makalah Seminar Nasional.
3. Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu Agama. Interpretasi dan Aksi, Mizan Pustaka. Bandung
4. Integrated University, Infoemation System UIN Sunan Kalijaga 2005
5. Sumber Biro Humas UIN Sunan Kalijaga
6. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165
7. www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/03x1.htm-16k-Cached-more from this-site save




































A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Cara memandang ilmu pengetahuan vis a vis agama secara dikotomik sudah sejak lama ditinggalkan orang. Bahkan dalam sejarah pemikiran Islam, jalan pikiran seperti itu ditengarai menjadi sebab terjadinya kemunduran umat Islam sejak abad 12 yang lalu. Orang Islam yang mempersepsi bahwa ajaran Islam hanyalah mencakup fiqih, tauhid, akhlaq-tasawuf, tarikh dan sejenisnya, disadari atau tidak telah menjadikan umat Islam tertinggal dari komonitas lainnya.(Prof.Dr.Imam Suprayogo) Kemajuan peradaban umat manusia, sekalipun hal itu penting, bukanlah dihasilkan oleh kemajuan ilmu agama, melainkan oleh teknologi, kedokteran, perbankan, geologi, astronomi, fisika-kimia, manajemen dan seterusnya. Setidak-tidaknya, sumbangan ilmu fiqih, tauhid dan akhlaq dalam membangun peradaban dunia, sekalipun ada, tidak sebesar yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melihat dan menyadari kenyataan itu, tidak lantas kemudian para pemikir Islam menafikan peran dan fungsi ajaran Islam. Ajaran Islam yang bersumber al qur’an dan al hadits tetap diyakini kebenarannya. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia juga dipandang memiliki kekuatan dalam memajukan peradaban ini. Bertolak dari penglihatan seperti itu, muncul pertanyaan: “Adakah yang salah dari cara memandang agama pada satu sisi dan ilmu pengetahuan modern pada sisi lainnya”?
Komitmen yang mendasari perubahan IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah integrasi keilmuan agama dan umum. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dewasa ini upaya untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum terus bergulir tiada henti. Munculnya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan telah mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan sosial, agamawan, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Konsep yang pertama kali digulirkan oleh Al-Faruqi dimaksudkan sebagai “filter” terutama terhadap “ilmu-ilmu produk barat” yang melenceng jauh dari norma-norma Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Al Faruqi (1982) dalam Islamic of Knowledge, ada beberapa kerangka kerja yang digunakan untuk merumuskan praktek Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu ;
1). Penguasaan disiplin ilmu modern.
2). Penguasaan akidah dan nilai-nilai Islam
3). Penentuan relevansi antara akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4). Pencarian sintesa kreatif antara unsur-unsur akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
5). Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.

2. Rumusan Masalah.
Untuk lebih memfokuskan paparan permasalahan pada makalah ini penulis membatasi pada rumusan masalah sebagai berikut;
Mengapa IAIN/STAIN harus berubah menjadi UIN, dan bagaimana integrasi kurikulumnya ?.
Sejauh mana IAIN/STAIN dalam mensikapi perubahan tersebut?

3. Metodologi
Makalah ini disusun menggunakan metode telaah pustaka, dengan cara mengutip pendapat dari tulisan yang telah dibaca, kemudian ditelaah dan dianalisis sesuai dengan kemampuan penulis.
Untuk pengumpulan data pada makalah ini digunakan metode pengumpulan data literer, yakni dengan terlebih dahulu menelusuri buku – buku yang ada relevansinya dengan masalah – masalah yang dibahas dan melalui jaringan internet untuk dikaji guna mencari landasan upaya pemecahan persoalan.





B. PEMBAHASAN MASALAH

1. Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN.
Sebuah pertanyaan yang sangat amat sederhana tetapi membutuhkan jawaban yang sangat cerdas. Mengapa STAIN/IAIN harus berubah menjadi UIN?.
Status sebagai STAIN hanya memungkinkan lembaga ini menangani dan menekuni satu bidang keilmuan saja, seperti tarbiyah saja, atau syariah saja; sedangkan status IAIN memberikan ruang yang lebih besar, yakni menangani bidang-bidang keilmuan yang beragam, namun keragaman bidang kajian itu hanyalah dalam lingkup kajian Islam. Sehingga baik dalam status STAIN maupun IAIN, secara konseptual semua itu tidak relevan dengan keyakinan dasar Islam yang menyatakan sebagai agama universal. Konsep Islam Universal dalam wadah Universitas Islam Negeri (UIN) mewujudkan integrasi dan sintesis ilmu-ilmu keislaman (agama) dengan ilmu-ilmu umum (sains) dalam sebuah bangunan peradaban Islam. Dalam hal ini, ilmu-ilmu keislaman, seperti tarbiyah, ushuluddin, syariah, dakwah, adab, dan lainnya, diperankan sebagai basis keilmuan. Pada basis keilmuan ini, Wahyu al-Qur’an dan al-Hadits-yang melahirkan ilmu-ilmu keislaman-diletakkan berdampingan dengan akal, observasi, dan eksperimentasi yang melahirkan ilmu-ilmu alamiah, atau ilmu-ilmu umum. Dua sisi basis keilmuan ini diperankan dan diaktifkan secara serempak untuk melahirkan bidang-bidang keilmuan alam, sosial, dan humaniora. Dari tiga bidang keilmuan ini akan lahir berbagai disiplin ilmu yang mencerminkan kesemestaan Islam. Dari bidang ilmu alam akan lahir ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu alamiah lainnya; dari bidang sosial akan lahir ilmu psikologi, Sosiologi, Sejarah, Hukum, Manajemen, dan lain-lain; sedangkan dari bidang Humaniora akan lahir ilmu-ilmu filsafat, seni, bahasa, sastra, dan lain-lain. Semua bidang dan disiplin keilmuan ini akan menjadi bagian integral dari proses pendidikan Islam ketika IAIN/STAIN sudah berubah menjadi UIN. (Hady, 2004:5-6).
Meskipun berubahnya sebagian IAIN/STAIN menjadi UIN secara legal-formal sudah terwujud dengan turunnya SK Presiden, masing-masing IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN Sultan Syarif Qasim Riau. Salah satu perubahan yang paling tampak dari pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN adalah penambahan fakultas serta perluasan disiplin dan bidang kajian. Fakultas yang sebelumnya hanya terkait dengan disiplin keilmuan dasar Islam, seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, Dakwah, dan Adab kemudian ditambah dengan beberapa fakultas yang mengkaji disiplin keilmuan yang tidak berkaitan langsung dengan disiplin dasar Islam, seperti Sains dan Teknologi, Ekonomi, Psikologi, Humaniora dan Budaya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwasannya dalam konteks UIN tidak membedakan adanya fakultas agama dan fakultas umum. Dalam hal ini akan dibuktikan pada struktur keilmuan yang dikembangkan di UIN tersebut, yakni semua mahasiswa-baik jurusan agama maupun jurusan umum-akan mendapatkan Mata Kuliah Ciri Khusus (MKCK) UIN meliputi Studi al-Qur’an, Studi Hadits, Studi Fiqh, Tasawuf, Teologi, Bahasa Arab dan lain-lain. Sehingga diharapkan output/ lulusan UIN akan menyandang gelar “Ulama yang Intelek Professional dan Intelek Profesional yang Ulama” Dalam pengamatan penulis, satu hal yang masih membutuhkan kerja keras kita dalam rangka benar-benar mewujudkan gerakan Islamisasi ilmu Pengetahuan, yaitu Kurikulum yang dikembangkan di UIN harus berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan di PT umum atau PT Islam yang telah lama berkembang. Berkaitan hal ini, penulis setuju dengan konsep yang dibangun ketika IAIN/STAIN berubah menjadi UIN, yakni UIN merupakan Perguruan Tinggi yang berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum dan bahkan berbeda dengan Perguruan Tinggi Islam yang telah ada sekarang. Kalau kita melihat perbedaan dengan Perguruan Tinggi Umum memang sudah nampak kelihatan, tetapi bagaimana perbedaan dengan Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama berkembang. UIN haruslah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan Perguruan Tinggi Umum. Bahkan juga tidak harus sama dengan Universitas Islam sejenis yang sudah lama berkembang. Dengan hadirnya UIN harus dapat memberikan banyak peran dan inovasi baru yang dapat ditawarkan. Atau dengan kata lain kehadiran UIN harus berani tampil beda dibandingkan dengan universitas lain yang selama ini masih dalam kompetensi institusi keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik dan moral. Berani tampil beda merupakan tantangan, sekaligus merupakan kesempatan mencari peluang-peluang baru sehingga peran-peran yang dimainkan akan terasa baru yang selama ini belum tergarap secara maksimal oleh perguruan Tinggi yang sudah ada. Kurikulum yang dikembangkan selama ini di PT Islam masih diwarnai dengan adanya dikotomisasi ilmu, hal ini dibuktikan masing-masing keilmuan (baca; mata kuliah) masih berdiri sendiri-sendiri. Harapan dengan lahirnya UIN adalah dalam kurikulum tidak ada lagi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, UIN harus mampu mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam setiap mata kuliah yang menjadi lahan garapannya, UIN harus mampu mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Dengan hadirnya UIN, sebagaimana yang dikatakan Zainuddin (2004:17) maka diharapkan dapat mencetak sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yakni keunggulan di bidang Sains dan Teknologi sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman. Misalkan di Fakultas Sains dan Teknologi mahasiswa diberikan mata kuliah Studi al-Qur’an, maka seharusnya materi yang diberikan tentu akan berbeda dengan materi yang diberikan pada mahasiswa Fakultas Syariah. Mata kuliah studi al-Qur’an bagi mahasiswa Sains dan Teknologi harus digunakan sebagai landasan/pijakan dalam rangka menggali ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam raya. Atau dengan kata lain materi yang diberikan kepada mahasiswa Sains dan teknologi adalah berkutat pada ayat-ayat tentang kekuasaan Tuhan, proses penciptaan manusia, kesehatan, reproduksi, lingkungan dan lainnya meskipun tidak mengesampingkan materi dasar tentang ketauhidan/keislaman. Di Fakultas Ekonomi materi al-Qur’an yang diberikan juga harus bersentuhan berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti: jual beli, riba, manajeman, dan lainnya. Begitu juga di Fakultas Psikologi harus benar-benar berbeda dengan kurikulum di Fakultas Psikologi PT Umum/PT Islam yang sudah berkembang lebih dulu. Bahkan boleh jadi kurikulum UIN Jakarta akan berbeda dengan kurikulum yang diterapkan di UIN Malang atau UIN Yogyakarta, begitu sebaliknya. Sehingga kurikulum yang ada benar-benar terintegrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dan yang lebih penting adalah kurikulum yang digunakan harus mampu menjawab pelbagai problem yang muncul di masyarakat. (www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125)

2. Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kehawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru
Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagai mana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin?. Mengapa harus berubah menjadi “Universitas” ? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang disandangnya selama 53 tahun (1951-2004)? Akankah struktur keilmuan , kurikulum dan silabinya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan? Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur struktur mata kuliah, kurikulum dan silabi pada prodi-prodi umum di UIN dan Universitas Umum yang lain? Bagai mana pola pembinaan dan Pengembangan dan Pengembangan minat dan bakat, ketrampilan dan kepribadian mahasiswa? Dan berbagai pertanyaan yang lain?
Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul, Pertama, yang harus digaris bawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, namun tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan penegasan itu, maka sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Isam masih tetap menjadi tugas utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh Winder mandate-nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik okus penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang adapada universitas.
Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini ( fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin), dari semula berdiri memanag telah dengan sengaja dibina, dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Sampai sekarang, masing-masing fakultas telah mempunyai sejumlah tenaga pengajar yang cukup kuat, dan dosen-dosen tetap bergelar magister dan doctor cukup memadahi. Usaha untuk mengembangkan tenaga pengajar yang sudah ada tetap berlangsung hinga sekarang baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarangtidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemology baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana sini, sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.
Ketiga, dalam rancang bangunfakultas yang berada dibawah UIN akan mengalami perubahan sesuai dengan prinsip dasar “Miskin struktur, kaya fungsi” seperti yang diminta oleh Kementrian Pndidikan Nasional saat meng-verifikasi prodi-prodi umum yang diusulkan untuk dibuka di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 Desember 2003 dan deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) saat melakukan rapat interdepartemental untuk membahas draft rancangan Keputusan Presiden pada tanggal 11 Maret 2004. Dalam diskusi forum think tank IAIN yang melibatkan seluruh pimpinan fakultas dan institut dan para pakar di IAIN sampai pada kesimpulan bahwa untuk memperkuat fakultas yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada fakultas – fakultas yang ada sekarang ini. Untuk sementara,fakultas-fakultas yang ada sekarang aklan berubah nama sebagai berikut:Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin, Sains dan Tehnologi serta Sosial dan Humaniora. Nama 5 Fakultas yang lama masih sama seperti ketika masih berada di IAIN, tetapi berbeda dari segi muatan metode, pendekatan serta sistem pembelajaran.
Keempat, berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika Sekolah Tinggi hanya menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah, maka perjalanan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) yang membuka lebih dari satu bidang ilmu sebenarnya menyalahi aturan dan nomenklatur yang biasa dikenal di lingkungan pendidkan tinggi. Sedang Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu (seperti yang ada pada IAIN sekarang, yaitu keilmuan Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin). Adapun Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial maupun humaniora.
Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daipada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupuin luar negeri menjadai terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat. Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah peneilitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.


3. Beberapa Perguruan Tinggi STAIN/IAIN dalam mensikapi perubahan menjadi UIN.
3.1. Idealisme UIN Malang ke Depan
Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Malang bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata, melainkan yang justru lebih diutamakan adalah tataran perilaku warga kampus. Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika UIN Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam pengabdian dan pergaulannya ditengah-tengah masyarakat. Islam membimbing mahluk manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh (kaffah),lahir dan bathin, keselamatan dunia dan akhirat,meliputi pengembanagan aspek spiritual,akidah,akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian,kasih sayang,keindahan dan kebersihan,hemat dan tidak boros,dapat dipercaya atau amanah dan istiqomah.Pilar-pilar itu disebut sebagai arkan al-jami’ah (rukun perguruan tinggi)yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu:
1. Tenaga dosen, yakni dosen yang mumpuni, baik dari sisi akhlak,spiritual,latar belakang pendidikan,jabatan akademik, dan kualitas serta kuantitas produktivitasnya.
2. Masjid,masjid dimaknai sebagai wahana pengembanaganspiritual, tempat berupaya bagi siapa saja termasuk warga kampus untuk mendekatkan diri pada Allah secara berjamaah.Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbol kekayaan spiritual umat islam yang kering makana karena tempat ibadah itu kurang maksimal dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan spiritual,maupun intelektual.
3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kukuh. Kultur yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa islami. Bentuk konkretnya adalah kebiasaan melakukakn shalat berjamaah, tadarus Al-Quran,shalat malam,menghargai waktu,disiplin, menghormati sesama kolega, menghargai ilmu sampai pada karakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan manajemen modern ebagai produk ilmu pengetahuan.
4. Perpustakaan.UIN Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan yang unggul,baik dari sisi koleksi maupun pelayanan.
5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam,UIN Malang menyadari betapa kitab suci Al-Quran dan hadist nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh melalui observasi,ksperimen maupun olah akal yang cerdas.
6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah,berupa ruang kuliah,ruang dosen tempat diskusi, dan lain-lain.
7. Tempat pelayanan administrasi kampus. Bagaimanapun kampus perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat,tepat ,dan santun. Dalam melayani siapa saja,entah dosen,karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip bangunan akhlakul karimah.
8. Pusat pengembangan seni dan olahraga. Kedua aspek ini perlu dikembanmgkan untuk mengembangkan watak strategis yang harus dimilikioleh setiap calon pemimpin,yaitu watak halus dan kasar tetapi spotif. Watak halus biasanya dikembamngkan lewat aktivitas seni, sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya dikembangkan melalui olah rasa. UIN Malang yang bermaksud mengembangkan calon pemimpin masa depan ya ng tangguh memerlukan wahana pelatihan olahraga dan seni.
9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian besar perguruan tinggi Iuslam adalah dalam hal pengembangan pendanaan.Akibatnya, mereka tidak mampu membangun performance kampus yang gagah dan bersih, memberikan imbalan tenaga pengajar yang cukup,merumuskan program peningkatan kualitas serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Saya berimajinasi bahwa UIN Malang sebagai penyandang nama”Islam”, kampusnya harus tampak gagah,bersih,tertib,disiplin;orang-orangnya jujur, sabar, tawakal dan istiqomah, dan semua pekerjaan dilakukan berdasarkan semangat kebersamaan dan dalam suasana kasih sayang, keikhlasan, tanggung jawab,senantiasa mengharapkan bimbingan dan petunjuk Yang Maha Kuasa, serta memiliki kesdaran sejarah yang tinggi. Atas dasar semangata seperti itu, maka kampus ini menjadi produktif, mampu menghasilkan karya-karya unggulan berupa penulisan buku, laporan penelitian, dan pemikiran-pemikiranyang diekspresikan pada berbagai media cetak yang telah disiapkan di dalam kampus maupun media di luar kampus. Keunggulan-keunggulan seperti itu secara langsung telah mendongk citra dan reputasi UIN Malang. UIN Malang terkesan bwerwibawa di tengah-tengah masyarakat perguruan tinggi pada umunya. Selain itu kampus ini dihuni orang –orang yang berakhlak mulia, mencintai, dan mernghargai serta mengembangkan ilmu pengetahuan, dosen mencintai mahasiswanya, dan demikian sebaliknya, para mahasiswa menghormati dosen-dosen mereka karena kapasitas akhlak, cinta, dam kedalaman ilmunya.
Performa fisik kampus UIN Malang harus senantiasa tampak bersih, taman dan rumputnyaditata rapi,tidak boros, lingkungannya dijaga baik, tenaga pengajar dan karyawannya selalu bahagia karena kebutuhan hidupnya tercukupi, karena itu mereka bangga akan statusnya sebagai warga UIN Malang. Kehidupan masyarakat kampus seperti digambarkan di atas yang dapat saya sebut sebagai perguruan tinggi Islam

3.2 . UIN Sunan Gunung Jati Bandung
Agama dapat memberikan makna pada ilmu pengetahuan yang tidak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan penggunaan cara berfikir dan cara bekerja yang lazim dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan, pada umumnya masih menuntut penafsiran yang lebih mutakhir dan menyeluruh, yang hanya dapat diberikan oleh ajaran agama yang bersangkutan, buat umat Islam tentu saja ajaran agama Islam. Ini berarti, bahwa para ahli agama diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengaitkan beraneka ragam pengetahuan yang pada hakekatnya bersifat sekuler dengan acuan yang terwujud sebagai ajaran agama.
Bukan pula berarti bahwa ilmu pengetahuan harus diganti dengan ajaran agama. Pengetahuan kedokteran seperti juga pengetahuan fisika, biologi, kimia, ilmu ekonomi, dan sosiologi, adalah pengetahuan ilmiah yang harus dipelajari, dipelihara, diajarkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan dengan ketekunan dan kerja keras, apapun agama atau ideologi yang dianut oleh masing-masing ahli. Semestinya tidak ada kedokteran Islam, atau Fisika Islam, sosiologi Islam. Akan tetapi, para tenaga ahli masing-masing bidang pengetahuan keahlian memerlukan sudut penglihatan, perspektif, yang memberikan pandangan yang lebih luas dan makna yang lebih dalam daripada yang diberikan oleh pengetahuan keahlian yang bersangkutan. Agamalah yang dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas dan makna yang lebih mendalam ini melalui para ahlinya.
Dalam masyarakat modern, semakin banyak jenis pekerjaan yang dituntut diselenggarakan oleh tenaga ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Juga dalam bidang agama, semakin banyak jenis pekerjaan yang dahulu tidak menuntut pengetahuan keahlian tertentu, menuntut agar tenaga-tenaga penyelenggara jenis pekerjaan yang bersangkutan memiliki pengetahuan keahlian tertentu yang biasanya diperoleh dari perguruan tinggi.
Pengetahuan keahlian dalam bidang-bidang pengetahuan keahlian tidak dapat berkembang bilamana tidak diselenggarakan kegiatan-kegiatan penelitian yang senantiasa menghasilkan pengetahuan baru. Kegiatan penelitian, biasanya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang memang mempunyai kegemaran dan kemampuan untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian.
Sesungguhnya kemampuan untuk menyelenggarakan penelitian, harus di miliki oleh setiap dosen IAIN, paling sedikit kemampuan untuk menyelenggara kan kegiatan penelitian perorangan buat terus menerus mengembangkan berbagai mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengetahuan baru yang terkembangkan, biasanya merupakan sumbangan pada perkembangan bidang pengetahuan keahlian khusus yang bersangkutan, sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dan bahkan, dengan perantaraan berbagai bentuk dan cara penyajian, menjadi bagian dari pemikiran keagamaan dari umat Islam. Penyebar luasan hasil pengkajian atau hasil penelitian, sebagaimana biasa, harus dapat diterbitkan oleh IAIN sendiri, penerbit lain, ataupun disiarkan melalui media massa.
Di zaman klasik Islam juga tidak terdapat dualisme dalam sistem pendidikan, seperti sekarang. Di waktu itu tidak ada sekolah hanya memberikan pelajaran dalam ilmu umum dan pula tidak ada madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Universitas-universitas, kurikulumnya mencakup ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Ulama-ulama modern mendirikan sekolah-sekolah modern tersendiri yang mengajarkan pemikiran rasional, sains dan teknologi Barat. Dari zaman itu mulailah timbul dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum sebagaimana Untuk menghadapi era kemajuan sains dan teknologi serta globalisasi sekarang, civitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung sejak lama mengapresiasi untuk mempelajari masalah pengembangan IAIN dari institut menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum.
Untuk mengetahui mengapa peningkatan IAIN yaitu Institut Agama Islam Negeri menjadi UIN yaitu Universitas Islam Negeri perlu diadakan, tampaknya perlu melihat dahulu perkembangan pendidikan dan ilmu dalam sejarah Islam.
Islam mempertemukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan Hadis dengan akal yang tinggi dalam peradaban Yunani. Pertemuan ini menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah dikalangan ulama Islam, dan berkembanglah falsafat dan sains yang menimbulkan peradaban Islam yang tinggi.
Pemikiran rasional itu bukan falsafat dan sains, yang sekuler, tetapi sains dan falsafat yang terikat pada ajaran-ajaran Islam. Maka hukum yang mengatur peredaran alam ini tidak disebut para saintis Islam itu hukum alam (sunatullah) sesuai yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam konteks historis, yang dikembangkan pemikiran rasional bukan hanya falsafat dan sains tetapi juga ilmu agama, sehingga berkembang dengan pesat.
Dari kenyataan di atas dapat dilihat bahwa tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum seperti halnya sekarang. Keduanya menjadi satu dan keduanya diajarkan kepada anak didik. Maka pendidikan zaman klasik menghasilkan ulama-ulama agama yang tidak asing baginya ilmu-ilmu umum dan ulama dalam ilmu umum yang tidak asing baginya ilmu-ilmu agama. juga mulai timbul dualisme dalam pendidikan. Ilmu Umum terpisah dari ilmu agama dan sekolah umum terpisah dari madrasah, Sekolah umum dikelola oleh pemerintah di dunia Islam pada umumnya dan madrasah dikelola oleh lembaga-lembaga swasta.
Sebagai akibatnya timbullah di abad XIX dan XX dua kelompok terpelajar diseluruh dunia Islam. Sekolah-sekolah umum menghasilkan intelektual umum yang dipengaruhi oleh pemikiran sains dan teknologi Barat yang sekuler dan dalam pada itu sedikit sekali pendidikan agama mereka.
Kalau sekolah-sekolah umum menghasilkan kaum intelektual yang sekularis dan jauh dari agama, madrasah-madrasah menghasilkan golongan ulama yang tradisional pemikirannya dan banyak terikat pada ajaran-ajaran agama masa lampau. Dalam pada itu ulama-ulama tradisional ini jauh dari ilmu pengetahuan dan kemajuan modern.
Di Indonesia di masa yang akhir ini telah terdapat perubahan dalam hal ini. Kaum intelektual umum sudah mulai memperhatikan agama berkat organisasi-organisasi mahasiswa Islam, juga kaum ulama sudah mulai memperhatikan IPTEK, Sekolah Umum telah masuk ke pesantren.
Inilah masalah dunia Islam yang dibawa oleh dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan Islam. Kaum terpelajar Islam dewasa ini terpecah dua yang kurang serasi hubungannya dan bukan lagi satu sebagai halnya dengan ulama Islam di zaman klasik.
Karena adanya dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan, sistem pendidikan di dunia Islam tidak sanggup menghasilkan ulama agama yang tidak asing baginya ilmu agama, dan ulama yang sekaligus menguasai ilmu agama, sains dan filsafat, sebagai mana halnya dengan pendidikan zaman klasik yang tak kenal dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan. Jelas bahwa dikhotomisme antara ilmu agama dan ilmu umum dan dualisme pendidikan madrasah dan pendidikan sekolah harus dihapuskan dan diganti oleh kesatuan ilmu dan kesatuan pendidikan.
Berbeda dari perguruan tinggi umum (PTU) yang cenderung mendalami ilmu-ilmu umum, UIN SGD Bandung nantinya mengemban dua misi sekaligus. la menjadi lembaga tempat berkembangnya ilmu-ilmu agama, sekaligus ilmu-ilmu umum. Tanggung jawab ganda ini berimplikasi pada cara pengembangan yang berbeda. Hal itu berdasarkan Firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang artinya;
… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah, : 11).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Al-Imran, : 190)
Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya. (Q.S. Al-Hujurat, : 61)
Karakteristik ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum sebenarnya bagaikan dua sisi uang yang berbeda, namun tidak terpisahkan. Dalam sejarah keilmuan, ilmu-ilmu umum berkembang pesat dalam sebuah tradisi yang disebut intellectus quaerens fidem, yakni suatu tradisi pembuktian ayat-ayat Kauniyah yang menyandarkan pada obyektivitas dan kebenaran ilmiah. Sedangkan ilmu-ilmu keislaman telah meluaskan cakupannya dalam tradisi sejarah ilmu yang disebut fides quarerens intellectum, yakni perkembangan ilmu yang menyandarkan pada kebenaran akhir (ultimate truth) yang dipesankan melalui ayat-ayat Qur’aniyah. Di bawah ini wujud integrasi ilmu UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagaimana disimbolkan dalam gambar roda berputar dunia bergulir.
Dasar pembidangan ilmu yang dikembangkan oleh UIN SGD Bandung berorientasi pada usaha memadukan : pertama, hubungan organis semua disiplin ilmu pada suatu landasan keislaman; kedua, hubungan yang integral di antara semua disiplin ilmu; ketiga, saling keterkaitan semua disiplin ilmu untuk mencapai tujuan umum pendidikan nasional; keempat, keutamaan pengetahuan yang disampaikan melalui wahyu yang menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan; kelima, kesatuan antara pengetahuan yang dicapai, yang diproses dan yang dikembangkan secara ilmiah akademis; keenam, pengintegrasian wawasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam spesialisasi dan disiplin ilmu yang memberikan dasar bagi seluruh disiplin akademis. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama yang merupakan tiga komponen utama dari peneguhan iman, ilmu, dan amal sholeh.
UIN SGD Bandung mengakui adanya dua karakteristik ilmu yang lahir dalam tradisi yang berbeda. Pembedaan karakteristik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam bukan menjadi tujuan akhir dari perumusan filosofi ilmu-ilmu UIN SGD Bandung. Pembedaan ilmu hanyalah sebuah cara untuk menghargai keunikan ilmu pada wilayah kajian masing­-masing.
Paradigma keilmuan UIN SGD Bandung yang utuh itu dibingkai dalam metapora sebuah roda. Roda adalah simbol dinamika dunia ilmu yang selalu berputar pada porosnya dan berjalan melewati relung permukaan bumi. Roda adalah bagian yang esensial dari sebuah makna kekuatan yang berfungsi penopang beban dari suatu kendaraan yang bergerak dinamis.
Fungsi roda dalam sebuah kendaraan ini diibaratkan fungsi UIN Bandung pada masa mendatang yang mampu menopang berbagai perkembangan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus dipikul. Kekuatan UIN Bandung dalam menopang semua bidang kehidupan itu tentu tidak statis. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kemajuan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa bergerak lebih maju, menyentuh realitas yang diinginkann dan selalu menampilkan identitas keislamannya.
Paradigma keilmuan UIN Bandung dengan simbol roda berputar dunia bergulir tersebut, menjadi pendorong bagi pengembangan IAIN menjadi UIN, dari institut yang mengasuh hanya ilmu agama menjadi universitas yang mengajarkan di samping ilmu-ilmu agama juga ilmu-ilmu umum. Maka yang terdapat di UIN nanti bukan hanya program studi agama dari Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab, tetapi juga program studi umum seperti Sosiologi, Teknologi, Ekonomi, Pertanian, MIPA, Psikologi, dan sebagainya.
Dalam UIN yang mencakup program studi agama dan umum, mahasiswa dengan pergaulannya sesama mahasiswa akan terbiasa dengan kedua macam ilmu. Bahkan akan terjadi mahasiswa agama akan mengambil ilmu umum tertentu di Program Studi umum dan sebaliknya mahasiswa umum akan mengambil ilmu agama tertentu di Program Studi agama. Lebih dari itu akan terjadi mahasiswa mengambil kesarjanaan di Fakultas umum dan kemudian kesarjanaan lagi di Fakultas agama atau sebaliknya.
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung selama ini telah mengembangkan beberapa jurusan dan program studi sebagai upaya memadukan kajian ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’aniyah. Selain mengembangkan kajian Islam yang dijadikan sebagai dasar yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa, lembaga pendidikan tinggi ini membuka jurusan-jurusan: Psikologi, Ekonomi, Bahasa, Hukum, MIPA, dan Ilmu Pendidikan. Pemikiran itu didasari oleh keyakinan, bahwa model seperti ini akan mampu mengantarkan para mahasiswanya memiliki pengetahuan, kepribadian dan wawasan yang lebih utuh, dengan kata lain para mahasiswa akan memiliki kemampuan IMTAK (Iman dan Takwa) dan sekaligus penguasaan IPTEKS (Ilmu, Teknologi dan Sains).
Sesuai dengan pemikiran yang melatarbelakangi pengembangan Perguruan Tinggi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung telah menyusun “Rencana Strategis Pengembangan”. Berkaitan dengan itu IAIN Sunan Gunung Djati Bandung diproyeksikan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Kini rencana tersebut telah memperoleh momentum yang sangat menguntungkan dengan munculnya tenaga baru, bahwa agama (baca: Islam) telah menjadi bagian penting dalam membangun masyarakat, dan bahkan semakin diyakini secara luas bahwa Islam (agama) tidak dapat diabaikan dalam kehidupan modern, termasuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, iklim keterbukaan di hampir segala bidang saat ini memberikan optimisme baru bagi seluruh anggota sivitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk mengantarkan lembaga ini menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Dengan landasan tersebut UIN SGD Bandung nantinya diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan-tantangan zaman. Ia hendaklah dapat memberikan warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat secara keseluruhan. Semua ini dapat disebut sebagai ekspektasi sosial kepada UIN. Pada saat yang sama UIN juga diharapkan mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan UIN. Inilah ekspektasi akademis kepada UIN. Dengan demikian, UIN Sunan Gunung Djati Bandung memikul dua harapan, yaitu sosial expectations dan academic expectations.

3.3 Sejarah Dan Perkembangan IAIN Sunan Kalijaga.
Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi kedalam beberapa periode yaitu ;
Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu :
Pertama, periode rintisan ( tahun 1951-1960 ). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga ditandai dengan pengubahan Fakultas Agama UII menjadi PTAIN sampai penggabungan PTAIN dengan ADIA ( Akedemi Dinas Ilmu Agama ). Jumlah Fakultas yang ada pada periode ini hanya tiga, yaitu : Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Tarbiyah. PTAIN ini dipimpin secara berturut – turut oleh K.H.R. Moh. Adnan (1951–1959) dan kemudian Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (1959-1960).
Kedua, periode pembangunan landasan kelembagaan (tahun 1960-1972). IAIN pada periode ini dipimin oleh Prof. RHA. Soenarjo SH dan ditandai dengan pemindahan kamus lama ( di jalan Simanjuntak yang sekarang menjadi gedung MAN 1 Yogyakarta ) ke kampus baru yang jauh lebih luas ( di jalan Adi Sucipto Yogyakarta ). Sejumlah gedung dan Fakultas di bangun dan di tengah –tengahnya dibangun sebuah masjid yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Sistem pendidikan yang berlaku pada periode ini masih bersifat bebas karena mahasiswa diberi kesempatan untuk maju ujian setelah mereka benar benar menyiapkan diri. Sementara itu materi kurikulumnya masih mengacu pada kurikulum Timur Tengah, yang juga dikembangkan pada masa PTAIN.
Ketiga, periode pembangunan landasan akademik (tahun 1972-1996). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga dipimpin secara berturut – turut oleh Rektor Kolonel Drs. H. Bakri Syahid (Tahun 1972-1976); Prof. H. Zaini Dahlan, MA. (Tahun 1976-1980 dan 1980-1983); Prof. Drs. Mu’in Umar (Tahun 1983-1992) dan Prof. Dr. H. Simuh (Tahun 1992-1996). Periode ini ditandai dengan lanjutan pembangunan sarana fisik kampus, pembangunan Fakultas Dakwah, gedung perpustakaan, gedung Pascasarjana dan gedung Rektorat. System pendidikan yang digunakan pada periode ketiga ini mulai bergeser dari system Liberal kepada system terpimin dengan mengintrodusir system semester semu dan akhirnya system kredit system semester murni. Dari segi kurikulum, IAIN Sunan Kalijaga telah mengalami penyesuaian yang radikal, sesuai dengan kebutuhan Nasional Bangsa Indonesia. Jumlah Fakultas berubah menjadi lima buah, yaitu : Fakultas Adab, Fakultas Dakwah, Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Program Pascasarjana dibuka pada periode ini, tepatnya pada tahun ajaran 1983-1984. Sebelumnya program ini adalah PGC (Post Graduate Course) dan SPS ( Studi Purna Sarjana ) yang tidak memberikan gelar. Pembukaan Program Pascasarjana ini telah mengukuhkan status IAIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang sebagai lembaga Dakwah.
Keempat, periode pemantapan orientasi akademik dan manajemen (Tahun 1997-2001). Periode ini dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Atho’ Mudzhar sebagai Rektor dan ditandai dengan upaya melanjutkan pembangunan mutu ilmiah IAIN Sunan Kalijaga, khususnya mutu dosen dan mutu para alumni. Pada dosen dalam jumlah yang besar diberi kesempatan dan didorong untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana, baik untuk tingkat magister (S2) maupun Doktor (S3) dalam bidang keilmuan keislaman maupun ilmu – ilmu yang terkait, baik di program pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga sendiri maupun di perguruan tinggi lain, di dalam maupun di luar negeri. Demikian pula peningkatan mutu sumber daya manusia bagi tenaga administrasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan pelayanan administrasi akademik.
Kelima, masa pengembangan IAIN. Pada masa ini dimulai tahun 2002 ampai sekarang dibawah kepemiminan Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah. Dengan seiring semakin besarnya tantangan di masa depan dan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap lembaga IAIN, maka IAIN merasa tertantang untuk mengembangkan secara instutional dalam format yang lebih jelas, yakni berubah menjadi Universitas. Namun, sebelum perubahan tersebut dilakukan, IAIN juga melakukan pengembangan dengan konsep “IAIN with wider mandate” (IAIN dengan mandate yang lebih luas). Dengan konsep ini, IAIN telah dan akan mengembangkan jurusan/program studi bidang ilmu - ilmu sosial dan ilmu - ilmu eksakta yang dalam tahapan selanjutnya akan di Up-grade menjadi Fakultas-fakultas, jurusan-jurusan, dan program-program studi.
Adapun kebijakan kearah pengembangan perguruan tinggi dewasa ini bertumpu pada paradigma baru yaitu bertumpu pada tiga pilar utama; kemandirian (autonomy), akuntabilitas (accountability) dan jaminan mutu (Quality Assurance). Berdasarkan hal tersebut IAIN bekerja keras melakukan banyak hal :
1. Integrasi epistemology keilmuan sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu – ilmu agama.
2. Memberikan landasan moral bagi pengembangan IPTEK dan melakukan pencerahan dalam pembinaan IMTAQ sehingga IPTEM dan IMTAQ dapat sejalan.
3. Mengartikulasikan Ajaran Islam secara professional ke dalam konteks kehidupan masyarakat sehingga tidak ada lagi jarak antara norma agama dan sofistifikasi masyarakat.
4. Mengembangkan riset dan penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif sehingga tidak ada kesan deduktifikasi ilmu – ilmu keislaman. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pola pengabdian yang professional.
5. Memberikan landasan moral dan spiritual terhadap pem,bangunan nasional sehingga konsep pembangunan manusia seutuhnya dapat tercaai.
6. Melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas dalam berbagai segi baik kelembagaan, akademis, amangerial, dan fisik.

C. Kesimpulan Dan Saran
1. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Perubahan perguruan tinggi IAIN / STAIN menjadi UIN membuka peluang dan harapan baru.
2. Integrasi kurikulum Agama dan Sain Teknologi merupakan tuntutan zaman dan merupakan perkembangan pemikiran paradigma.
3. Anehnya mengapa tidak diintegrasi dari TK, SD sampai SMA tidak terintegrasi bahkan waktu untuk agama hanya 2 jam pelajaran.
4. Kena apa yang dikaji hanya IAIN saja, sementara banyak perguruan swasta yang bernafaskan Islam seperti Universitas Muhammadiyah, STAINU, dll mestinya ikut terintegrasi.
Sebagai saran ilmu ke Islaman disitu tetap harus diutamakan, yang perlu digali mampukah bersaing dengan universitas lain? Tentunya dengan kesungguhan yang dilandasi dengan perjuangan. Dan semua jenjang pendidikan harus diikuti terintegratet.




DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar Jogjakarta.
2. Prof. Dr. Imam Suprauogo, Makalah Seminar Nasional.
3. Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu Agama. Interpretasi dan Aksi, Mizan Pustaka. Bandung
4. Integrated University, Infoemation System UIN Sunan Kalijaga 2005
5. Sumber Biro Humas UIN Sunan Kalijaga
6. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165
7. www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/03x1.htm-16k-Cached-more from this-site save

























































Rabu, 27 Agustus 2008

KARYA ILMIAH

DASAR DASAR PENDIDIKAN ISLAM
KAJIAN S.N AL ATTAS

I. PENDAHULUAN
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia yang selalu mengalami perubahan baik dibidang sistem maupun kurikulum belum nampak maksimum bila dibandingkan dengan negara lain. Sebagaimana yang kita rasakan mulai jaman orde baru sampai jaman reformasi ternyata belum membuahkan hasil yang sempurna baik secara individu maupun sosial kemasyarakatan.
Secara individu banyak kita lihat sarjana muslim yang meraih prstasi gelar sarjana tetapi belum dapat menularkan/mengetrapkan tertib ilmunya di dalam kehidupan. Gelar yang diraih merupakan simbul/syarat untuk mencari pekerjaan atau jabatan. Dampak seperti ini hampir dialami oleh sebagian besar mahasiswa bahwa, memiliki gelar sekedar untuk mencari pekerjaan yang enak dengan gajih yang besar. Secara sosial kemasyarakatan masih banyak kita jumpai sarjana muslim yang diberi amanat jabatan lupa terhadap amanat tersebut yang akibatnya menimbulkan ketidak puasan dari berbagai fihak, muncul demo, kekerasan dan fitnah yang tiada putusnya. Disisi lain pendidikan dasar wajib 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, diikuti adanya kejar paket A, B dan C serta SMP terbuka dengan biaya dari pemerintah yang cukup banyak juga belum membuahkan hasil yang maksimum. Lebih-lebih dengn munculnya kompensasi/subsidi BBM bagi anak sekolah dasar (SD dan SMP) gratis biaya sekolah justru memanjakan bagi anak maupun institusi itu sendiri. Yang lebih memprihatinkan lagi pemerintah telah menetapkan bantuan kepada rakyat miskin yang disebut bantuan gakin (keluarga miskin) termasuk raskin juga merupakan pendidikan yang bersifat membodohkan masyarakat. Dalam kenyataan saling berrebutan untuk dicatat/diusulkan menerima bantuan sebagai keluarga miskin yang menurut kriteria belum bisa dipertanggung jawabkan. Sementara pejabat mengajukan tuntutannya untuk dinaikkan gajinya yang apabila dibandingkan dengan bantuan gakin lebih berlipat ganda ini tidak adil.
Demikian beberapa hal yang menarik bagi penulis untuk mengangkat tulisan yang berjudul Dasar-Dasar Pendidikan, kajian Syed M. Naquib Al Attas untuk menjembatani perkembangan pendidikan di Indonesia.

II. PERUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas masalah yang akan penulis angkat dan rumusan masalah adalah: dengan memperhatikan dasar-dasar pendidikan yang benar akan membuahkan hasil yang maksimum. Menurut kajian S.N Al-Attas penanaman dasar pendidikan bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna tetapi untuk memunculkan manusia paripurna. Pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang, ini disebut ta’dib. Dengan adab yang baik dapat membangun dan mengembangkan masyarakat/warga negara yang baik pula.

III. TUJUAN
Memberikan wawasan yang luas bagi penulis sebagai seorang pendidik dan rekan-rekan seperjuangan pada khususnya serta mengambil pengalaman yang berharga dari seorang tokoh pendidikan untuk diteladani dan akhirnya dapat mengamalkannya guna membangun warga negara Indonesia yang kita cintai.

IV. URAIAN.
A. Makna Dan Tujuan Pendidikan.
Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing- masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu yang lebih menfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat belajar.[1]
Sementara itu pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Dengan kata lain pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa peserta didik. Menurut mereka meskipun memiliki banyak persamaan dengan peserta didik yang lain, seorang peserta didik masih tetap memiliki keunikan dalam pelbagai segi.[2]
Sejumlah pemimpin politik umat Islam menempatkan pendidikan berorientasi kemasyarakatan. Bahkan mereka yang melihat penidikan sebagai sesuatu yang berorientasi individual cenderung memilih aliran yang pertama dari pandangan ini, berusaha meraih keberhasilan sosial ekonomi bagi setiap peserta didik dengan harapan supaya mereka bisa memperkuat status sosial-ekonomi negara. Para pemimpin yang berjiwa sosialis menganggap negara atau masyarakat sebagai sesuatu yang lebih penting daripada individu. Mereka melihat pendidikan sebagai investasi, sebagai rekayasa sosial yang akan membentuk kembali tatanan sosial ekonomi negara-negara yang baru merdeka.
Sekarang ini, pendidikan menjadi alat mobilisasi sosial-ekonomi individu atau negara. Dominasi sikap yang seperti ini dalam dunia pendidikan telah melahirkan patologi psiko-sosial, terutama dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit diploma” (diploma disease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial. Dalam masyarakat yang miskin sumber daya alam dan tidak dilengkapi dengan tatanan ekonomi yang baik, sikap pendidikan seperti ini turut menyumbang terciptanya situasi sosial-politik yang kacau. Disamping perencanaan yang buruk dan cara penanganan yang salah, keadaan seperti ini sebenarnya bersumber dari kebingungan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan oleh pengaruh program sekularisasi yang berkesinambungan dan konsep negara ala Barat.
Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari keridhoan Allah. Beberapa teoritisi Muslim, seperti Muhammad ‘Abduh (teolog) di Mesir telah memerhatikan dan mengkritik hasil-hasil negatif dan tujuan pendidikan itu bukan untuk mobilitas sosial-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik. Dia mengkritik habis-habisan sisi-sisi pragmatis dari sistem pendidikan Mesir dan menambahkan:
(Pendidikan ini disampaikan [imparted] sehingga murid) bisa memperoleh gelar yang memungkinkannya memperoleh pekerjaan sebagai tenaga administrasi dalam sebuah departemen. Namun, hakekat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan (al-taklim wa al-tarbiyah) dan dengan menanamkan nilai-nilai yang luhur sehingga ia menjadi manusia yang saleh (rijalan shalihan fi nafsi), yang dengannya ia bisa mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam instansi pemerintahan ataupun dalam instansi lainnya tidak masuk kepala guru-guru tersebut.[3]

Indonesia yang penduduknya merupakan penganut agama Islam terbesar di dunia juga menekankan pendidikan yang berorientasikan kemasyarakatan. Dampak yang kita rasakan bahwa penekanan pendidikan terhadap anak didik bidang adab dikesampingkan, terbukti anak didik hubungannya dengan pendidik tidak tercipta menghormat dan kasih sayang bahkan banyak kita jumpai setelah terjun di masyarakat atau mendapatkan amanah jabatan dalam suatu instansi pemerintah maupun swasta terjadi kemerosotan moral. Yang penting anak dapat lulus dengan mendapatkan nilai afektif dan kognitif yang baik dan merupakan suatu kebanggaan bagi institusi sekolah bila anak lulus 100 % dari nilai 3 mata pelajaran yang diujikan secara Nasional. Sementara setelah anak lulus tersebut tidak memiliki bekal pelajar yang baik secara paripurna, bagi keluarga anak didik merasa puas dengan kelulusan mendapat ijazah dapat digunakan untuk melamar pekerjaan. Fenomena yang lain para pegawai / pendidik atau pejabat pemerintah secara formalitas dituntut untuk memiliki ijazah yang sesuai dengan proporsinya. Dan merupakan syarat untuk status sosial-ekonomi.

B. Pandangan Yang Mempreoritaskan Individu.
Pendidikan menurut S.N. Al-Attas menegaskan dan menjelaskan bahwa; Tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna tetapi untuk memunculkan manusia yang paripurna.[4]
Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat sepiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia.[5]
Al-Attas berpendapat bahwa warga negara atau pekerja yang baik dalam sebuah negara sekuler tidak sama dengan manusia yang baik; sebaliknya, manusia yang baik sudah pasti seorang pekerja dan warga negara yang baik. Sangat jelas bahwa jika majikan ataupun negara itu baik, sebagaimana yang didifinisikan dalam kerangka ajaran Islam, menjadi pekerja ataupun warga negara itu sama dengan menjadi manusia yang baik. Namun, sebuah negara Islam mensyaratkan adanya partisipasi aktif umat Islam yang kritis. Dalam karya selanjutnya, al-Attas menekankan bahwa penekanan terhadap individu bukan hanya sesuatu yang prinsipiil, melainkan juga strategi yang jitu pada masa sekarang.[6]
Membahas konsep Negara Paripurna (Al-Madinah Al Fadhilah) dalam Islam, Al-Attas menjelaskan bahwa tujuannya bukanlah membina dan mengembangkan warga negara yang sempurna sebagaimana yang ditekankan oleh pemikir-pemikir barat, seperti plato, melainkann lebih penting dari itu, adalah membina manusia yang sempurna, dan pada tujuan inilah pendidikan itu seharusnya diarahkan. Namun, Al-Attas juga mengatakan bahwa Islampun bisa menerima ide pembentukan warga negara yang baik sebagai tujuan pendidikan, namun yang kami maksudkan dengan warga negara disini adalah warga Negara Kerajaan Lain, yang memungkinkannya menjadi manusia yang baik. Menurut Al Attas, perhatian penuh terhadap individu merupakan suatu yang sangat penting, sebab tujuan tertenggi dan perhentian terakhir etika dalam perspektif Islam adalah untuk individu itu sendiri. Karena posisinya sebagai agen moral, menurut Islam, manusialah yang kelak akan diberi pahala atau azab pada hari perhitungan.

C. Manusia Beradab.
Al-Attas mengatakan bahwa orang terpelajar adalah orang baik, “Baik” yang dimaksudkannya disini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang memiliki kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya”. Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didifinisikan Al-Attas se bagai orang yang beradab. Tulisannya :
Orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.[7]

Pendidikan, menurut Al-Attas, adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang – ini disebut dengan ta’dib. Al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad Saw, yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai manusia sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada masa itu. Dia mengatakan, “Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.”
Dari keterangan diatas, dapat disimpilkan bahwa pengertian adab menurut Al-Attas melibatkan hal-hal sebagai berikut :
1. Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran.
2. Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.
3. Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan perilaku salah dan buruk.
4. Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji.
5. Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat.
6. Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat
7. Realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah. Jadi jelaslah bahwa pendidikan yang dimaksudkan Al-Attas berbeda dengan pengajaran dan pelatihan.

D. Pengembangan Masyarakat
Fakta yang dianggap lumrah, yang telah dikemukakan sejak zaman Aristoteles bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Filsafat pendidikan Al-Attas sangat jelas menekankan pengembangan individu, tetapi hal ini tidak dapat dipisahkan secara sosial dalam hal cara dan konteks pelaksanaannya. Al-Attas menyatakan;
Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, kami tidak bermaksud utuk melahirkan masyarakat yang baik. Karena masyarakat terdiri individu, melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah (pembuat) struktur masyarakat.[8]
Seorang individu hanyalah individu ketika secara simultan ia menyadari individualitasnya yang unik dan kebersamaan dirinya dengan manusia lain yang dekat dengannya dan sekitarnya. Seorang individu tidak memiliki arti apa-apa dalam keadaan itu ia tidak lagi menjadi individu, ia adalah segala sesuatu. Dari penjelasan singkat mengenai makna adab, kini telah jelas bahwa manusia beradab (insan adabi), seperti yang dipahami Al-Attas, adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam, manusia yang baik atau individu yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anak nya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik, dan warga negara yang baik bagi negaranya. Dengan kata lain:
Ia harus mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah pelbagai tingkatan manusia, yang harus dipahami sebagai sesuatu yang telah disusun secara hierarkis dan logis ke dalam tingkatan-tingkatan (derajat) kebaikan yang berdasarkan kriteria Al-Qur’an mengenai kecerdasan, keilmuan, dan kebaikan (ihsan), dan harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan itu secara positif, terpercaya dan teruji.[9]

Walaupun masyarakat terdiri dari individu-individu, pendidikan masyarakat tidak dapat berlangsung kecuali ada individu yang cukup terdidik; persis sebuah mobil yang terdiri dari beberapa spare part yang antara satu dan lainnya saling menunjang sehingga untuk mereparasinya tidaklah harus melibatkan entitas mobil itu secara keseluruhan, tetapi cukup dengan menguatkan masing-masing onderdilnya.
Tujuan Pendidikan dalam Islam itu bersifat religius, tetapi agama, din yang dimaksudkan oleh Islam bukan hanya bersifat personal, melainkan juga secara inheren bersifat sosial dan kultural. Bahkan, seorang sufi yang biasanya oleh kelompok modernis dipahami sebagai orang yang anti sosial, tetap tidak pernah mengabaikan kewajiban sosialnya. Al-Attas telah menyatakan beberapa kali bahwa di pusat-pusat kota, bahkan di desa-desa yang sederhana, kelompok tarekat sufi tetap menjalankan perananya dalam suatu kebudayaan.
Sudah selayaknya jika pelbagai bentuk sitem pendidikan Islam baik dalam bentuk kuttab, madaris, masajid, khaniqah, maupun rumah-rumah pribadi – yang tujuannya adalah pembentukan individu-individu yang baik dan mencapai kebahagiaan tertinggi di dunia dan akherat, dapat menghasilkan banyak pemimpin politik, cendikiawan, administrator, teknisi, dan perajin, serta anggota masyarakat biasa yang tak terhitung jumlahnya. Individu-individu ini semuanya telah memiliki kontribusi dalam pengembangan peradaban Islam, kegiatan keagamaan, intelektual, dan secara unversal masih dihormati dan dikagumi secara jujur dimanapun mereka berada. Hal yang sama tidak dapat dilihat dari produk pendidikan bangsa-bangsa Muslim modern walaupun memiliki kelengkapan material dan teknologi yang terus berkembang.
Dalam perspektif Islam, makna kemajuan masyarakat dan perkembangan nya bukanlah perubahan yang terus menerus menuju masa depan yang tidak pasti. Namun, lebih merupakan “sebuah proses pergerakan Muslim yang telah menyimpang menuju keaslian Islam; perkembangan seperti inilah satu-satunya yang dapat disebut dengan kemajuan yang sebenarnya”. Kemajuan mensyaratkan pencapaian tujuan-tujuan yang telah jelas dalam hidup dan ditetapkan secara permanen; sebab perjuangan menuju tujuan-tujuan yang terus-menerus berubah bukanlah kemajuan. Jadi, sesuatu yang tidak diperdebatkan lagi adalah suatu filsafat pendidikan Islam yang benar, yang menekankan pertumbuhan dan perkembangan individual, intelektual, dan spiritual secara inheren sesungguhnya bersifat sosial. Konseptualisasi Al-Attas hanya mengarahkan perhatian kita pada agen konstruksi dan rekonstuksi sosial yang sebenarnya, yaitu individu, tidak kepada keseluruhan masyarakat. Disemua negara Islam, hampir semua lembaga perguruan tinggi modern dan tradisional dibantu oleh pemerintah secara finansial. Tentunya disana terdapat beberapa pengecualian dan lebih aman untuk mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan negara sangat berpengaruh: dari pemilihan rektor dan pembantui rektor, penerimaan mahasiswa, dan pendirian departemen dan fakultas-fakultas baru, hingga penawaran mata kuliah. Jika visi Al-Attas direalisasikan, umat Islam sangat membutuhkan individu-individu yang tulus dan berpandangan jauh dalam pemerintahan, yang sadar akan peranan mereka dalam pendidikan, bukan hanya beritikad baik, melainkan juga sadar dan sanggup melaksanakannya. Jika tidak, umat Islam harus bergantung pada sumber daya mereka sendiri, yang hanya dapat direalisasikan jika mereka menganggap belajar dan pendidikan bukan hanya sebagai prasyarat penting dalam beribadah, melainkan juga merupakan bentuk ibadah yang tertinggi. Dalam sejarahnya, penekanan terhadap individu terbukti sangat efektif dalam membebaskan cendikiawan yang mampu dan berdedikasi dari kontrol penguasa atau lembaga-lembaga. Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa ijazah pada masa itu diberikan kepada mahasiswa oleh pribadi-pribadi guru bukan oleh lembaga-lembaga.

E. Ketiadaan Adab.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, salah satu landasan yang paling utama dalam pemikiran filsafat pendidikan Islam Al-Attas adalah konsepnya mengenai bab yang sangat komprehensif. Secara alami, analis beliau mengenai problem pendidikan, intelektual, dan kebudayaan menunjukkan fakta bahwa problim-problim itu berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial politik dari kebudayaan barat, sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab secara benar dalam segala bidang.[10]
Namun dari semua itu, ketiadaan adablah yang harus ditinjau dan dikoreksi secara efektif jika Muslim ingin menyelesaikan problem kebingungan dan kekeliruan dalam bidang keilmuan dan menanggulangi munculnya kepemimpinan palsu dalam segala bidang. Kebingungan yang akut karena ketiadaan atau disintegrasi adab, tidak hanya berarti rusaknya ilmu (corruption of knowledge), tetapi juga ketidak mampuan mengakui pemimpin yang benar dalam segala bidang, bahkan memberi jalan dan mendukung munculnya pemimpin gadungan. Sebagai tambahan, dengan dalih demokrasi, masyarakat awam dan khususnya para pemimpin mereka akan menjadi penentu masalah-masalah keilmuan kemudian menjalar pada ilmu agama. Kecenderungan populer yang terus meningkat dalam menjalankan lembaga pendidikan dengan gaya manajemen perusahaan pada beberapa masyarakat Muslim dapat mendorong para pelaksana pendidikan untuk menyesuaikan materi yang akan diajarkan di sekolah dan universitas dengan tuntutan pasar. Hal ini juga didorong oleh mass media dan dikontrol oleh kepentingan politik dan bisnis. Perjalanan internasional yang cepat dan efisien memudahkan warga negara yang baik dalam rezim atau organisasi yang tidak adil untuk meluaskan aktivitas mereka dengan lebih cepat, luas, dan kemampuan yang lebih efisian untuk melarikan diri. Pembangunan teknologi informasi yang begitu dahsyat telah menghilangkan batas-batas kenegaraan, secara praktis memberikan informasi tak terbatas untuk pelbagai macam kegunaan, baik atau buruk. Ledakan informasi yang kegunaannya sangat potensial dan gaungnya yang menglobal telah mengakibatkan pelbagai kebingungan, belum lagi isinya yang berbahaya secara etis, cultural, dan sosial. Perkembangan-perkembangan seperti ini pada hakekatnya membutuhkan individu, laki-laki dan perempuan, yang secara instrinsik baik dalam pengertian adab, yang lebih dari pada sebelumnya. Keruwetan bentuk jalinan ekonomi global akan menghancurkan ekonomi-ekonomi dan jutaan kehidupan jika warga negara yang berhasil dari ekonomi kuat dan berpengaruh itu hanya berusaha menguntungkan kepentingan pribadi dan nasional untuk jangka pendek.
Namun yang lebih penting lagi, orgensi ide dan program pendidikan ini sangat mendesak, sebab, walaupun kemajuan luar biasa telah dicapai manusia moderen dalam bidang teknologi, medis, dan ekonomi, ia tidak meningkatkan taraf kebebasan, pencapaian moral dan etika, keadilan, dan kebahagiaan manusia secara berarti dan signifikan. Seorang yang terdidik atau seorang yang beradab, dalam pengertian ini, adalah manusia universal yang memahami dan mengamalkan adab dalam diri, keluarga, lingkungan, dan masyarakat dunia. Manusia yang beradab secara definitif, sebagaimana dipahami dan diamalkan Al-Attas, dapat menghadapi dunia yang plural ini dengan sukses tanpa harus kehilangan identitasnya. Berhadapan dengan pelbagai tingkatan realitas, dengan cara yang benar dan tepat, akan mendorongnya meraih kebahagiaan spiritual dan permanen, baik di dunia maupun di akherat. Hal ini berimplikasi bahwa perencanaan, isi, dan metode pendidikan harus mencerminkan penekanan pada pengamalan adab yang benar secara keras dan konsisten dalam pelbagai tingkat realitas. Untuk merealisasikan tujuan ini, sistem pendidikan yang baru harus diformulasikan dan dilaksanakan di negara Muslim, yang menurut Al-Attas harus dimulai pada tingkat universitas.

V. Kesimpulan, Saran dan Penutup
A. Kesimpulan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas mulai dari pengertian, dasar dan tujuan pendidikan menurut kajian S.N. Al-Attas dan berdasarkan problematika perkembangan pendidikan di Indonesia dapat penulis simpulkan bahwa ;
Tulisan-tulisannya cukup banyak merefisi pengertian Tarbiyah menjadi Ta’dib. Pendidikan Skill/Ketrampilan secara otomatis dapat berkembang dengan sendirinya melalui pendidikan Adab.

1. Menurut kajian S.N Al-Attas penanaman dasar pendidikan bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik.
2. Pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang, ini disebut ta’dib. Dengan adab yang baik dapat membangun dan mengembangkan masyarakat/warga negara yang baik pula.
3. Dalam perspektif Islam, makna kemajuan masyarakat dan perkembangannya bukanlah perubahan yang terus menerus menuju masa depan yang tidak pasti. Namun, lebih merupakan sebuah proses pergerakan Muslim yang telah menyimpang menuju keaslian Islam; perkembangan seperti inilah satu-satunya yang dapat disebut dengan kemajuan yang sebenarnya.
4. Problem pendidikan, intelektual, dan kebudayaan menunjukkan fakta bahwa problim-problim itu berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial politik dari kebudayaan barat, sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab secara benar dalam segala bidang
5. Penanaman dasar-dasar pendidikan di Indonesia belum menunjukkan ke berhasilan dalam bidang ta’dib. Dalam kenyataan tujuan sekolah lebih ditekankan berusaha meraih keberhasilan sosial ekonomi bagi setiap peserta didik dengan harapan supaya mereka bisa memperkuat status sosial-ekonomi negara.

B. Sekilas Tentang Syed M. Naquib Al-Attas.
Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 Pendidikan Dasar di Sekolah Dasar Ngee Heng, Johor (1936-1941), dan Madrasah Al-‘Urwah Al Wutsqa, Sukabumi (1941-1945), Kemudian, dia melanjutkan ke Royal Military academy, sundhust, Inggris dan University of Malaya, Singapura. Al-Attas mendapatkan gelar M.A. pada 1962 dari Universitas McGill, Montreal, dengan Tesis “ Raniti and the Wujudiyyah of 17 Th Century acheh”. Sedangkan gelar Ph. D. diperoleh dari Universitas London 1965 dengan disesrtasi berjudul “The Mysticism of Hamzah Fanshuri”.

Al-Attas pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Melayu (1965-1968), Dekan Fakultas Sastra (1968-1970), dan menjadi Direktur Pertama Institut Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu (IBKKM) yang didirikan pada 1973. Dia juga pernah menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu dan Dekan Fakultas Sastra di Universitas of Malaya, Kuala Lumpur.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, meliputi teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri serta telah menulis lebih dari dua puluh buku dan ratusan makalah tentang Islam, khususnya dalam bidang yang memang sangat dikuasainya itu. Sebagian besar karyanya ditulis dalam bahasa Inggris dan sebagian kecil dalam bahasa Melayu. Sejumlah karyanya sudag diterjemahkan kedalam pelbagai bahasa : Arab, Prancis, Jerman, Indonesia, Jepang, Korea, Rusia, Turki, dan Urdu. Sebagai penghargaan atas kontribusinya dalam bidang perbandingan filsafat, Al-Attas diangkat sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang anggotanya terdiri dari tokoh- tokoh terkemuka, seperti Henry Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Toshihiko Izutsu. Dari dalam negeri dia ditunjuk sebagai Pemegang Pertama Kursi Kehormatan Abu Hamid Al Ghazali dalam studi Pemikiran Islam oleh Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai Presiden ISTAC dan International Islamic University Malaysia. Sebagai seorang sarjana Muslim, Al-Attas diakui telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadan Dunia Islam konteporer, terutama dalam persoalan islamisasi ilmu dan pendidikan.

C. Saran
Penulis sependapat dengan kajian S.N. Al-Attas yaitu tentang dasar-dasar pendidikan Islam penanaman adab pada diri seseorang, hanya persoalannya mengapa Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak berani menekankan pendidikan adab ?. bahkan mengapa lebih mengutamakan keberhasilan Ujian Akhir Sekolah (UAN) merupakan kebanggaan bagi institusi maupun anak ?
Untuk menjawab tersebut terutama bagi perguruan yang bercirikhaskan Islam harus berani memulai penekanan pendidikan adab tersebut, sebagai contoh menambah jam pelajaran sebagai ciri khusus dan selalu menghubung kan semua pelajaran dengan adab yang baik serta saling sayang/menghormat antara yang muda dan yang tua. Seperti penulis ketahui contoh pendidikan yang telah diterapkan di pondok modern Darussalam Gontor Ponorogo.

C. Penutup
Demikian makalah yang singkat ini semoga bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan rekan seperjuangan pada umumnya. Kepada Allah kami berserah diri, semoga meridloinya. Aamiin.


Daftar Pustaka
1. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165
2. ‘Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah,ed. Muhammad ‘Amarah, 6 jil. (Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyyah li Al-Dirasat wa Al-Nasyr), 3.2 111; dicuplik dari Rahman, Islam dan Modernity, h. 60.
3. B. Othanel Smith, William O. Stanley, dan J.Harlan Shores, Fundamentals of Curriculum Development. Edisi revisi ( New York, Chicago, San Francisco, Atlanta : Harcourt, Brace, & World, Inc., 1957).
4. S.M.N.Al-Attas, Preliminary Notes on the National Philosophy and Objectives of education; dikirim kepada Tan Sri Ghzali Syafie pada September 1970. Ketikan surat hh. 2-3.



























[1] Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan . 2003. hal. 165
[2] B. Othanel Smith, William O. Stanley, dan J.Harlan Shores, Fundamentals of Curriculum Development. Edisi revisi ( New York, Chicago, San Francisco, Atlanta : Harcourt, Brace, & World, Inc., 1957).
[3] ‘Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah,ed. Muhammad ‘Amarah, 6 jil. (Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyyah li Al-Dirasat wa Al-Nasyr), 3.2 111; dicuplik dari Rahman, Islam dan Modernity, h. 60.
[4] S.M.N.Al-Attas, Preliminary Notes on the National Philosophy and Objectives of education; dikirim kepada Tan Sri Ghzali Syafie pada September 1970. Ketikan surat hh. 2-3.
[5] IS, h. 141
[6] Aims and Objectives, h.6.
[7] Risalah,para. 15, h. 54.
[8] CELL, h.25.
[9] Ibid., h.27.
[10] Ibid., para. 153, hh. 178-180.