Senin, 18 Agustus 2008

KARYA ILMIAH

TARJAMATUL QUR’AN

Kata kunci : Tarjamatul Qur’an
Makalah ini berjudul Tarjamatul Qur’an untuk mengetahui lebih jauh dan jelas tentang ihwal penerjemahan Al-Qur’an.
I. Pendahuluan
Secara histories Al Qur’an diturunkan pada malam 17 Romadlon. Setelah melalui beberapa proses tahapan dengan ayat yang pertama surat al ‘alaq ayat 1-5. Namun pada dasarnya keberadaan Al Qur’an tidak sekedar menyempurnakan ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci terdahulu.
Hal ini dibuktikan dengan kehadirannya yang hingga kini masih terjaga kemurnian Al Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab sekalipun, karena adanya susunan yang indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui mereka dalam bahasa Arab.
Termasuk kesulitan seseorang ialah menundukkan seluruh kata dalam satu bahasa, untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Sementara Al Qur’an tidak berbicara dengan sebuah kata kecuali sejalan dengan makna yang dikehendaki dan pada tingkat kedalaman paling tinggi.
Pada perkembangan abad modern sekarang ini Al Qur’an masih terkesan eksis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Terjemah Al Qur’an yang selalu berkembang tidak pernah mengalami tolak belakang dalam memahami / menterjemahkan Al Qur’an bahkan falsifikasi terjemahan Al-Qur’an selalu dapat menyesuaikan perkembangan zaman. Hal inilah yang akan kami coba paparkan pada pembahasan lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya.
Sebagai kitab yang sakral, umat Islam mengagungkan ajaran yang ada didalamnya. Tidak bisa dinafikan lagi kehadirannya. Al Qur’an di bumi adalah membuka sekian banyak penafsiran dan pemahaman karena mengandung bahasa yang tak satupun ada intervensi dengan manusia. Sketsa sejarah ini memiliki satu nilai positif, bahwa ia memberikan latar belakang bagi pembahasan ajaran-ajaran agama.
Mudah-mudahan makalah ini menjadi bukti kecintaan terhadap Al Qur’an, dan dapat memperkaya perbendaharaan ilmu pengetahuan, khususnya tentang penerjemahan yang di tanah air masih sangat dibutuhkan. Diharapkan agar apa yang telah dikemukakan dalam makalah ini dapat dijadikan bahan pemikiran lebih lanjut bagi siapa saja yang ingin menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia.

II. Tujuan Penulisan
Secara umum untuk memberikan gambaran yang jelas kepada para pembaca mengenai ihwal penerjemahan Al-Qur’an tentang Pengertian Terjemahan, Jenis Terjemahan, Syarat-syarat Penerjemahan perbedaan penterjemahan dengan Penafsiran serta apa yang harus dipenuhi dalam menterjemahkan Al-Qur’an.

III. Uraian
1. Pengertian Terjemahan
1.1. Terjemahan Menurut Etimologi.
Terjemahan menurut etimologi mengandung empat makna yang berpaut.[1]
1.1.1 Menyampaikan berita kepada yang terhalang menerima berita. Untuk memudahkan pemahaman berita yang dilakukan oleh penerjemah terhadap orang yang lanjut usia. (mungkin karena orang tersebut sudah tuli) disebut terjemahan, dan orangnya dinamakan turjuman ( penerjemah )
1.1.2 Menjelaskan maksud kalimat dengan cara menggunakan bahasa aslinya. Menurut pemahaman ini berarti mutarjim sama dengan mufassir. Bahwa turjuman (penerjemah, juru bahasa disebut mufassir (pemberi keterangan tentang maksud suatu kalimat)
1.1.3 Menjelaskan maksud suatu kalimat dengan perantaraan bahasa di luar bahasa sumber. Bila bahasa sumbernya bahasa Arab, maka bahasa yang menjelaskan harus bahasa lain.
1.1.4 Alih bahasa. Yaitu pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke bahasa lain. Pelaku pekerjaan mengalihkan makna atau amanat diberi nama penerjemah.
Oleh karena keempat pengertian diatas baik secara tersurat maupun tersirat mengandung makna menerangkan atau menjelaskan, dapat dikatakan bahwa terjemahan adalah setiap perilaku yang mengandung unsur menjelaskan meskipun diluar ketentuan keempat pengertian tersebut.

1.2. Terjemahan Menurut Pola Umum
Terjemahan menurut paham umum ialah ungkapan makna dari bahasa tertentu ke bahasa lain sesuai dengan maksud yang terkandung dalam bahasa tertentu tersebut.[2] Yang dimaksud dengan makna dalam difinisi ini bukan sekedar arti permukaan dari kata atau kalimat itu sendiri. Untuk itu seorang penerjemah perlu memperhatikan teks yang akan diterjemahkan, baik dari segi isi teks maupun ragam bahasanya.

2. Jenis Terjemahan
Secara umum terjemahan ada dua jenis, yakni terjemahan harfiah dan terjemahan tafsiriah atau maknawiah
2.1. Terjemahan Harfiyah
Terjemahan harfiyah ialah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai urut-urutan kata bahasa sumber. Terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan lafziah atau musawiyah. Terjemahan harfiyah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami dicarilah padanan kata dalam bentuk bahasa penerima (Bpe), dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber (Bsu) meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya terjemahan harfiah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber (Bsu) tidak mungkin dilakukan, sebab masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa penerima) selain mempunyai cirri khas sendiri dalam urut-urutan, ada kalanya masing-masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri.

2.2. Terjemahan Tafsiriah atau Maknawiah
Terjemahan tafsiriah atau maknawiah ialah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber (Bsu). Terjemahan seperti ini mengutamakan ketepatan makna dan maksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan kalimat. Oleh sebab itu, bentuk terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan maknawiah, karena mengutamakan kejelasan makna. Pemberian nama terjemahan tafsiriah jenis terjemahan kedua ini, karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Teknik terjemahan tafsiriah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber (Bsu) terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima (Bpe) tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber (Bsu)

3. Syarat-Syarat Penerjemahan
Oleh karena penerjemahan bukanlah penggantian kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa penerima dan amanat, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Baik untuk penerjemahan secara harfiah maupun tafsiriah / maknawiah diperlukan tiga persyaratan.[3]
1. Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber (Bsu) dan konteks bahasa penerima (Bpe)
Ialah penerjemahan benar-benar sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa Sumber (Bsu) dan memberikan makna yang tepat di dalam bahasa penerima (Bpe). Suatu contoh dapat dikemukakan tentang kata الَّسيَّارَةَ arti kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks kisah Yusuf sebagaimana tersebut dalam Surat Yusuf ayat 10 berbeda dengan kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks teknologi otomotif. Kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks kisah Yusuf artinya ialah beberapa orang musafir. Sedangkan dalam konteks teknologi otomotif artinya mobil.
Bagaimanakah wujud penerjemahan dapat dikatakan sudah sesuai konteks bahasa penerima (Bpe)? Jawabannya dapat diketahui melalui pertanyaan sebagai berikut: Apakah pengertian beberapa orang musafir untuk kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks kisah Yusuf di atas sudah sesuai dengan yang dimaksudkan oleh ayat apabila diungkapkan dalam bahasa penerima (Bpe)? Kalau jawabannya ya, berarti penerjemahan sudah dapat dikatakan sesuai dengan konteks bahasa penerima (Bpe).
Demikian pula dengan pengertian mobil untuk kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks teknologi otomotif. Apakah pengertiannya benar-benar sudah sesuai dengan yang dimaksud dalam bahasa penerima (Bpe)? Kalau jawabannya ya, berarti penerjemahan dapat dikatakan sudah sesuai dengan konteks bahasa penerima (Bpe).
Jika tidak salah apabila dikatakan menerjemahkan bukan sekadar mencari padanan kata yang umumnya dilakukan dengan cara membuka kamus. Membuka kamus adalah suat keharusan dalam pekerjaan menerjemahkan, tetapi tidak selesai sampai di situ karena tidak mutlak dapat menyelesaikan pekerjaan menerjemahkan itu sendiri.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa penerjemahan tidak cukup hanya sesuai dengan konteks bahasa sumber (Bsu) dan bahasa penerima (Bpe), akan tetapi harus pula dapat mencerminkan bahan yang diterjemahkan. Karena itu, penguasaan bahan yang akan diterjemahkan menjadi penting bagi seorang penerjemah. Untuk itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa seorang penerjemah yang ideal adalah seorang yang ilmunya sebidang dengan pengarang yang bukunya diterjemahkan.
2. Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber (Bsu) dan gaya bahasa penerima (Bpe).
Ialah penerjemahan benar-benar memperlihatkan kesesuaian gaya bahasa dari kedua bahasa yang dipertemukan. Suatu contoh dapat dikemukakan: gaya at-tibaq ( اَلطِّباَقْ ) dalam bahasa Arab sama dengan gaya antitesis dalam bahasa Indonesia. Secara etimologi berarti lawan atau pertentangan.
Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia ialah :
1) Kecantikannyalah justru yang mencelakakannya.
Contoh dalam Al-Qur’an
2) وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًاوَهُمْ رَقُوْدٌ[4] artinya Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur
3) هُوَيُحْيِ وَيُمِيْتُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ[5] artinya Dialah yang menghigupkan dan mematikan dan hanya …...
4) ... لَهَامَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَامَاكْتَسَبَتْ[6] artinya Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya …
Apabila masing-masing ayat diperhatikan, contoh (2) merupakan gaya antitesis yang terdiri atas dua buah kata benda, yakni اَيْقَاظًا dan رَقُوْدٌ. Contoh (3) gaya antitesis terdiri atas dua buah kata kerja, yakni يُحْيِ dan يُمِيْتُ. Adakalanya gaya antitesis dalam Al-Qur’an terdiri atas sebuah kata benda dan sebuah kata kerja, seperti لَهَا dan عَلَيْهَا.
Contoh lain ialah gaya bahasa al-itnab (اْلاِطْنَاُب) dalam bahasa Arab yang sepadan dengan gaya pleonasme dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya gaya pleonasme adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata lebih banyak dari yang perlukan buat menyatakan satu pikiran atau gagasan. Disebut pleonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan, maknanya tetap utuh. Misalnya dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian itu saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Ungkapan ini akan tetap utuh maknanya walaupun kata-kata dengan mata kepala saya sendiri dihilangkan. Di dalam Al-Qur’an gaya bahasa semacam ini dapat dilihat misalnya dalam ayat :
5) تَنَزّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا....[7]
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril ....”
Makna ayat ini tetap utuh meskipun dihilangkan kata-kata malaikat Jibril. Jadi, sekiranya ayat ini diterjemahkan dengan pada malam itu turun malaikat-malaikat, tidak salah, karena kata malaikat Jibril dalam kalimat ini berkedudukan sebagai penghormatan terhadap malaikat Jibril itu sendiri yang bila tidak disebut pun beliau sudah termasuk dalam sebutan malaikat-malaikat.
Lebih lanjut dapat disimak apa yang dimaksud dengan gaya bahasa metonimia dalam bahasa Indonesia. Kata metonimia diambil dari kata Yunani meto yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma yang berarti nama. Dengan demikian, gaya metonimia ialah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan pertalian ini dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, sebab untuk akibat dan lain-lain. Metonimia jenis ini adalah suatu bentuk sinekdoke. Perhatikan contoh berikut :
6) Ia membeli sebuah chevrolet (berupa penemu untuk hasil temuan).
7) Pena lebih berbahaya dari pada pedang (berupa sebab untuk akibat).
Apabila ulasan tentang gaya bahasa metonimia diperhatikan, dapat dianalogikan bahwa ayat Al-Qur’an yang berbunyi: وَاسْئَلِ الْقَرْيَةِ الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا[8] (tanyalah negeri yang kami berada di situ), termasuk gaya metonimia. Alasannya karea yang dimaksud dengan kata القرية (negeri) dalam ayat tersebut adalah penduduk. Jadi, arti lengkapnya adalah sebagai berikut: “Tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ”. Gaya ini seperti disebut di atas mempergunakan sebuah kata untuk suatu hal yang lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat, yaitu berupa tempat bermukim untuk pemukim atau negeri untuk penduduk. Dalam bahasa Arab, gaya bahasa seperti ini disebut majaz mursal.
Contoh lain ialah :
8) وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَ هَا بِاَيْدِ ....[9]
“Dan langit itu Kami bangun dengan tangan (Kami)...”
Yang dimaksud dengan kata اَبْدٍ (tangan) dalam ayat ini adalah kekuasaan, karena arti lengkapnya ialah : Langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami). Ini sama dengan mempergunakan sebab akibat.
يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْ اَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ ...[10]
“Mereka menyumbat telinga mereka dengan jari-jari mereka karena mendengar suara petir...”
Pada ayat ini gaya bahasa yang digunakan termasuk dalam gaya bahasa sinokdoke, yang di dalam bahasa Arab juga tergolong majaz mursal. Sinekdoke ini termasuk jenis totum proparte, yakni mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian sebagaimana pernah disinggung di atas. Arti yang sesungguhnya dari ayat ini ialah : mereka menyumbat telinga dengan ujung jari mereka. Jadi, yang dimaksud dengan “jari-jari” ( اَصَابِعُ ) dalam ayat ini adalah ujung jari ( اَنَامِلُ), bukan berupa jari-jari yang utuh dari pangkal sampai ujung.
Dari uraian di atas dapat dibayangkan betapa pentingnya penguasaan penerjemah terhadap gaya bahasa sumber dan penerima sekaligus. Dengan penguasaan penerjemah terhadap gaya bahasa sumber dan penerima, sekaligus dengan penyesuaian antara kedua bahasa ini, tidak terlalu sulit baginya untuk menerjemahkan materi yang akan diterjemahkannya. Dengan demikian bahasa peneima selaras dengan bahasa sumber dalam hal makna dan gaya.

3. Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber (Bsu) dan ciri khas bahasa peneima (Bpe).
Ialah bahwa penerjemahan benar-benar mengerti tanda-tanda khusus yang membedakan antara bahasa sumber dengan bahasa penerima.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima akan dilihat dari peristiwa bahasa. Peristiwa bahasa merupakan suatu istilah dalam cabang ilmu bahasa yang berfungsi membicarakan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam bahasa sebagai akibat pemakaian bahasa tersebut. Agar lebih mudah dipahami, bisa dilihat contoh-contoh di bawah ini :
1. Bahasa Indonesia tidak mengenal fleksi (perubahan bentuk kata), baik konjugasi / tasrif (perubahan bentuk kata kerja), maupun deklinasi / i’rab (perubahan bentuk kata benda / kata sifat) seperti yang terdapat dalam bahasa Arab. Bandingkan !
Konjugasi / tasrif
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
Saya pergi ke pasar اَنَا اَذْهَبُ اِلَى السُّوْقِ
Saya telah pergi ke pasar ذَهَبْتُ اِلَى السُّوْقِ
Pergilah ke pasar اِذْهَبِيْ اِلَى السُّوْقِ /اِذْهَبْ
Deklinasi / i’rab
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
Mansur sudah datang جَاءَ مَنْصُوْرٌ
Saya sudah melihat Mansur رَأَيْتُ مَنْصُوْرًا
Saya pergi dengan Mansur ذَهَبْتُ مَعَ مَنْصُوْرٍ
Ali kecil عَلِيٌّ صَغِيْرٌ
Ali lebih kecil daripada Mansur عَلِيٌّ اَصْغَرُ مِنْ مَنْصُوْرٍ
2. Bahasa Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata seperti terdapat pada bahasa Arab. Bandingkan !
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
Engkau اَنْتَ = engkau laki-laki
اَنْتِ = engkau perempuan
Ia هُوَ = ia laki-laki
هِيَ = ia perempuan
Mereka هُمْ = mereka laki-laki
هُنَّ = mereka perempuan
Kamu sekalian اَنْتُمْ = kamu sekalian laki-laki
اَنْتُنَّ = kamu sekalian perempuan

3. Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk jamak dualis (bentuk jamak dua) dan bentuk jamak pluralis (bentuk jamak lebih dari dua) seperti pada bahasa Arab. Bandingkan !
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
sebuah buku كِتَابٌ
dua buah buku كِتَابَانِ
berapa buku كُتُبٌ
Jadi, dalam bahasa Indonesia jumlah tunggal itu ditandai dengan pemakaian kata seperti esa, se-, dan satu atau suatu, sedangkan jumlah banyak umumnya dinyatakan dengan upaya pengulangan. Contoh : sayur-sayuran, tali-temali, dsb. Jadi, pengertian kejamakan dalam bahasa Indonesia tidak selamanya benar bila diungkapkan dengan kata yang wujudnya bentuk ulang.
Dalam bahasa Arab dikenal tiga macam bentuk jama sebagai berikut :
1. jam’u at-taksir ( جَمْعُ التَّكْسِيْرِ ) “broken plural”
2. jam’u al muzakkar as-salim ( حَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ ) “masculine sound plural”
3. jam’u al-mu’annas as-salim ( حَمْعُ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ ) “feminine sound plural”
Untuk menunjukkan suatu benda / hal yang menyatakan banyak / jamak, bahasa Arab menempuh berbagai macam cara sebagai berikut :
1. Jam’u at-taksir ( جَمْعُ التَّكْسِيْرِ ) “broken plural” dengan cara mengubah bentuk kata tunggalnya. Contoh :
9) sahmun ( سَهْمٌ ) menjadi as-humun ( اًسْهُمٌ ).
10) Saifun ( سَيْفٌ ) menjadi as-yafun / suyufun ( سُيُوْفٌ / اَسْيَفٌ ).
Suatu yang dirasakan sulit ialah membuat teori yang baku dalam bentuk perubahan tersebut. Oleh karenanya, bentuk-bentuk jamak ini banyak diketahui melalui hasil bacaan dan pendengaran. Sekadar membantu mengetahui bentuk-bentuk jamak ini dapat dikemukakan beberapa bentuk padanan yang sudah diangkat di permukaan oleh para ahli. Diantaranya ialah padanan bunyi :
a. af’ulun ( اَفْعُلُنْ), seperti nafsun ( نَفْسُنْ ) menjadi anfusun ( اَنْفُسٌ )
b. af’alun ( اَفْعَلُنْ), seperti inabun ( عِنَبٌ ) menjadi a’nabun ( أًعْنَبٌ )
c. af’ilatun أَفْعِلَتُنْ), seperti ragifun ( رَغِيْف) menjadi argifatun ( اَرْغِيْفَةٌ)
d. fi’latun ( فِعْلَتُنْ), seperti fatan ( فَتىً) menjadi fityatun ( فِتْيَةٌ)
e. fu’alun ( فُعُلُنْ), seperti gurfatun ( غُرْفَةٌ ) menjadi gurafun ( غُرَفٌ)
f. fa’la ( فَعْلَى), seperti asirun ( اَسِرٌ ) menjadi asra ( أَسْرَى)
g. fi’lanun فِعْلاَنٌ), seperti gulamun ( غُلاَمٌ ) menjadi gilmanun( غِلْمَانٌ)
h. fu’alun ( فُعَّالُنْ ), seperti qari’un ( قَارِئٌ ) menjadi qurra’un ( قُرَّاءٌ)
2. Jam’u al muzakkar as-salim ( جَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ ) “masculine sound plural” dengan cara menambahkan huruf wawu (و ) dan nun ( ن) pada kata tunggal ketika rafa dan huruf ya ( ي ) dan nun ( ن ) ketika nasab dan jar.[11] Contoh :
(11a) mu’minun ( مُؤْمِنٌ ( menjadi mu’minun (مُؤْمِنُوْنَ ) mu’minin ((مُؤْمِنِيْنَ mu’minin ((مُؤْمِنِيْنَ
(11b) muslimun (مُسْلِمٌ ) menjadi muslimun ( مُسْلِمُوْنَ ) muslimin ( مُسْلِمِيْنَ ) muslimin ( مُسْلِمِيْنَ )
(11c) talibun ( طَالِبٌ ) menjadi ( طَالِبُوْنَ ) talibin ( طَالِبِيْنَ ) talibin (طَالِبِيْنَ)
3. Jam’ul al-muannas as-salim ( جَمْعُ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ ) “feminine sound plural” dengan cara menambahkan huruf alif ( أ ) dan ta’ ( ت ) pada kata tunggal, kecuali pada huruf ta’-nya sudah ada, tinggal menambah huruf alif saja. Contohnya :
(12a) mu’minun ( مُؤْمِنٌ ) menjadi mu’minatun (مُؤْمِنَاتٌ )
(12b) zainabun ( زَيْنَبٌ ) menjadi zainabatun ( زَيْنَبَاتٌ )
(12c) hamidatun ( حَمِيْدَةٌ ) menjadi hamidatun ( حَمِيْدَاتٌ )


4. Perbedaan Penerjemahan Dengan Penafsiran
Penerjemahan memiliki beberapa perbedaan dengan penasiran sebagai berikut :
1. Dalam penerjemahan tidak pernah terlihat pembahasan tentang kata asal dan usulnya, sedangkan dalam penafsirannya sering terlihat pembahasan tentang kata dan asal – usulnya.
Mengapa dalam penerjemahan tidak dibahas mengenai kata dan asal usulnya ? Jawabannya, karena penerjemahan adalah pengalihan bahasa, bukan penjelasan. Jadi, perlu kesamaan, tanpa penambahan dan pengurangan sehingga misalnya saja terjadi kesalahan dalam bahasa sumber (Bsu) maka penerjemahanpun harus tunduk. Lain halnya dengan penasiran, titik berat penafsiran adalah maksud dan kejelasan ayat. Untuk mencapai tujuan tersebut para mufassir menghubungkan penafsirannya dengan asal usul kata, latar belakang turunnya ayat, soal-soal akidah, nasikh mansukh dan hal-hal lain yang dapat lebih memperjelas maksud ayat yang ditafsirkan. Hal penghubungan seperti itu disebut istitrad, artinya berpindah dari pembicaraan karena ada hubungannya. Dari sekian banyak istitrad ini salah satunya adalah catatan tentang kesalahan apabila memang ada kesalahan, seperti yang terlihat dalam catatan-catatan khusus buku-buku ilmiah.

2. Bahasa terjemahan adalah bahasa lurus, dalam arti tidak disertai dengan keterangan, kecuali dalam hal menerjemahkan kata-kata yang mengacu pada ciri-ciri tertentu atau yang mempunyai pemakaian khusus dalam bidang tertentu. Menerjemahkan kata seperti ini memerlukan pengungkapan seperti tidak langsung dan sering berupa penjelasan yang panjang lebar, guna menciptakan kembali konteks-situasi yang relevan, misalnya, تَقْرَى , tudak cukup diartikan takut saja, perlu penjelasan, yakni memelihara diri dari siksaan Allah dengan cara mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya. Sementara itu, penafsiran terikat dengan berbagai keterangan terutama tentang urutan kata atau huruf dalam rangka memperoleh makna. Contohnya adalah tentang kedudukan huruf wawu ( و ) yang terletak diantara kata Allah (الله) dan ar-rasikhun ( اَلرَّاسِخُوْنَ ) pada ayat 7 surat Ali’Imron di bawah ini
13. ... وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَالرَّسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا ....
Mufassir yang berpendapat bahwa hanya Allah satu-satunya yang mengetahui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat menempatkan tanda titik (.) sesudah kata Allah ( الله ), dan wa ar-rasikhuna fil al-‘ilmi ( وَالرَّسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ ) sebagai kalimat baru. Mufassir yang berpendapat bukan hanya Allah yang mengetahui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat, menempatkan huruf wawu ( و ) yang terletak sesudah kata Allah ( الله ) sebagai huruf penyambung (‘ataf) dan kata yaquluna (يَقُوْلُوْنَ ) yang terdiri atas kata kerja dan perilaku, menjadi keterangan dari al-rasikhuna fi al-‘ilmi ( اَلرَّسِحُوْنَ فِى اْلعِلْمِ ).
Yang demikian ini tidak dapat begitu saja ditinggalkan oleh mufassir, sekiranya ditinggalkan, maka penafsiran ayat yang diajukannya tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut ukuran kemampuan manusia. Menurut Az-Zarqany hasil penafsiran seperti ini digolongkan tebakan, dan tidak ada gunanya.

3. Penerjemahan (disuatu ketika) membutuhkan kesan otentisitas (keaslian) seluruh makna dasar dan tujuan dari penerima, sedangkan penafsiran (juga disuatu ketika), kesan itu tidak dibutuhkan oleh pembaca. Pembaca sudah merasa cukup dengan mengetahui maksud pokoknya saja. Maksud pokoknya dapat dibuat secara rinci dan juga dapat secara garis besar saja; bisa juga mencakup seluruh makna dan maksud teks bahasa sumber atau terbatas dalam sebagian saja, tergantung pada penafsir dan situasi.
Sebagai contoh untuk suatu gambaran ialah anekdot tentang seorang yang menemukan dua pucuk surat yang tertulis dalam bahasa asing sepeninggal orang tuanya. Kebetulan orang tersebut tidak bisa berbahasa asing, ia meminta kepada seorang ahli bahasa untuk memberitahukan maksud surat itu. Ahli bahasa mengatakan bahwa salah satu diantara kedua surat tersebut dapat dikatakan tidak penting, isinya hanya berita tentang seseorang yang pernah meminta pertolongan kepada ayah orang tersebut sewaktu masih hidup, sedangkan surat yang satunya lagi adalah transaksi hutang piutang antara ayah orang tersebut dengan seorang berkebangsaan asing. Orang tersebut langsung saja membuang surat pertama yang sisinya permintaan pertolongan. Surat kedua (transaksi hutang piutang) disimpan baik-baik, dan pada hari berikutnya dibawa lagi ke ahli bahasa agar diterjemahkan untuk keperluan penyelesaian di kantor pengadilan.
Bukankah ini suatu kenyataan bahwa penjelasan tentang maksud pokok surat belum cukup buat orang tersebut? buktinya, orang tersebut masih tetap meminta bantuan untuk kedua kalinya kepada ahli bahasa agar diterjemahkan karena persoalan belum dapat diselesaikan kalau hanya sekedar mengetahui maksud pokok surat, tetapi dirasa perlu pula mengetahui seluruh dasar, tujuan, dan otentisitasnya. Contoh ini dapat pula dijadikan sebagai suatu gambaran bahwa ada kalanya penafsiran hanya sekedar menyampaikan maksud pokok saja, artinya tidak harus rinci. Sedangkan penerjemahan (juga ada kalanya) harus merupakan bentuk yang utuh, didalamnya tercakup seluruh makna dari tujuan teks asli bahasa sumber.
Perbedaan penerjemahan dengan penafsiran yang digambarkan dalam telaah dua pucuk surat diatas, dapat diiterima apabila pengertian penafsiran terbatas pada pengungkapan maksud seperti penafsiran tentang ayat 29 Surat Al-Isra’
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ...
Maksudnya : Jangan terlalu kikir dan jangan pula terlalu pemurah ...
Demikian pula untuk penerjemahan, perbedaan diatas berlaku apabila penerjemahan diartikan dengan

“Ungkapan tentang makna kalimat dari suatu bahasa ke bahasa yang lain dengan pemenuhan seluruh makna dan maksud yang ada dalam bahasa sumber”.
Inilah yang dimaksud dengan ungkapan di suatu ketika di atas.

4. Penerjemahan kitab suci bukan Islam (Injil) memerlukan kesan autentisitas makna dan tujuan dari penerima sebagaimana dimaksudkan oleh penyusun melalui nama (judul terjemahan), sedangkan penafisran hanya ada kalanya saja dan tidak melalui nama (judul terjemahan), akan tetapi langsung melalui isi. Itu saja hanya mengajukan hal-hal yang sifatnya mendukung, kalau mufassirnya mempunyai bahan pendukung yang cukup. Kalau tidak, mufassir tidak akan memberikan komentar sama sekali, cukup dengan mengatakan : رَبِّ كَلاَمِ اَعْلَمُ بِمُرَادِهِ(pembicara lebih tahu apa maksud pembicaraannya). Ini dapat dilihat dari banyak kitab tafsir apabila mufassir berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat atau pembukaan-pembukaan surat.
Sebagai bukti bahwa penerjemahan memerlukan kesan autentisitas makna dan tujuan melalui nama (judul terjemahan) dari pembaca seperti yang dikehendaki oleh penyusun dalam bahasa sumber ialah pemberian nama kitab terjemahan dengan nama asli kitab, seperti terjemahan kitab Injil langsung dengan nama Injil. Mungkin penerjemah lupa bahwa terjemahan bagaimanapun juga tetap terjemahan. Akan tetapi, karena membutuhkan autentisitas makna dari pembaca, pemberian nama kitab terjemahan dengan nama kitab asli tetap dilakukan. Apabila nama kitab asli dicantumkan pada kitab terjemahan secara langsung, dari sudut pandang tertentu dapat dijadikan bukti bahwa penerjemah yakin atas keautentikan karya terjemahannya, dan ia ingin meyakinkan penerima bahwa autetisiatas makna dan tujuan sama dengan yang dimaksud penyusun sehingga ia tidak segan-segan membuang kata-kata terjemahan. Bukankah bahasa kitab Injil adalah bahasa Ibrani? lalu mengapa terjemahan kitab Injil ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Daerah disebut juga Injil ? ini tidak lain agar tercipta suatu kesan kepada pembaca bahwa apa yang dibaca sama dengan aslinya, perbedaannya hanya dalam soal bahasa.
Dari uraian ini kelihatannya yang berani mengatakan terjemahan bukan terjemahan hanya penerjemah saja. Mufassir tidak berani. Tafsir Al-Qur’an tidak pernah menyuarakan diri sebagai Al-Qur’an. Mufassir tidak pernah menyuarakan tafsirnya sebagai Al-Qur’an. Kata-kata tafsir selalu tercantum dalam setiap kitab tafsir, misalnya : Tafsir al-Baidlawiy, Tafsir al-Maragiy, Tafsir Abi as-Su’udiy dan lain-lain.
Dari bukti-bukti diatas dapat dikatakan bahwa tafsir hanya mengatakan dirinya sebagai yang menjelaskan maksud dan tidak memerlukan kesan dari pembaca bahwa tafsir sama dengan aslinya. Namun begitu, tidak setiap terjemahan selalu menanamkan dirinya dengan nama aslinya. Tidak sedikit pula karya-karya terjemahan langsung mengakui dirinya sebagai terjemahan, terutama menyangkut karya-karya ilmiah. Aka tetapi, hal ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa tidak benar ada orang yang mengatakan karya terjemahan bukan terjemahan, sebab fokus pembicaraan adalah penerjemahan dan penafsiran kitab Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Jadi yang tidak dapat dijadikan alasan (kalau ada) adalah yang bertalian dengan penerjemahan kitab Taurat dan Injil, bukan penerjemahan karya ilmiah.

5. Penerjemahan memberi kesan seakan-akan lepas dari bahasa sumber, dalam arti tidak secara terbuka menghubungkan diri dengan teks asli, ia sering mengadakan kontak dengan teks asli, mislanya Muhammad Rasyid Rida ketika menafsirkan frasa “ لاريب فيه” dalam ayat 2 surat al-Baqoroh mengadakn kontak dengan teks asli dengan cara sebagai berikut :
‘Ar-Raib dan ar-raibah ialah ragu, bimbang atau curiga, makna ayat ini ialah Bahwasanya Al-Qur’an ini terhindar dari segala jenis cacat, tidak ada keraguan padanya dan tidak ada kebimbangan yang membuatnya menanggung aib.
Jadi, selain kalimat penafsiran terikat dengan teks asli, juga jelas bagi pembaca tentang kata dan kalimat mana yang diberi makna seperti itu.

5. Apa-apa yang Harus Dipenuhi Dalam Penerjemahan
Sebagaimana dalam buku Manahilul ‘Irfan dijelaskan sebagai berikut :
مَالاَبُدَّ مِنْهُ فِي التَّرْجَمَةِ مُطْلَقًا
لاَبُدَّ لتحقيق معنى الرجمة مطلقا حرفية كانت أو تفسيرية من أمور أربعة :
أولها : معرفة المترجم لأوضاع اللغتين لغة الأصل ولغة الترجمة.
ثانيها : معرفة لأساليبهما وخصائصهما.
ثالثها : وفاء الترجمة بجميع معاني الأصل ومقاصده على وجه مطمئن.
رابعها : أن تكون صيغة الترجمة مستقلة عن الأصل.[12]
Artinya :
Makna tarjamah baik secara kata maupun tafsir harus memenuhi 4 perkara;
1. Penterjemah harus menguasai dua bahasa, yaitu bahasa asli dan bahasa terjemahan.
2. Menguasai uslub-uslub kedua bahasa tersebut dan kekhususan-kekhususan istilah keduanya.
3. Hasil tejemahan memenuhi seluruh makna-makna bahasa asli dan maksud-maksudnya.
4. Sighoh terjemah bebes dari bahasa asli.

IV. Kesimpulan.
Menterjemahkan Al qur’an suatu hal yang sangat menyenangkan sebab bahasa didalam al qur’an benar-benar merupakan bahasa puitisasi yang sangat indah dan tidak ada satupun yang dapat membuat ayat untuk menandingi ayat-ayat Allah. Dengan jenis terjemahan tafsiriah atau maknawiyah orang dapat lebih mudah didalam memahami isi yang terkandung didalam al qur’an sehingga tidak akan terjadi konflik dalam memahami bahasa. Dan sungguh sangat sulit apabila kita menggunakan terjemahan secara tektual.
Agar tidak terjebak dari penyelewengan makna seorang mufassir benar-benar harus menguasai syarat-syarat penerjemahan yaitu;
Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan bahasa penerima
Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan bahasa penerima
Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dari ciri khas bahasa penerima.
Sehingga penerjemahan memiliki beberapa perbedaan dengan penafsiran diantaranya sebagai berikut;
1. Dalam penerjemahan tidak pernah terlihat pembahasan tentang kata asal dan usulnya
Bahasa terjemahan adalah bahasa lurus, artinya tidak disertai dengan keterangan.
Penerjemahan (disuatu ketika) membutuhkan otentisitas (keaslian) seluruh makna dasar dan tujuan dari penerima.
Penerjemahan memberi kesan seakan-akan lepas dari bahasa sumber, dalam arti tidak secara terbuka menghubungkan diri dengan teks asli, ia sering mengadakan kontak dengan teks asli.


Tri Hantoro
NIM. O.000050048










DAFTAR PUSTAKA

1. Az Zarqaniy, Manahilu al-Irfan fi ‘Ulumi Al-Qur’an, ttp. Isa al-Babiy al-Halaby wa Syurakahu, 1362 H = 1943 M

2. Ismail Lubis, DR.MA, Falsifikasi Terjemahan Al Qur’an, Departemen Agama, PT Tiara Wacana Yogyakarta. Edisi 1990

3. Al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.



























6. Hukum Menerjemahkan Al-Qur’an
Dalam menetapkan hukum menerjemahkan Al-Qur’an, ada empat konotasi yang muncul dari kata “Menerjemahkan Al-Qur’an” yakni :
1) Hukum menerjemahkan Al-Qur’an dengan pengertian menyebarkan ayat-ayat (tabligu alfazihi)
2) Hukum menerjemahkan Al-Qur’an dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa sumber (tafsiratuhu bilugatihi al-‘arabiah)
3) Hukum menerjemahkan al-Qur’an dengan pengertian menafsirkanya dalam bahasa penerima (tafsiratuhu bilugoh ajnabiah)
4) Hukum menerjemahkan Al-qur’an dengan pengertian alih bahasa (naqluhu ila lugah ukhra).
Pembahassan dalam penelitian ini terbatas pada nomor tiga dan empat, dengan alasan nomor satu merupakan bagian dari pengumpulan dan pembukuan ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan nomor dua bagian dari penafsiran. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu.
1. Menerjemahkan Al-Quran dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa penerima.
Menerjemahkan Al-Quran dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa penerima, atau dengan kata lain menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain bahasa sumber kepada orang yang tidak mampu memahami bahas sumber, hukumnya sama dengan hukum menafsirkan al-Qur’an dalam bahasa sumber bagi orang yang mampu memahami bahasa sumber, yakni wajib, setidak-tidaknya sunat. Dalil yang dipergunakanuntuk mendukung pernyataan ini ialah dalil tentang menafsirkanal-Qur’an dalam bahasa sumber bagi yang mampu memahami bahasa sumber, yakni :
وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ اِليَهِْمْ[13]
‘Kami turunkan kepada kamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (perintah-perintah, larangan-larangan, aturan-aturan, dan lain-lain yang terdapat di dalam Al-Qur’an)
Dalil ini berlaku dengan alasan bahwa menafsirkan Al-Qur’an dengan memakai bahasa yang dipahami oleh penerima sama dengan menafsirkannya dalam bahasa sumber buat orang yang memahaminya. Jadi, bukan semata-mata alih bahasa al-Qur’an. Model ini juga sama dengan menguraikan kandungan ayat-ayat AlQur’an, bukan merupakan uraian makna dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Hal ini berarti sama dengan yang dilakukan oleh mufassir, terbatas sesuai dengan kemampuan manusia sendiri.
Tafsir dalam pengertian etimologi mengandung makna keterangan dan penjelassan. Keterangan dan penjelasan tidak mengandung persyaratan kuantitas, dengan pengertian terbatas pada sudut pandang saja (min wajhin). Ini sesuai dengan pengertian tafsir secara umum, yakni suatu disiplin ilmu yang membahas Al-Qur’an dari segi makna yang dimaksud oleh Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Apabila penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an merupakan keterangan tentang apa yang dimaksudkan oleh Allah sesuai dengan kemampuan manusia, maka soal bahasa yang dipakai untuk keperluan keterangan tersebut tidak menjadi masalah karena masih dalam ruang lingkup keterbatasan kemampuan manusia. Hanya saja, dalam hal penerjemahan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagaimana pernah disinggung dalam bab II bagian B.
Jadi dapat dikatakan bahwa penerjemahan seperti ini sebenarnya adalah penerjemahan kata dan kalimat-kalimat yang telah disusun oleh mufassir. Sebagai alasan pertama ialah karena isi terjemahan pada garis besarnya sama dengan yang dikemukakan oleh para mufassir. Alasan kedua ialah karena hasil penerjemahan tersebut tidak dapat dipastikan mencakup semua pengertian yang dimaksud oleh Allah. Dengan perkataan lain, penerjemahan seperti ini tidak ubahnya dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terlebih dahulu kedalam bahasa Arab, untuk kemudian diterjemahkan dalam bahasa lain.
Penerjemahan seperti ini bisa juga disebut : Terjemahan Tafsir Al-Qur’an atau Tafsir Al-Qur’an Dalam Bahasa... untuk menghilangkan kesan adanya terjemahan AlQur’an padahal bukan semata-mata terjemahan Al-Qur’an, melainkan terjemahan tafsir Al-Qur’an sebaiknya secara terbuka ditegaskan : Terjemahan Tafsir Al-Qur’an. Tindakan seperti ini memberikan arah yang pasti bagi yang ingin menentukan nama secara tepat. Artinya, menjadi lebih jelas bagi pembaca bahwa yang dibacanya bukan terjemahan Al-Qur’an semata-mata.
Penerjemahan Al-Qur’an dalam pengertian alih bahasa dengan pemenuhan seluruhmakna dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an merupakan suatu hal yang sulit, bahkan mustahil dilakukan (khartu al-qatad) bagaikan memanjat pohon berduri. Dikatakan demikian karena alih bahasa dalam pengertian seluruh makna primer dan sekunder yang terdapat dalam bahasa sumber tidak dapat dipenuhi melalui bahasa penerima.

2. Menerjemahkan Al-Qur’an dengan pengertian alih bahasa
Pengertian kedua ini adalah pengertian menurut umum. Secara ringkas menerjemahkan Al-Qur’an disini dapat didefinisikan : Alih bahasa Al-Qur’an dari bahasa Arab ke bahasa lain. Secara lebih panjang dapat didefinisikan : Mengungkapkan makna dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an dengan bahasa lain.
Apabila bentuk terjemahannya sesuai dengan urutan kata dan kalimat bahasa sumber disebut terjemahan harfiah, lafziah atau musawia. Kalau tidak, disebut terjemahan tafsiriah atau maknawiyah.
Realisasi penerjemahan Al-Qur’an dengan pengertian seperti nomor dua, mustahil menurut hukum adat dan hukum syar’i. Artinya, secara adat pelaksanaan model terjemahana seperti ini tidak mungkin, dan secara syariah (hukum Islam) mencobanya saja sudah haram.
Secara adat ada dua hal yang dapat dijadikan sebagai dasar.
(1) Dalam realisasi penerjemahan seperti ini harus terpenuhi seluruh pengertian ayat-ayat Al-Qur’an, yang meliputi pengertian primer (al-ma’ani al-awwaliah), pengertian sekunder (alma’ani as-sanawiyah), dan maksud-maksud utama (almaqosid ar-raisiah). Hal ini tidak mungkin terpenuhi secara utuh dalam bentuk penerjemahan, terutama yang menyangkut pengertian sekunder, dan dua diantara tiga maksud-maksud pokok diturunkannya Al-Qur’an.
Dikatakan tidak terpenuhi, karena pengertian sekunder ayat-ayat Al-Qur’an tidak semuanya terbunyikan dalam bahasa Indonesia. Bagaimana cara menterjemahkan بديع السموات والارض kedalam bahasa Indonesia agar mencakup makna primer sekaligus makna sekunder? apakah sydah cukup diartikan dengan “Allah pencipta langit dan bumi”? kalau dijawab dengan cukup, lalu apa perbedaannya dengan خلق السموات والارض yang juga diartikan dengan “Menciptakan langit dan bumi”? Memang benar bahwa arti dasar kata bada’a dan khalaqa adalah mencipta dan mengadakan(Indonesia), akan tetapi masing-masing kata, selain mempunyai makna dasar yang diistilahkan dengan pengertian primer, juga mengandung makna sekunder. Kata bada’a artinya mencipta, tetapi tekanannya khas, yakni “tidak ada yang menyamai hasil ciptaan itu. Sementara itu, kata khalaqa tekanannya ialah “dari tidak ada menjadi ada”. Dalam kenyatannya sulit menerjemahkan kata-kata tersebut ke dalam bahasa Indonesia secara tepat, dalam pengertian makna primer dan sekunder dapat dirasakan oleh pembaca sekaligus. Hasil penerjemahan tidak dapat memperlihatkansecara jelas letak perbedaan makna antara bada’a dengan khalaqa sehingga tidak terasa keistimewaan bahasa Al-Qur’an.
(2) Bahwasanya Al-Qur’an merupakan bacaaan yang dapat mendatangkan ganjaran. Artinya, sekedar membaca ayat-ayatnya saja sudah termasuk ibadah. Kalau sudah berupa terjemahan, ketentuan itu sudah tidak berlakulagi, sebab meskipun terjemahan Al-Qur’an, tetap tidak dapat dikatakan Al-Qur’an. Ini yang dimaksud bahwa melalui terjemahan, maksud-maksud pokok Al-Qur’an tidak dapat dipenuhi. Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah adalah karena kekhususan Al-Qur’an, kekhususan ungkapan gaya bahasanya, serta kekhususan urutan-urutannya. Sementara itu, membaca kitab lain bukan merupakan ibadah meskipun kitab itu tersusun dari bahasa Arab yang ungkapan dan gaya bahasanya mirip dengan ungkapan dan gaya bahasa Al-Qur’an. Maksud bukan ibadah disini ialah bukan ibadah yag setingkat dengan ibadah membaca Al-Qur’an.
Menerjemahkan Al-Qur’an seperti pemahaman diatas bagaikan menyamai Al-Qur’an, padahal itu tidak mungkin dilakukan sama sekali sebab yang namanya menyamai, semua kandungan makna dan maksud-maksudnya harus terpenuhi tidak tertinggal sedikipun, dan hal ini mustahil dicapai. Al-Qur’an sendiri secara terbuka menantang para penulis canggih bangsa Arab sekalipun dengan membuat sepotong surat pendek. Para penulis tidak berkutit sama sekali. Kalau penulis yang menggunakan bahasa Arab saja sudah angkat tangan, apalagi penulis yang bukan orang Arab, tentu akanlebih jauh lagi dari harapan. Jangankan menerjemahkan Al-Qur’an dalam arti seluruh makna dan tujuannya terpenuhi, menerjemahkan teks-teks kesusastraan dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lain pun tidak mungkin dilakukan. Jadi, kalau ada orang yang merasa shasil terjemahannya dalam kesusastraan tertentu misalnya sama dengan aslinya, dalam arti makana dan kandungan artinya tidak ada yang ketinggalan adalah sesuatu yang masih perlu dipertanyakan. Walaupun ada itu baru sekedar terilhami ole kesusastraan tersebut dan mendekati.
Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa menerjemahkan Al-Qur’an dalam arti terpenuhi makna dan maksud-maksud Al-Qur’an tidak dapat dilakukan, maksimum hanya dapat dilakukan pengadaan makna secara garis besarnya saja, sedangkan sebagian yang lain akan tertinggal, terutama yang menyangkut makna sekunder dan ketentuan membacanya sebagai ibadah. Yang lebih tidak mungkin lagi dilakukan adalah apabila penerjemahan harus ditambah dengan sebuah persyaratan kalimat murni.
Kalau yang dilakukan adalah terjemahan hariah, maka sekurang-kurangnya ada dua hal yang sulit dipenuhi oleh penerjemah:
(1) Sama dengan persoalan diatas, yakni pengadaaan makna sekunder sebagai contoh lain ialah “ظمأ” dalam surat Thaha 119 dengan bunyi lengkap “ وانك لاتظمؤافيها ولا تضحى” demikian pula dalam surat at Taubah ayat 120 dengan bunyi lengkap “ ذلك بانهم لايصيبهم ظمأ ولاتصب ولا محمصة”
(2) Pengadaan kata ganti (pronomina) yang sama dengan kata ganti bahasa Al-Qur’an, misalnya kata ganti untuk orang perempuan yang dibicarakan (persona ketiga) bentuk tunggal. Dalam bahasa Indonesia hanya ada dua macam bentuk tunggal untuk persona ketiga, yakni (1) ia, dia atau –nya dan (2) beliau.
Meskipun ia dan dia dalam banyak hal berfungsi sama, ada kendala tertentu yang dimiliki masing-masing. Dalam posisi sebagai subyek atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi jika berfungsi sebagai obyek atau terletak disebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan –nya yang dapat muncul. Demikian pula dalam kaitannya dengan preposisi, dia dan –nyadapat dipakai, tetapi ia tidak. Perhatikan contoh berikut
Dia

Ia
(14) setuju dengan pendapat kami


Dia

Ia
(15) pandai sekali

*dia

*ia
(16) Buku itu sudah dibacanya minggu yang lalu
dia
-nya
*ia

(17) Memang, saya terpaksa memukul

dia
-nya
*ia
(18) Yang berwarna merah buku


dia
-nya
*ia
(19) Saya akan pergi bersama

dia
-nya
*ia

(20) Berikan buku ini kepada
dia
-nya
*ia

(21) Surat ini untuk


Pada contoh diatas, lambang <*> menandakan bahwa bentuk yang mengikutinya tidak diterima dalam bahasa baku. Jadi dalam bahasa Indonesia kata ia dan dia dipakai sebagai bentuk biasa untuk menyebutkan laki-laki dan perempuan atau benda-benda. Dalam bahasa Arab kata ia dan dia tidak dapat dipakai seperti pemakaiannya dalam bahasa Indonesia. Untuk menyebutkan orang laki-laki dipakai “هو” sedangkan untuk menyebutkan orang perempuan dipakai “هي”. Jadi, berbeda dengan bahasa Indonesia. Sebagai contoh dapat dilihat ayat-ayat dibawah ini
(22) .... وَابْيَضَّتْ عَيْنَاُه مِنَ الْحُزْنِ قَهُوَ كَظِيْم [14]
“... kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia adalah seorang yang menahan marahnya (terhadap anak-anaknya)
(23) قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِيْ عَنْ نَفْسِى ..... [15]
Yusuf berkata,”Dia menggodaku agar aku menuruti kemauannya”...
Pada contoh (22) di atas, kata هو mengacu pada Nabi Yusuf sedangkan pada contoh (23), kata هي mengacu pada Zulaikha. Untuk menyebut benda-benda juga ada sendiri. Apabila bendanya tergolong mudzakkar (laki-laki) dipakai kata هو , dan apabila tergolong muannas (perempuan) dipakai kata هي perhatikan contoh berikut :
(24) ... قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ امَنُوا هُدًى وَشِفَآءً[16]
Katakanlah, “Ia adalah petunjuk dan penawar buat orang-orang yang beriman”.
(25) .... هِيَ تَجْرِي بِهِمْ فىِ مَرْجٍ كَالْجِبَالِ ....[17]
“ ... ia (bahtera) berlayar membawa mereka dalam gelombang bagaikan gunung.
Pada contoh diatas, kata ganti “هو” mengacu pada Al-Qur’an (القرأن) dan pada contoh (25) kata ganti “هي” mengacu pada bahtera (الفلق ). Jadi dalam bahasa Arab ada perbedaan antara ia/dia untuk menyebut benda-benda.
Pronomina persona ketiga tunggal beliauidipakai sebagai bentuk penghormatan untuk menyebut orang. Karena itu beliau, dalam bahasa Indonesia dipakai oleh orang yang lebih muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Contoh:
(26) Menteri baru saja menelepon dan mengatakan bahwa beliau tidak dapat hadir.
(27) Saya rasa dia-maksud saya beliau tidak akan menolak usul ini.
Pada contoh (26) di atas, beliau merupakan pengganti dari kata ia (menteri), dan pada contoh (27) kata beliau merupakan kata pengganti dari kata dia. Karena itu, beliau sama saja dengan ia / dia.
Dalam bahasa Arab kata beliau hanya merupakan padanan dari kata هو dan هي (bila dikehendaki). Karena itu, kalau beliau dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab sama saja yakni merupakan pengganti dari kata ia / dia atau هو / هي . Perbedaan hanya pada kekhususan pemakaian kata هو / هي itu sebagaimana dikemukakan di atas.
Pronomina persona ketiga jamak dalam bahassa Indonesia adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Akan tetapi, pada cerita fiksi atau narasi lain yang mengunakan gaya fiksi kata mereka kadang-kadang juga dipakai untuk mengacu ke binatang atau benda yang dianggap bernyawa seperti terlihat pada contoh berikut :
(28) Sejak dulu anjing dan kucing selalu bermusuhan. Setiap kali bertemu mereka berkelahi.
(29) Pohon mangga dan pohon rambutan ketakutan setelah mendengar Pak Tani akan menebangnya. Mereka berjanji akan berbuah.
Jadi, mereka tidak mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi manapun hanya bentuk itulah yang dapat dipakai : usul mereka, rumah mereka, kepada mereka. Bahasa Arab membedakan mereka yang dipakai untuk menyebut laki-laki, dengan mereka yang dipakai untuk menyebut perempuan. Disamping itu bahasa Arab juga membedakan mereka yang dipakai untuk menyebut insan atau makhluk berfikir dengan mereka yang dipakai untuk menyebut benda atau binatang. Mereka untuk menyebut laki-laki dipakai واولحماعة dan هم
Contoh
(30) وَجَآءُ وْااَبَاهُمْ عِشَآءًيَّبْكُوْنَ [18]
“Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis.
(31) فَلَمَّا ذَهَبُوْا بِهِ وَاَجْمَعُوْآاَنْ يَجْعَلُوْهُ فِى غَيَابَةِ الْجُبِّ وَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِاَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لاَ يَشْعُرُوَْنَ[19]
‘Maka tak kala mereka membawa Yusuf, dan sepakat bahwa mereka akan memasukkannya ke dasar sumur, kami mewahyukan kepada Yusuf,” Sesunguhnya engkau akan menceritakan perbuatan mereka ini kepada mereka, sedangkan mereka sudah tidak ingat lagi.”
Mereka untuk menyebut perempuan dipakai هُنَّ dan نون النسوه
Contoh :
(32) فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ اَرْسَلَتْ اِلَيْهِنَّ وَاَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَأَتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّيْنًا وَقاَلَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ [20]فَلَمَّا رَاَيْنَهُ اَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ اَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَا حَاشَا ِللهِ مَاهَذَا بَشَرًا اِنْ هَذَا اِلاَّمَلَكْ كَرِيْمٌ
Tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka(wanita-wanita dikota) diundangnyalah mereka itu dan disediakannya bagi mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Zulaikha berkata (kepada yusuf),” Keluarlah (perlihatkanlah dirimu) kepada mereka. Tatkala mereka itu melihatnya, mereka kagum kepada keelokan rupanya, dan mereka melukai (jari) tangan mereka dan mereka berkata,”Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia.”
Mereka menyebut insan atau makhluk berfikir di pakai هن، هم، واو الجماعه dan نون نسواة
Contoh
(33) وَجَآءَ اِخْوَةُ يُوْسُفَ فَدَخَلُوْا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُوْنَ[21]
Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)nya. Yusuf mengenal mereka, sedangkan mereka terhadap Yusuf tidak kenal lagi.
(34) َواَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ اَنْ لَنْ يَبْعَثَ اللهُ اَحَدًا[22]
Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka (mereka jin) sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rosul)pun.
(35) وَالّتِي يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَآئِكُمْ فَاشْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ اَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَاِنْ شَهِدُوْ فَاَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتَّى [23]يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ اَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً.
“Dan terhadap para wanita yang mereka mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi (yang menyaksikan perbuatan) mereka diantara kamu. Apabila diantara mereka memberikan kesaksian, maka tahanlah mereka (wanita-wanita) itu di dalam rumah sampai mereka meninggal dunia dan Allah memberikan jalan kepada mereka.
Mereka untuk menyebut benda atau binatang dipakai هي sekaligus huruf ت ta’nis (perempuan) pada kata kerja atau hanya dengan memakai ت ta’nis (perempuan) saja pada kata kerja (tanpa هي) contoh
(36) وَتَرَ الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَّهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللهِ الَّذِيْ اَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ اِنَّهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَفْعَلُوْنَ[24]
“Kamu melihat gunung itu, kamu menyangka mereka tetap pada tempatnya padahal mereka berjalan bagaikan awan. (Begitulah) pembuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu lakukan.
(37) تَعِيْثُ اْلفِيَلَةُ فِى الْغَابَاتِ
Mereka (gajah-gajah) hidup di hutan
Untuk pronomina penunjuk umum dalam bahasa Indonesia hanya ada tiga macam, yakni ini, itu, dan anu. Kata ini mengacu ke acuan yang dekat dengan pembicaraan / penulis, kemasa yang akan datang, atau ke informasi yang akandisampaikan. Kata itu mengacu ke acuan yang agak jauh dari pembicara / penulis, ke masa yang lampau. Kata anu mengacu ke acuan yang tidak dapat disebutkan (karena tidak ingat / lupa), atau karena tidak ingin disebutkan. Perhatikan contoh berikut:
(38) Ini / itu rumah saya
(39) Ini / itu / anu yang menyebabkan penyakit kulit
(40) Dia membeli ini / itu / anu kemarin.
(41) Bu Wies memberikan ini / itu kepada saya
(42) Jawaban dia ini / itu
(43) Rumah saya ini / itu.
Dalam bahasa Arab bentuk dan bunyi-pronomina penunjuk dapat dibedakan antara yang mengacu pada laki-laki dan yang sejenis atau yang mengacu pada perempuan dan yang sejenis, dan antara yang mengacu pada tunggal atau dua atau jamak. Kata “ ذَا “ mengacu ke acuan tunggal laki-laki dan yang sejenis. Kata “ذِهِ “ mengacu ke acuan tunggal perempuandan yang sejenis. Kata “ ذَانِ mengacu ke acuan dua laki-laki dan yang sejenis. Kata “تَانِ “ mengacu ke acuan dua perempuan dan yang sejenis. Kata “ اُولاَءِ” mengacu ke acuan jamak laki-laki atau perempuan.
Bila yang diinginkan itu pronomina penunjuk yang mengacu ke acuan yang dekat atau pronomina penunjuk umum, maka bentuk-bentuk dan bunyi pronomina di atas harus ditambah dengan “هاء” pada bagian depan (huruf pertama). Dengan demikian bentuk-bentuk dan bunyi pronomina tersebut berubah menjadi هذا ، هذه ، هذان، هاتان ، dan هؤلاء. Perhatikan contoh-contoh berikut :
(44) هَذَا طَالِبٌ مُجْتَهِدٌ
“Mahasiswa ini bersungguh-sungguh”.
(45) ... يَا مَرْيَمُ اَنّى لَكِى هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ ...[25]
Zakaria bertanya, “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini ? Maryam menjawab,”makanan ini dari Allah.”
(46) هَذِهِ مُدَرِّسَةُ اللُّغَِة الْعَرَبِيَّةِ
Wanita itu guru bahasa Arab
(47) قَالَ اَنَّى يُحْيِى هَذِهِ اللهُ بَعْدَ مَوْتِهَا[26]
“Ia bertanya,”Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri itu setelah hancur?”
(48) هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوْا فِي رَبِّهِمْ ...[27]
Inilah dua golongan (golongan mukimin dan golongan kafir) yang bertengkar. Mereka bertengkar mengenai Tuhan.
(49) هَاتَانِ مُدَرِّسَتَانِ بِالْجَامِعَةِ اْلاِسْكَنْدَرِيَةِ
Kedua wanita itu dosen Universitas Iskandariyah.
(50) هَاتَانِ قِصَّتَانِ مُعْجِبَتَانِ
Kedua kisah ini menarik
(51) فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ هؤُلآءِ شَهِيْدًا
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila kami mendatangkan seorang saksi (rosul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi bagi mereka (sebagai umatmu).
Jadi, dalam bahasa Arab bentuk-bentuk dan bunyi pronomina laki-laki dan yang sejenis seperti “ هذا” diatas, ada sendiri. Demikian pula dengan pronomina perempuan dan yang sejenis, pronomina tunggal, dua, dan jamak, sedang dalam bahasa Indonesia tidak ada sehingga tidak pas diartikan secara harfiah seperti dalam contoh-contoh diatas.
Demikian rumitnya jalan yag ditempuh penerjemah harfiah sehingga dinyatakan haram bagi yag mencobanya. Kalau ini hanya sekedar, hukumnya tidak haram kerena masih dalam ruang lingkup keterbatasan kemampuan manusia. Soal berhasil atau tidak adalah masalah lain.
Meskipun az-Zarqaniy berpendapat haram, sebenarnya dapat dipahami dan dimaklumi jalan pikirannya ketika menyimpulkan hukum menerjemahkan ini. Ketika itu jalan pikirannya sama dengan jalan pikiran orang yang mengatakan pintu ijtihad sudah tertutup. Sebenarnya pintu ijtihad tetap terbuka, akan tetapi karena syarat-syaratnya sangat berat dan rasa-rasanya tidak mungkin dipenuhi oleh perorangan, lalu dikatakan saja tertutup.
[1] Az Zarqaniy, Manahilu al-Irfan fi ‘Ulumi Al-Qur’an, ttp. Isa al-Babiy al-Halaby wa Syurakahu, 1362 H = 1943 M,. hlm. 109
[2] Az Zarqaniy, op. cit. hlm. 111.
[3] Disarikan dari Az Zarqaniy, op. cit. hlm. 113.
[4] Q.S. 18. 18.
[5] Q.S. 10. 56.
[6] Q.S. 2. 286.
[7] Q.S. 97. 4
[8] Q.S. 12. 82
[9] Q.S. 51. 47.
[10] Q.S. 2. 19.
[11] Rafa’, nasab dan jar ialah tanda untuk kedudukan kata sebagai unsur bahasa.
[12] Muhammad Abdul ‘Adzim Az Zarqaniy Manahilul al-Irfan fi ulumil Qur’an hlm. 12.
[13] Q.S. 16. 144.
[14] Q.S. 12. 84.
[15] Q.S. 12. 26.
[16] Q.S. 11. 44.
[17] Q.S. 11. 42.
[18] Q.S. 12. 16.
[19] Q.S. 12. 15
[20] Q.S. 12. 31.
[21] Q.S. 12. 58.
[22] Q.S. 72. 7.
[23] Q.S. 4. 15
[24] Q.S. 27. 88.
[25] Q.S. 3. 37.
[26] Q.S. 2. 259.
[27] Q.S. 22. 19.

Tidak ada komentar: