Sabtu, 23 Agustus 2008

PERANAN DAN KREATIFITAS GURU DALAM MENSIKAPI BERGANTINYA KURIKULUM KBK MENJADI KTSP

PERAN DAN KREATIFITAS GURU DALAM MENSIKAPI
BERGANTINYA KURIKULUM KBK MENJADI KTSP
A. Pengantar
Setiap kali terdengar kabar akan diberlakukannya suatu kurikulum baru, banyak pihak yang buru-buru mengambil ancang-ancang. Namun tidak sedikit pula yang tercengang-cengang, atau malahan berang. Yang segera mengambil ancang-ancang tiada lain tentu adalah pihak yang sangat tergantung, bertumpu, atau boleh juga dikatakan memanfaatkan, keberadaan suatu kurikulum. Pihak ini, siapa lagi, kalau bukan penerbit buku pelajaran dan tentu juga adalah pihak sekolah yang terimbas langsung. Sedangkan yang seringkali menjadi tercengang-cengang biasanya adalah awam, sementara yang berang adalah orangtua siswa yang mau tidak mau harus menyisihkan atau menyiapkan lagi sejumlah dana bagi keperluan belanja buku-buku pelajaran itu.
Tidak kalah pentingnya pula untuk ditengarai adalah banyaknya muncul sikap sinis, pesimis, skeptis, apatis, dan bahkan selalu berprasangka buruk terhadap bakal datangnya suatu kurikulum. Kelompok ini bukan siapa-siapa tetapi justru kebanyakan adalah para guru atau juga para cerdik pandai dalam bidang pengajaran yang lebih sering memandang suatu perubahan sebagai suatu ancaman. Dari sisi atau aspek yang bersebab dari ketidakpahaman, kecenderungan semacam ini mungkin dapat dikatakan wajar, akan tetapi mengapa harus sisi negatif semacam itu yang dikemukakan?
Munculnya seloroh, keratabasa, atau plesetan terhadap metode pengajaran yang populer disebut dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sebagai Cah Bodo Soyo Akeh (= Siswa Bodoh Semakin Banyak) atau terhadap KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sebagai Kurikulum Bakalan Konyol atau Kurikulum Berbasis Kebingungan maupun juga KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebagai Kurikulum Tingkat Sengketa Pembelajaran atau juga sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai memperlihatkan adanya nada sinis itu. Sekiranya kesinisan itu muncul sebagai hasil dari suatu pelaksanaan, penerapan, maupun dari pemahaman terhadap kurikulum atau metode pengajaran yang ada untuk jangka waktu tertentu dalam sosialisasi maupun desiminasinya, tentu sikap yang sedemikian itu dapat diterima oleh banyak pihak. Akan tetapi, jika dasar kesinisan itu hanyalah penerusan belaka dari kesinisan yang ada sebelumnya tanpa mengkaji terlebih dahulu esensinya atau hanya sekadar “katanya”, maka kinilah saatnya bagi kita untuk mengaca: jangan-jangan ada dan banyak yang tidak kita mafhumi dari kurikulum yang selama ini telah diberlakukan maupun yang tengah dipopulerkan. Oleh karena itu, kalau kita mempunyai kesadaran berbenah, berbagai aspek dan kenyataan harus menjadi perhatian maupun pertimbangan.
B. Realitas Kompetensi Guru
Hal pertama yang agaknya sangat perlu kita sadari adalah bahwa ditilik dari instrumental input, kualitas dan kuantitas guru di Indonesia dapat dikatakan memang sangat rendah. Padahal, suatu kurikulum yang apapun namanya atau bagaimanapun karakteristiknya, tetap selalu akan bertumpu pada sosok yang namanya guru ini. Bahkan ketika guru lebih diposisikan sebagai semacam fasilitator atau sekadar tut wuri handayani sekalipun, tidak berarti guru kehilangan peran. Sekarang perlu kita tengok terlebih dahulu perihal kompetensi guru di Indonesia. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional menyatakan bahwa; Guru SD negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya berjumlah 558.675 orang atau sebesar 45,2% (pada SD swasta sebanyak 50.542 orang atau setara 4,1%)
dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234.927 orang. Di tingkat SMP terdapat 108.811 guru negeri dan 58.832 guru swasta dari total guru sebanyak 466.748 orang (35,9%) yang dinilai tidak layak mengajar.
Sementara untuk tingkat SMA terdapat 35.424 guru negeri dan 40.260 guru swasta dari jumlah keseluruhan 230.114 orang (32.8%) dinyatakan tidak layak mengajar.
Sedangkan di tingkat SMK, dari jumlah keseluruhan guru yang berjumlah 147.559 orang, yang dianggap tidak layak mengajar berjumlah 20.678 orang (guru negeri) dan 43.283 orang (guru swasta) atau sama dengan 43,3%.
Dari data semacam ini, apa yang dapat kita sematkan sebagai komentar? Memprihatinkan, karena tampaknya banyak guru yang “asal menjadi guru” tanpa suatu tolok ukur kompetensi tertentu atau barangkali juga memang banyak guru yang “tersesat” dan salah dalam memahami bidang keilmuan.
Kompetensi guru adalah tingkat kemampuan dan kesanggupan seorang guru dalam kinerja pembelajaran siswa, meliputi :
1. Selalu membuat perencanaan konkrit dan detail yang siap dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran siswa (Prota, Prosem, Promidsem, Silabus, Lesson Schem of Works, Paket uji kompetensi),
2. Berkehendak mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang menempatkan siswa sebagai arsitek pembangun gagasan dan guru berfungsi untuk “melayani” dan berperan sebagai mitra siswa supaya peristiwa belajar bermakna berlangsung pada semua individu,
3. Guru mampu bersikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif,
4. Guru berkehendak mengubah pola tindak dalam menetapkan peran siswa, peran guru, dan gaya mengajar. Peran siswa digeser dari peran sebagai “ konsumen “ gagasan ( seperti ; menyalin, mencatat, mendengar, menghafal yang hanya mampu menyerap 20% dari pengetahuan tanpa skills dan sedikit pengaruh pada perilaku berbudi pekerti), ke peran sebagai “produsen” gagasan (seperti : bertanya, meneliti, merespon pendapat guru dan ilmu, memecahkan masalah, menyatakan pendapat, melakukan apa yang dikatakan, mengarang, menulis kisah, berkreatif) sehingga dapat menguasai 90% dari pengetahuan, disertai skills (keterampilan/kecakapan) dan berpijak pada perilaku berbudi pekerti. Peran guru harus berada pada fungsi sebagai “fasilitator” (pemberi kemudahan peristiwa belajar) dan bukan sebagai penghambat peristiwa belajar. Gaya mengajar difokuskan pada model “pemberdayaan” dan “pengkondisian” dari pada model “latihan” (dril) dan “pemaksaan” (indoktrinasi).
5. Guru harus berani meyakinkan kepala sekolah, orang tua dan masyarakat agar dapat berpihak pada mereka terhadap beberapa inovasi pendidikan yang edukatif yang cenderung sulit diterima oleh awam dengan menggunakan argumentasi logis dan kritis.
6. Guru mampu bersikap kreatif dalam membangun dan menghasilkan karya pendidikan seperti : membuat alat bantu belajar ( alat peraga, tranparan OHP ), bermain peran, memberi tugas-tugas yang menantang, menyususn silabus, menyusun schem of works, menyusun alat penilaian, yang beragam (penilaian pengetahuan, penilaian skills dan penilaian attitudes) organisasi kelas,dan perancangan kebutuhan kegiatan pembelajaran
7. Guru harus sanggup menjadi motivator belajar siswa dan memotivasi dirinya sendiri dalam menambah wawasan pengetahuan, ketermpilan dan sebagai figur orang yang berbudi baik

C. Kreatifitas Guru Tentang Proses Belajar Mengajar Kurikulum KBK.
Seiring dengan perkembangan/perubahan dalam kehidupan ber masyarakat, berbangsa dan bernegara serta perkembanagan dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni hidup, membawa implikasi terhadap perlunya pengembangan kuirikulum. Kurikulum adalah salah satu penentu keberhasilan suatu pendidikan sedangkan “ Pendidikan merupakan investasi yang ditanam masa kini untuk memanen hasil di hari ini, hari esok dan atau masa datang.” Proses pendidikan memerlukan acuan yang dapat menjamin derap peningkatan kemampuan peserta didik dalam berperan sebagai pelaku kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mau tidak mau akan mengimbas pada budaya kehidupan masyarakat yang cenderung tidak mau statis. Kurikulum Berbasis Kompetensi menjawab tuntutan pendidikan anak bangsa ini, yang akan tumbuh dan berkembang sebagai bangsa yang mandiri, cerdas, cakap, kritis, rasional, kreatif, berbudi pekerti dan bergengsi dalam percaturan global hari ini, hari esok dan pada masa-masa datang. Ketika Kurikulum Berbasis Kompetensi diterapkan dalam terminologi pengelolaan pembelajaran siswa secara konsekuen, didukung dengan sarana belajar yang ada dan perubahan perilaku pelaku pembelajaran, output proses pembelajara siswa, akan memiliki kompetensi bernuansa pengetahuan (Knowledge), keterampilan ( Skills ) pembentuk potensi kecakapan untuk hidup (life skills) yang diwarnai perilaku (Attitudes) sebagai pencerminkan budi pekerti dan akhlak mulia. Pembelajaran siswa dengan acuan Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut pengembangan kreatifitas guru dan karyawan di sekolah. Namun demikian orang tua siswa dan keluarga serta masyarakat lokal juga terkait erat memberikan dukungan besar akan tercapainya karakteristik tamatan sekolah disetiap jenjang pendidikan. Disini berarti semua komunitas pendidikan internal dan eksternal ikut masuk dalam jaringan kerja Proses Belajar Mengajar siswa. Berarti pula konsep Manajemen Berbasis Sekolah dengan skala prioritas Manajen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) merupakan inovasi pendidikan pendukung aplikasi Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai acuan pengelolaan Proses belajar mengajar di sekolah. Guru dan karyawan sekolah sebagai pendukung aktif proses belajar mengajar tertantang kreatif dalam meningkatkan kompetensi Knowledge, Skills dan Attitudes lebih dari yang pernah dimiliki, karena mereka terkait erat dengan pembelajaran siswa yang bertujuan terakumulasikannya berbagai kompetensi siswa dalam suatu kepemilikan pemahaman dan kesadaran akan kecakapan hidup sepanjang hidupnya yang dapat disebut Life skills.
Kurikulum Berbasis Kompetensi Bertujuan Membentuk Siswa Tamatan Yang Kompeten.
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan acuan yang tepat untuk mewarnai pembelajaran siswa dengan tujuan membentuk siswa yang kompeten. Sehingga Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat disebut Kurikulum Bertujuan Kompetensi, karena proses belajar mengajar yang dipedomani Kurikulum Berbasis Kompetensi tidak cuma mengajarkan kepada siswa pengetahuan semata, sehingga siswa terlena dengan semangat menguasai ilmu pengetahuan sebagai tujuan belajar dan lupa akan keterampilan dan budi pekerti yang harus terbentuk selama pembelajaran. Kurikulum berbasis kompetensi yang difahami secara mendasar kemudian dipakai sebagai pedoman proses pembelajaran siswa secara konsekuen dapat menumbuhkan kualifikasi diri masing-masing siswa untuk memiliki kecakapan hidup atau life skills, karena kurikulum berbasis kompetensi memedomani proses pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa mengembangkan berbagai kecakapan (skills) dalam bentuk keterampilan akademik melalui pembelajaran pengetahuan (knowledge), sehingga memiliki perilaku (attitudes) sopan-santun, berbudi pekerti luhur sebagai orang beriman kepada Sang Pencipta. Pengertian Kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, merupakan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Jika kebiasaan berfikir dan bertindak berdasarkan knowledge, skills dan attitudes tersebut dilakukan seseorang secara konsisten dan terus menerus dapat menjadikan orang tersebut menjadi kompeten dalam bidang tertentu. Rumusan Kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, merupakan pernyataan apa yang diaharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten. Secara runtut dan sistematik Kurikulum Berbasis Kompetensi menjelaskan dasar pemikiran penggunaan konsep kompetensi :
Kompetensi berkenaan dengan perangkat kemampuan melakukan sesuatu sehingga kompetensi harus memiliki konteks
Konteks yang dimaksud adalah dapat terdiri atas berbagai bidang kehidupan atau hal-hal yang diperlukan agar seseorang dapat melakukan sesuatu.
Kompetensi mendeskrepsikan proses belajar mengajar yang dilalui oleh seorang individu untuk menjadi kompeten.
Kompeten adalah sesuatu hasil (outcome) yang mendeskrepsikan apa yang dapat diperbuat seseorang setelah melalui pendalaman perangkat kompetensi.
Kehandalan kemampuan seseorang melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja (performen) yang terukur atau dapat diukur.
Kompeten menjadi suatu ukuran dari apa yang dapat diperbuat oleh seseorang.
Dengan demikian KBK berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri seorang siswa melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna dan keberagamana yang dapat dimanifestasikan dan diinvistasikan sesuai dengan kebutuhan. Menyikapi Kurikulum Berbasis Kompetensi yang ternyata Kurikulum Bertujuan Kompetensi, oleh karena itu setiap Lembaga Pendidikan/sekolah harus tertantang menentukan berbagai kompetensi tamatannya seperti apa, berdasar kebutuhan yang mana, apa indikator pencapaiannya, bagaimana cara mencapainya dan apa yang dipakai sebagai alat ukur ketercapaian dan bagimana mengukur indikator pencapaian komtetensi yang dimaksud sebagai tujuan pembelajaran atau yang ditargetkan sebagai standar mutu sekolah (SMS). Guru-guru dari suatu Lembaga Pendidikan harus menyikapi kompetensi yang ditentukan Lembaga/sekolahnya dan melakukan creatifitas tertentu sesuai bidang mata pelajarannya. Dengan demikian setiap guru harus menentukan pula indikator-indikator kompetensi kompetensi siswa sebagai target mutu yang akan dicapai sepanjang proses pembelajaran. Guru harus mampu mengukur sendiri indikator kompetensi yang ditetapkan, dan pula mereka harus bisa mengatakan dan menyatakan keberhasilan atau ketidak berhasilan PPS yang disajikan kepada Lembaganya dan kepada siswa sesuai target mutu yang dimaksud. Jika sudah berhasil sesuai dengan kompetensi yang ditargetkan, guru harus menjaga mutu (guality assurens) dan meningkatkan kekompetensi yang lebih. Jika kurang berhasil guru itu harus meningkatkan kontrol-kontrol bertahap, sebagai langkah kendali mutu (quality control) pembelajarannya untuk menindak lanjuti dengan berbagai kreatifitas lanjutan.

Mengapa demikian ?
Karena Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individu maupun klasikal,
Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman,
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode bervareasi,
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif,
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Dengan demikian Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai kurikulum dan hasil belajar yang memuat perencanaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir hingga usia 18 tahun. Disamping buku KBK setiap mata pelajaran, kurikulum berbasis kompetensi juga dilengkapi Pedoman Pengintegrasian Pendidikan Budi Pekerti yang bertujuan mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji, dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab, peserta didik sebagai penerus bangsa, memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individual maupun sosial. Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Tujuan tersebut dapat dicapai ketika pendidikan Budi Pekerti diintegrasikan kedalam proses pembealajaran semua mata pelajaran terutama Agama dan Kewarganegaraan. Nilai-nilai Budi pekerti yang dapat dintegrasikan adalah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mentaati ajarannya, menaati ajaran masing-masing agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri, mengembangkan etos kerja/etos belajar, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berfikir positif, mengembangkan kualifikasi diri, menumbuhkan rasa cinta dan kasuh sayang, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetiakawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa malu, menumbuhkan kejujuran. Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan kepada siswa selama pengalaman proses pembelajaran di kelas maupun proses pembelajara di luar kelas dalam membentuk perilaku siswa. Disamping budi pekerti, kurikulum berbasis kompetensi memasukkan pengetahuan tentang hak azasi manusia, pariwisata, lingkungan hidup, pencegahan konsumeristik, kependudukan, kehutanan, home industri/ekonomi, pencegahan HIV/AIDS, penangkalan narkoba, perdamaian, demokrasi dan peningkatan konsensus pada nilai-nilai universal dalam pembelajaran mata pelajaran yang sesuai. Dalam proses belajar mengajar guru dan karyawan menjadi figur contoh dalam setiap perilakunya yang dapat mewarnai perilaku semua siswa. Oleh karena itu jelas bahwa hubungan anatara kreatifitas guru dan karyawan dalam bertindak, berperilaku, berkomunikasi setiap saat mesti mendukung pembelajaran setiap mata pelajaran di kelas atuapun diluar kelas.
Disamping budi pekerti, pembelajaran juga harus diperhatikan tentang pembentukan kecakpan hidup yang akan membantu siswa setelah tamat.
Dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi tidak terpisahkan dari manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Diperlukan komunitas pendidikan disekolah yang kreatif agar dapat menempatkan dirinya dalam mutu proses pembelajaran siswa yang mengakumulasikan personal skills, social skills, environmental skills dan vokasional skils dalam pembelajaran setiap mata pelajaran yang terakumulasi dalam akademic skills menuju siswa yang kompeten dalam arti memahami dan menyadari kecakapan hidup atau Life Skills. Kata Cakap mengandung arti pandai dengan kemahiran tertentu, mampu melakukan sesuatu dengan kemahirannya yang diterapkan dalam kemampuannya dan kesanggupannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kecakapan tersebut dapat dimiliki siswa selama pengalaman proses pembelajaran disekolah maupun dirumah. Siswa yang memiliki life skills berarti memiliki suatu kepandaian dan kemahiran serta kesanggupan yang ada pada dirinya untuk menempuh kehidupan berkelanjutan dari mulai kanak-kanak sampai akhir hayatnya. Potensi untuk mengembangakan life skills seseorang, sudah ada sejak ia dilahirkan. Sedangkan waktu untuk mengembangkan potensi yang merupakan rahasia diri ini lebih lama, karena melalui proses pengembangan naluri biologis, pengembangan daya pisik, daya pikir, daya emosi dan daya spiritual yang akan terpadu menjadi daya kalbunya. Pendidikan yang dialami anak melalui jalur informal dan jalur pendidikan formal adalah proses upaya yang secara sadar dilakukan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri pribadi agar mampu menjalani kehidupannya, dikenal dengan nama mendidik.

D. Diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP)

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sesungguhnya sangat sejalan dengan dinamika sosial-politik dewasa ini yang banyak bertumpu pada rancangan desentralistik, khususnya dalam pelaksanaan otonomi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk tentu dalam pengelolaan pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah. Maka, siap atau tidak siap, yang segera harus dilakukan adalah memperkaya atau juga menyadarkan para guru akan posisi strategis mereka dapat dan mampu menata atau berbenah dalam menghadapi kurikulum yang dapat dikatakan paling lengkap ini. Dikatakan paling lengkap, seperti dinyatakan oleh Idris Apandi, KTSP dapat disimpulkan mengandung prinsip pengembangan yang ;
berpusat pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;
beragam dan terpadu;
tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan;
relevan dengan kebutuhan kehidupan;
menyeluruh dan berkesinambungan;
belajar sepanjang hayat; dan
seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Perubahan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) sebetulnya sama, Standar Kompetensinya banyak yang dikurangi tapi disusun secara sistematis/berurutan. Disamping itu bahan, sumber, alat dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan sekolahan masing-masing. Maka bagi sekolahan yang sudah memberlakukan KTSP ini berhak menentukan Visi, Misi, Tujuan dan Landasannya serta menentukan struktur kurikulum pengembangan sekolahan unggulan/pengembangan diri.
Juga berhak menentukan kenaikan kelas maupun kelulusannya, termasuk membuat kalender pendidikan, awal tahun ajaran, waktu belajar dan alokasi waktu
Indonesia sudah berganti beberapa kali semenjak pertama kali dicanangkan pada tahun 1950. Dan pergantian atau perubahan kurikulum merupakan hal yang wajar sebagai bentuk aktualisasi maupun responsi dari perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan. Akan tetapi, setiap ada modifikasi dalam kurikulum, masyarakat pada umumnya selalu memberikan tanggapan yang pada intinya kurang menggembirakan; bukan karena masyarakat itu anti-perubahan mengenai kandungan kurikulum atau anti-kemajuan, melainkan karena berdampak pada buku-buku teks yang juga berganti. Dengan bergantinya buku-buku teks atau buku-buku pelajaran itu berarti para orang tua murid harus menyediakan tambahan dana untuk membeli buku-buku tersebut, sebagaimana sudah disebutkan di awal tulisan.

E. Kesimpulan.
Dengan silih bergantinya kurikulum kreatifitas guru dan karyawan tidak mudah dibentuk oleh orang lain, tetapi memerlukan penyadaran diri, semangat, motivasi diri yang kuat untuk maju. Penulis berharap bahwa prestasi seseorang dari rentetan informasi tentang konsep kurikulum berbasis kompetensi, life skills, KTSP, kreatifitas guru dan karyawan, mudah-mudahan dapat menjawab tantangan kreatifitas guru dan karyawan sekolah dalam penerapan berbagai perubahan kurikulum. Ketika sekolah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi secara konsekuen dan ditindak lanjuti dengan pemberlakuan KTSP dapat diharapkan kompetensi tamatan yang memiliki kecakapan hidup/ life skills dan mandiri, cerdas, cakap, kritis, rasional, kreatif, berbudi pekerti dan bergengsi dalam percaturan global hari ini, hari esok dan pada masa-masa datang.






Sumber Penulisan :

1. Kebijakan Umum Kurikulum Berbasis Kompetensi, Buku Kurikulum dan Hasil Belajar, Penilaian Berbasis Kelas, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Depdiknas
2. Pendekatan Kontektual (Contextual Teaching and Learning) Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktoat PLP 2002.
3. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah ( buku 1 sd 5 ), Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Ditjen Dikdasmen,
4. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup ( Life Skills Education ), Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Ditjen Dikdasmen,

Tidak ada komentar: