Rabu, 03 September 2008

PEMBANGUNAN KARAKTER DAN AKHLAQ MULIA DIMASA REMAJA

PEMBANGUNAN KARAKTER DAN AKHLAQ MULIA
DI MASA REMAJA

A. Pendahuluan
Bahwa kemajuan dan martabat bangsa bukan hanya ditentukan oleh prestasi material semata, tetapi juga oleh kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa. Pembangunan kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa tersebut harus dilakukan secara serius, konsisten dan bersama-sama oleh seluruh potensi dan elemen bangsa. Bahwa generasi muda adalah potret masa depan bangsa, dan karena itu perlu mendapatkan perhatian, bimbingan dan peluang untuk tumbuh sebagai manusia Indonesia yang cerdas, berkarakter dan berkomitmen. Ikhtiar bersama untuk melakukan pembangunan akhlaq moralitas dan karakter bangsa dimaksudkan untuk kemajuan dan kemartabatan bangsa serta dilakukan dengan cara-cara yang baik dan berbudi. Yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju kepada suatu kebaikan sampai akhit hayat dengan prinsip mengasihi bukan menghakimi dan atau memusuhi, yang diwujudkan dalam bentuk kepekaan dan kepedulian untuk berbuat dan berjuang. Membangun karakter dan akhlaq mulia dalam ajaran Islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw bahwa rukun Islam itu terdiri dari 5 perkara. Sebagaimana Nabi bersabda yang artinya sebagai berikut :
"Islam itu dijadikan lima perkara yaitu meyakini/bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Aku (Muhammad saw) adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat/shodaqoh, menunaikan haji ke baitullah dan puasa di bulan Romadhon."
Dari hadits tersebut penulis jadikan acuan untuk membangun karakter dan akhlaq mulia, dan peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan pembangunan ini.

B. Membangun Karakter di Masa Remaja
Fase ini dimulai dari ketika anak genap berusia tujuh tahun hingga empat belas tahun. Di masa ini anak tengah mempersiapkan dirinya untuk menjadi manusia matang dan satu anggota dari masyarakatnya. Pada fase ini, anak mulai menghilangkan kebiasaan meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa dan mulai memperhatikan alam dan lingkungan sekitarnya. Saat itulah daya pikir anak mulai terbuka dan mampu untuk berimajinasi dan menangkap banyak masalah yang tidak kasat mata. Ia mulai berpikir tentang dirinya sendiri. Ia memandang dirinya sebagai salah satu makhluk yang hidup, berdiri sendiri, dan memiliki kehendak yang lain dari kehendak orang lain. Cara yang dilakukannya untuk menunjukkan keberadaan dirinya itu seringkali berupa perlawanan dan penentangan terhadap apa yang selama ini biasa ia lakukan. Ia berusaha untuk menampakkan jatidirinya dengan menentang dan membuat keluarganya marah demi menunjukkan kepada mereka bahwa ia adalah dirinya. Anak seperti ini akan memilih jenis dan warna pakaiannya sendiri, ingin bebas menentukan pelajaran yang ia sukai, dan berhubungan dengan siapa pun yang ia sukai dan dengan cara semaunya. Pada masa inilah orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap pendidikannya karena kini ia tengah berada di awal hubungan sosialnya dalam lingkup yang lebih luas dengan masuknya ia ke sekolah. Sekolah sendiri berpotensi besar dalam membangun kepribadian anak dengan adanya banyak anak di sana yang masing-masing mempunyai tingkat kecerdasan dan kegesitan tersendiri. Anak akan tergugah untuk bersaing dengan mereka dan hal inisangat berpengaruh pada karakternya. Beberapa faktor penting yang berkaitan dengan pembangunan karakter anak dalam fase ini antara lain adalah pola interaksinya dengan ayah, ibu, dan seluruh anggota keluarga yang lain, keadaan fisiknya, seperti tinggi dan berat badannya, serta hal-hal yang didengar dan dipelajarinya. Kebutuhan anak di fase remaja ini berbeda dengan kebutuhannya di fase-fase sebelumnya. Hal ini harus diperhatikan oleh orang tua dan diusahakan untuk memenuhinya. Kebutuhan anak tersebut antara laina dalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, dan pakaian.
2. Kebutuhan psikis, seperti ketenangan jiwa dan emosi.
3. Kebutuhan terhadap penerimaan dirinya oleh masyarakat.
4. Kebutuhan terhadap perhatian dan penghormatan atas dirinya.
5. Kebutuhan untuk mempelajari banyak hal yang dapat memupuk bakatnya sebagai bekal menempuh perjalanan panjang kehidupannya.
6. Kebutuhan untuk mengenal pemikiran-pemikiran yang menjadi wacana dalam masyarakat dan mengenal isi dunia yang tentu saja disesuaikan dengan kemampuan dan kematangan anak seusia ini.
Anak perlu mendapatkan perhatian yang ekstra ketat dalam melewati fase yang rentan ini, tetapi tentu saja dengan tetap memberinya kebebasan yang merupakan salah satu kebutuhan aslinya. Memang, mendidik anak di masa ini sangat sulit sehingga diperlukan usaha dan keuletan yang lebih besar dari orang tua dalam mendidik, menjaga, dan mengintrol setiap gerak-gerik anak, termasuk pola berpikir, perasaan, dan pelajaran sekolahnya. Selain itu, ayah dan ibu harus memenuhi memenuhi semua keperluannya yang beraneka ragam. Anak pada masa ini tengah membutuhkan pengarahan intensif dari orang tuanya, juga bimbingan mereka dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh tantangan dan lika-liku ini. Berikut ini kami kemukakan hal-hal penting yang berhubungan dengan pendidikan anak di fase ini.
1. Pendidikan Ekstra Ketat
Mendidik anak dengan baik dan benar dan mengajarinya budi pekerti yang luhur merupakan tugas dan tanggung jawab yang berada di pundak ayah dan ibu. Di lain pihak, adalah hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang benar tersebut. Pada fase ini, anak sangat memerlukan perhatian dan pengawasan ketat dari orang tuanya. Karena itu, orang tua harus meluangkan waktu dan tenaga yang lebih besar. Karena fase ini merupakan fase yang sulit dalam kehidupan, ayah dan ibu harus mengangkat tangannya dan berdoa kepada Allah swt agar mendapat taufik dalam mengemban tugas mulia dan besar ini. Banyak riwayat yang menekankan kewajiban mendidik anak dengan baik dan menanamkan akhlak yang mulai kepadanya.
Rasulullah saw bersabda :
أكر موا أولادكم واحسنوا ادا بهم
Artinya : Hormatilah anak-anak kalian dan perbaikilah perangainya.

Pendidikan di fase ini lebih penting pada fase-fase lainnya karena anak di usia ini relatif masih bersih dan belum tercemari sehingga mau mendengar dan menerima semua nasihat dan bimbingan. Karena itu, orang tua harus pandai-pandai mempergunakan kesempatan ini untuk mendidiknya dengan benar. Perlu dicatat, pendidikan yang ditekankan tidak lain adalah pendidikan dengan konsep Islami, yang menjadikan masalah penghambaan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya menjadi poros segala masalah kehidupan. Jika kedua orang tua mampu menerapkan metode pendidikan ini dengan tepat, dapat dipastikan bahwa si anak kelak akan menjadi anggota masyarakat yang baik. Sejarah mencatat bahwa Ahlul Bait a.s. senantiasa menerapkan metode yang tepat dalam mendidik anak-anak mereka. Anak-anak mereka dipersiapkan dan dididik secara sempurna sehingga ketika dewasa mereka memiliki akhlak mulia serta menjadi teladan dalam segala hal. Ali a.s contohnya. Beliau melewati masa kecilnya di rumah Rasulullah saw semasa beliau belum dilantik sebagai nabi.
Ketika Rasulullah berdakwah, Ali adalah orang yang pertama kali menyatakan keimanan. Keimanan beliau itu betul-betul tulus yang ditunjukkan dengan ketaatan mutlak terhadap Allah dan rasul-Nya. Ketika dewasa, beliau menjadi teladan tanpa tanding dalam hal keberanian, pengorbanan, kedermawanan, kerendahhatian, kejujuran, dan seluruh keutamaan akhlak lainnya. Pada gilirannya, Imam Ali kemudian mendidik anak-anaknya dengan cara yang serupa sehingga mengantarkan mereka sampai ke puncak kesempurnaan akhlak.
Demikian juga yang terjadi pada para imam berikutnya. Beban yang dipikul oleh orang tua dalam mendidik anak akan makin berat seandainya masyarakat tempat mereka tinggal makin jauh dari Islam. Atau, bisa jadi secara realitas masyarakat beragama Islam, tetapi bentuk kehidupan yang Islami tidak termanifestasikan di dalamnya. Penyebabnya bermacam-macam, seperti pengaruh tradisi dan sikap konservatif, atau pengaruh keracuan sistem pendidikan anak-anak, yang terutama biasa kita dapatkan dari media massa seperti radio, televisi, film, dan lain-lain. Perlu dicatat juga bahwa pendidikan jasmani anak termasuk ke dalam bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan jiwa, mental dan kepribadian. Bahkan factor ini bias disebut sangat penting sehingga Rasulullah sendiri bersabda :
علموا أولادكم السبا حة والر ما ية
Artinya : Ajarilah anakmu berenang dan memanah.
Di kalangan ilmuwan psikologi dan pendidikan sendiri sudah lama diketahui bahwa kesehatan badan sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa.

2. Dorongan untuk Belajar
Pada fase ini, belajar adalah hal yang penting bagi anak-anak. Inilah saat yang tepat untuk memberikan dorongan belajar kepada mereka, mematangkan kekuatan akal, serta mewujudkan kecintaan hakiki mereka terhadap penguasaan ilmu. Pada masa ini, anak-anak memiliki potensi yang kuat untuk menghafal apapun yang sampai ke pendengarannya. Karena itu, proses belajar menjadi sangat penting untuk menanamkan berbagai pengetahuan dan membuatnya tetap melekat dalam ingatan anak. Berkaitan dengan hal ini. Rasulullah saw bersabda :
مثل الذي يتعلم في صغر كالنقش في الحجر
Artinya : Orang yang belajar di waktu kecil itu ibarat melukis di atas batu.
Demikian pentingnya pendidikan anak-anak sampai-sampai Rasulullah secara khusus berwasiat kepada orang tua.
مروا أولادكم بطلب العلم
Artinya : Perintahlah anakmu untuk mencari ilmu.
Bahkan menurut Rasulullah, pengajaran anak-anak adalah salah satu pintu rahmat Allah bagi orang tua mereka.
Dewasa ini, fungsi pengajaran baca tulis sudah dipegang oleh lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah. Tetapi, itu tidaklah berarti bahwa peran orang tua tidak lagi diperlukan. Dalam kondisi seperti ini, harus ada kerja sama di antara orang tua dan sekolah. Harus juga diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan di sini tentulah tidak sebatas pendidikan baca tulis. Segala hal yang memungkinkan untuk diajarkan kepada anak-anak, harus diajarkan. Jadi, pendidikan di sini meliputi seluruh bidang ilmu seperti kedokteran, humaniora, sastra, sejarah, filsafat, dan lain-lain. Yang juga tidak boleh dilupakan adalah pentingnya aspek pendidikan rohani dan ibadah. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw, bersabda tentang pentingnya pengajaran Al Qur'an.
... ومن علمه القر ان دعي بالابوين فكسيا حلتين تضي ء
من نورهما وجوه أهل الجنة
Artinya : Orang yang mengajarkan Al Qur'an itu kelak akan dipanggil dari dua pintu. Dia akan mengenakan dua pakaian yang memancarkan dua cahaya. Dari kedua cahaya itu tampaklah wajah penghubi surga.

Maksud dari pengajaran Al Qur'an di sini adalah pengajaran yang komprehensif, dimulai dari pengajaran membaca secara benar sesuai dengan kaidah bahasanya. Berikutnya, si anak harus didorong untuk menghafal beberapa ayat dengan memperhatikan tingkat kemampuan akal seorang anak kecil. Setelah itu, mereka juga perlu diajari tafsir beberapa surat yang relevan dengan kebutuhan anak, terutama yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak, atau juga hal-hal yang berhubungan dengan hokum-hukum syar'iy (ibadah dan muamalah). Berikutnya, pada fase inilah si anak harus mulai diperkenalkan pada tata cara beribadah. Yang pertama kali harus diajarkan adalah tata cara wudhu dan shalat.

3. Melatih Anak untuk Patuh
Sikap patuh itu sebenarnya mudah dilakukan. Namun untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan, diperlukan latihan. Anak perlu bantuan khusus dari orang tua dalam hal melatih diri bersikap patuh sehingga berbagai macam kesulitan yang mungkin ada pada kepatuhan itu bisa diminimaliasi. Atau lebih jauh lagi, si anak tidak merasa asing dengan kepatuhan dan mampu mengadaptasikannya dengan watak dan budi pekertinya sehingga kepatuhan itu menjadi kebiasaan sehari-hari. Diharapkan, kelask si anak akan melaksanakan berbagai macam bentuk kepatuhan dengan gembira, tanpa desakan, keterpaksaan, atau sikap malas. Metode yang ditawarkan Islam dalam melatih kepatuhan anak sangat memperhatikan kemampuan akal dan fisik si anak. Sebagai contoh dalam hal latihan melaksanakan shalat, Rasulullah saw bersabda :


مروا صبيانكم بصلا ة إذا بلغوا سبع سنين واضربو هم على تركها
إذا بلغوا تسعا
Artinya : Biasakanlah anak-anak untuk shalat ketika usianya mencapai tujuh tahun. Jika sampai usia sembilan tahun si anak masih meninggalkan shalat pukullah.

Memukul yang dimaksudkan dalam hadis ini bisa dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu dalam bentuk pukulan fisik atau bisa juga berarti penunjukan sikap marah. Pukulan memang bisa berdampak negatif kepada anak. Akan tetapi, dampaknya itu akan segera hilang, dan itu artinya dampaknya ini sama sekali tidak berarti apa-apa jika dibandingkan kepentingan yang lebih besar yaitu pelatihan shalat. Metode pelatihan shalat yang terbaik adalah dengan memperhatikan tingkat kemampuan anak-anak. Artinya, mereka jangan sampai dibebani porsi yang sangat berat karenaitu akan menyebabkan ketidaksenangan terhadap shalat serta akan membangun dinding jiwa yang memisahkannya dengan shalat. Diriwayatkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin a.s. menyuruh anak-anak untuk melakanakan shalat Dzuhur dan Asar di satu waktu, demikian juga dengan shalat Maghrib dan Isya'. Ketika hal tersebut ditanyakan kepadanya. Dengan demikian, waktu anak-anak itu tidak terambil kecuali untuk shalat-shalat yang diwajibkan. Padatahap pertama, anak-anak hanya boleh shalat-shalat yang diwajibkan. Pada tahap pertama, anak-anak hanya boleh dilatih untuk mengerjakan shalat-shalat wajib. Jika sudah terbiasa dan tumbuh rasa senang, seiring dengan pertambahan usia, mereka lama-kelamaan akan terbiasa pula mengerjakan shalat-shalat sunnah. Berkaitan dengan ibadah puasa, anak-anak harus sudah dilatih mengerjakannya pada usia tujuh tahun. Ketika usia mereka bertambah, porsi latihan bias ditambah dengan memperhatikan kesiapan mental dan batas kemampuan fisik. Jika seorang anak sudah melatih diri melakukan puasa pada usia-usia aal, bias dipastikan bahwa dia tidak akan lagi menganggap puaa sebagai beban tugas yang memberatkannya. Jenis latihan ketaatan yang lainnya adalah berkenaan dengan ibadah haji. Disunnahkan untuk melatih anak-anak melakukan ibadah ini. Cara melatih kepatuhan anak yang lain yang juga disunnahkan adalah dengan melatihnya berbuat kebajikan, seperti bersedekah kepada fakir miskin. Dampak positif lain dari latihan bersedekah adalah bahwa latihan ini bias menjadi metode terbaik dalam mendidik mereka untuk tidak terikat kepada hal-hal yang duniawi. Rasa cinta kepada harta juga akan banyak tereduksi dari jiwa anak dan tentu saja hal ini juga akan menumbuhkan rasa empati kepada fakir miskin. Tidak diragukan lagi bahwa latihan ibadah sejak kecil yang dilakukan oleh seorang anak akan menumbuhkan kebiasaan yang kelak akan dilakukan terus menerus olehnya ketika sudah dewasa. Dengan pembiasaan itulah mereka akhirnya mendapatkan rasa senang dan punya dorongan untuk melakukannya. Karena itu, orang tua harus selalu memberikan dorongan kepada anak-anak agar membiasakan diri taat menjalankan perintah agama dengan cara yang paling efektif, mungkin dengan pemberian perhatian, pujian, atau bisa juga dengan pemberian hadiah (bisa berupa materi atau spiritual).

4. Pengawasan Anak
Pada fase ini, keberhasilan pendidikan anak juga mensyaratkan adanya pengawasan orang tua terhadap mereka. Anak-anak perlu diarahkan kepada hal-hal yang benar dan baik. Mereka juga memerlukan pengawasan dalam hal cara berpikir, serta pengembangan imajinasi dan humanisme. Tentu saja, semua bentuk pengawasan itu harus dilakukan dengan cara yang benar jangan sampai membebani si anak. Dalam waktu-waktu tertentu, sebaiknya orang tua melakukannya dengan cara seakan-akan dia adalah seorang kawan yang sedang mencoba membantu si anak dari kesulitan yang ia hadapi. Pengawasan dalam hal pergaulan anak perlu lebih ditekankan dibandingkan dengan pengawasan di rumah. Orang tua harus memilihkan kawan-kawan bermainnya. Usahakan supaya kawan-kawannya itu hanyalah yang saleh-saleh. Terkadang, penjelasan dan nasehat tidak begitu berguna. Untuk itu, pemberian hukuman bias menjadi cara yang efektif. Mereka juga harus dilatih untuk instrospeksi dan mau menerima koreksi. Lebih jauh lagi, harus tertanam di benak mereka konsep pengawasan yang dilakukan Allah. Konsep ini sangat efektif sebagai tameng yang akan mencegah anak dari penyelewengan walaupun pengawasan dari orang tua tidak ada. Pada dasarnya, pengawasan adalah kewajiban ayah dan ibu. Mereka berdua memiliki porsi tugas yang disesuaikan dengan kemampuan dan pengalaman hidup. Karenanya, mereka berdua harus saling membantu. Akan tetapi, karena biasanya ayah lebih sering berada di luar rumah, porsi tugas pengawasan seorang ibu terhadap anaknya (baik anaknya itu laki-laki ataupun perempuan) terkadang menjadi lebih besar. Hal openting lain yang harus diperhatikan adalah bahwa jangan ampai si anak merasa tidak diacuhkan oleh orang tuanya. Kondisi pengawasan melekat harus selalu terjaga. Orang tua terkadang bisa meminta bantuak pihak-pihak lain untuk ikut mengawasi anaknya terutama dalam situasi yang di sana orang tua tidak bisa melakukannya. Dalam hal ini, mereka bisamemberikan kepercayaan kepada famili dan kawan terdekat. Demikian juga sekolah-sekolah dan institusi tempat si anak beraktivitas sosial memiliki peran pengawasan yang sangat besar dalam pendidikan si anak agar ia tidak terjerumus ke dalam penyimpangan perilaku.

5. Pencegahan atas Perilaku Asusila
Perilaku asusila termasuk di antara perilaku yang sangat berbahaya yang mengakibatkan berbagai krisis sosial. Karena itu, Islam sangat memperhatikan masalah ini secara khusus dengan mengajarkan cara-cara pencegahan dan terapi seandainya perilaku itu sudah terbentuk. Di sinilah tanggung jawab dan peran orang tua harus dijalankan dengan sungguh-sungguh karena pendidikan dalam rangka menghasilkan kesucian jiwa dan kesalehan anak-anak adalah tugas terpenting mereka. Rasulullah saw bersabda :
من حق الولد على والده أن يخسن اسمه إذاولدوأن يعلمه الكتا بة إذا كبر,
وان يعف فر جه إذا أدرك
Artinya : Hal-hal berikut ini adalah termasuk hak yang dimiliki seorang anak atas ayahnya, yaitu bahwa ayahnya memberinya nama yang bagus ketika lahir, mengajarkan kepadanya baca tulis ketika beranjak besar, serta menyusikan kehormatannya dari perilaku asusila ketika sudah mengenal masalah seksual.

Pendidikan yang berkaitan dengan penjagaan kesucian ini dilakukan dengan melakukan langkah-langkah pencegahan atas gejala asusila. Langkah-langkah ini harus dimulai sejak si anak belum mencapai usia baligh. Langkah pertama adalah menjauhkan anak-anak dari segala sesuatu yang bisa mengobarkan hasrat seksual. Mereka juga harus dijauhkan dari pengetahuan yang merangsang imajinasi. Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan memisahkan tempat tidur anak-anak.
Rasulullah saw juga bersabda :
الصبي والصبي, والصبي والصبية, والصبية والصبية يفرق بينهم
في المضاجع لعشر سنين
Artinya : Ketika sudah mencapai usia sepuluh tahun, pisahkan tempat tidur anak-anak, baik antara anak laki-laki, laki-laki dan perempuan, atau antara anak anak perempuan.

Tentu saja yang dimaksud di sini adalah larangan ciuman dri orang-orang lain bukan dari keluarga sendiri seperti ayah, ibu, paman, dan semua famili yang termasuk ke dalam muhrim. Karena itu, larangan ini juga berlaku buat anak laki-laki.
Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda :
... والغلام لايقبل المر أة إذا جاز سبع سنين
Artinya : Jika seorang anak laki-laki telah berusia tujuh tahun, jangan biarkan ia mencium perempuan.

Jika perilaku tindakan asusila ini telah terjadi, orang tua bisa saja menjatuhkan hukuman sampai batas yang kira-kira membuat si anak jera dan tidak mengulanginya. Kita juga harus betul-betul mengawasi anak-anak terhadap segala hal yang memungkinkan terciptanya gejolak jiwa. Dewasa ini, hal-hal tersebut akan sangat mungkin terjadi karena mereka dikepung dengan aneka cerita, gambar, film, dan segala hal yang berpotensi merusak kesucian jiwa. Karena itu, sebagai bentuk pencegahan atas kemungkinan terjadinya perilaku asusila, kita harus mengawasi mereka manakala sendirian ataupun ketika mereka bersama orang lain.

6. Menciptakan Hubungan dengan Teladan yang Baik
Di akhir periode ini, anak-anak akan punya kecenderungan yang sangat kuat untuk meniru apapun yang ada pada diri kebanyakan orang turutama mereka yang menjadi lingkingan baginya. Para psikolog menamai sebuah gejala kejiwaan dari seorang anak pada usia ini yang selalu ingin meniru orang lain secara fisik dengan istilah "peniruan". Keinginan ini sangat cepat timbulnya dan akan cepat juga berhenti ketika sumber peniruan itu tidak ada. Para psikolog berpendapat bahwa pada dalam diri setiap manusia terdapat kebutuhan untuk memiliki idola. Kebutuhan ini angat signifikan. Dalam pandangan para psikolog itu, kepribadian idela yang menjadi idola bagi tiap manusia itu akan sangat bermacam-macam dan bergantung kepada berbagai faktor, seperti fisik, kejiwaan, dan sosial. Idola itu sangat mungkin kemudian akan diejawantahkan dalam paradigma dan cita-cita hidupnya. Karena itu, si anak tetap memerlukan contoh dan teladan dalam kehidupannya. Dalam hal ini, idola terbaik tentulah pribadi-pribadi agung yang bisa mereka dapatkan dalam diri orang-orang terdahulu. Mereka adalah para nabi, ahlul bait Rasulullah, sahabat dan tabi'in yang shalih, serta para ulama terdahulu. Merekalah teladan dalam berbagai keutamaan sifat serta kehormatan jiwa. Peneladanan anak-anak kepada merka inilah yang akan membentuk kepribadian mulia, mengikuti apa yang mereka teladani. Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban untuk mengarahkan pandangan, pikiran, dan kecenderungan anak-anak ke arah pribadi-pribadi teladan sejak Nabi Adam a.s. hingga orang-orang mulia zaman sekarang. Pada diri mereka terdapat teladan-teladan yang secara histories memiliki konteks yang khas, tetapi semuanya mengandung nilai kemuliaan, kebajikan, dan kepemimpinan dalam hidup.
Keteladanan yang suci tersebut memiliki pengaruh dan tempat yang mulia di seluruh sudut kehidupan anak-anak. Dampak dari peneladanan itu akan termanifestasikan dalam kepribadian, mental, logika, dan paradigma hidup mereka. Pada gilirannya, hal ini akan mendorong si anak untuk mencapai posisi tinggi sebagaimana yang telah dicapai oleh orang-orang saleh yang mereka teladani.

C. Kesimpulan
Bahwa pembangunan karakter dan akhlaq mulia, kemajuan dan martabat bangsa bukan hanya ditentukan oleh prestasi material semata, tetapi juga oleh kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa. Pembangunan kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa tersebut harus dilakukan secara serius, konsisten. Para orang tua sangat menentukan karena anak sholeh merupakan amanat dari Allah swt kepada orang tua sebagai salah satu amal yang dapat dibawa sampai di akherat kelak. Semoga Allah swt meridhinya. Amin.

Kamis, 28 Agustus 2008

PERUBAHAN IAIN MENJADI UIN

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Cara memandang ilmu pengetahuan vis a vis agama secara dikotomik sudah sejak lama ditinggalkan orang. Bahkan dalam sejarah pemikiran Islam, jalan pikiran seperti itu ditengarai menjadi sebab terjadinya kemunduran umat Islam sejak abad 12 yang lalu. Orang Islam yang mempersepsi bahwa ajaran Islam hanyalah mencakup fiqih, tauhid, akhlaq-tasawuf, tarikh dan sejenisnya, disadari atau tidak telah menjadikan umat Islam tertinggal dari komonitas lainnya.(Prof.Dr.Imam Suprayogo) Kemajuan peradaban umat manusia, sekalipun hal itu penting, bukanlah dihasilkan oleh kemajuan ilmu agama, melainkan oleh teknologi, kedokteran, perbankan, geologi, astronomi, fisika-kimia, manajemen dan seterusnya. Setidak-tidaknya, sumbangan ilmu fiqih, tauhid dan akhlaq dalam membangun peradaban dunia, sekalipun ada, tidak sebesar yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melihat dan menyadari kenyataan itu, tidak lantas kemudian para pemikir Islam menafikan peran dan fungsi ajaran Islam. Ajaran Islam yang bersumber al qur’an dan al hadits tetap diyakini kebenarannya. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia juga dipandang memiliki kekuatan dalam memajukan peradaban ini. Bertolak dari penglihatan seperti itu, muncul pertanyaan: “Adakah yang salah dari cara memandang agama pada satu sisi dan ilmu pengetahuan modern pada sisi lainnya”?
Komitmen yang mendasari perubahan IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah integrasi keilmuan agama dan umum. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dewasa ini upaya untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum terus bergulir tiada henti. Munculnya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan telah mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan sosial, agamawan, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Konsep yang pertama kali digulirkan oleh Al-Faruqi dimaksudkan sebagai “filter” terutama terhadap “ilmu-ilmu produk barat” yang melenceng jauh dari norma-norma Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Al Faruqi (1982) dalam Islamic of Knowledge, ada beberapa kerangka kerja yang digunakan untuk merumuskan praktek Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu ;
1). Penguasaan disiplin ilmu modern.
2). Penguasaan akidah dan nilai-nilai Islam
3). Penentuan relevansi antara akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4). Pencarian sintesa kreatif antara unsur-unsur akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
5). Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.

2. Rumusan Masalah.
Untuk lebih memfokuskan paparan permasalahan pada makalah ini penulis membatasi pada rumusan masalah sebagai berikut;
Mengapa IAIN/STAIN harus berubah menjadi UIN, dan bagaimana integrasi kurikulumnya ?.
Sejauh mana IAIN/STAIN dalam mensikapi perubahan tersebut?

3. Metodologi
Makalah ini disusun menggunakan metode telaah pustaka, dengan cara mengutip pendapat dari tulisan yang telah dibaca, kemudian ditelaah dan dianalisis sesuai dengan kemampuan penulis.
Untuk pengumpulan data pada makalah ini digunakan metode pengumpulan data literer, yakni dengan terlebih dahulu menelusuri buku – buku yang ada relevansinya dengan masalah – masalah yang dibahas dan melalui jaringan internet untuk dikaji guna mencari landasan upaya pemecahan persoalan.





B. PEMBAHASAN MASALAH

1. Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN.
Sebuah pertanyaan yang sangat amat sederhana tetapi membutuhkan jawaban yang sangat cerdas. Mengapa STAIN/IAIN harus berubah menjadi UIN?.
Status sebagai STAIN hanya memungkinkan lembaga ini menangani dan menekuni satu bidang keilmuan saja, seperti tarbiyah saja, atau syariah saja; sedangkan status IAIN memberikan ruang yang lebih besar, yakni menangani bidang-bidang keilmuan yang beragam, namun keragaman bidang kajian itu hanyalah dalam lingkup kajian Islam. Sehingga baik dalam status STAIN maupun IAIN, secara konseptual semua itu tidak relevan dengan keyakinan dasar Islam yang menyatakan sebagai agama universal. Konsep Islam Universal dalam wadah Universitas Islam Negeri (UIN) mewujudkan integrasi dan sintesis ilmu-ilmu keislaman (agama) dengan ilmu-ilmu umum (sains) dalam sebuah bangunan peradaban Islam. Dalam hal ini, ilmu-ilmu keislaman, seperti tarbiyah, ushuluddin, syariah, dakwah, adab, dan lainnya, diperankan sebagai basis keilmuan. Pada basis keilmuan ini, Wahyu al-Qur’an dan al-Hadits-yang melahirkan ilmu-ilmu keislaman-diletakkan berdampingan dengan akal, observasi, dan eksperimentasi yang melahirkan ilmu-ilmu alamiah, atau ilmu-ilmu umum. Dua sisi basis keilmuan ini diperankan dan diaktifkan secara serempak untuk melahirkan bidang-bidang keilmuan alam, sosial, dan humaniora. Dari tiga bidang keilmuan ini akan lahir berbagai disiplin ilmu yang mencerminkan kesemestaan Islam. Dari bidang ilmu alam akan lahir ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu alamiah lainnya; dari bidang sosial akan lahir ilmu psikologi, Sosiologi, Sejarah, Hukum, Manajemen, dan lain-lain; sedangkan dari bidang Humaniora akan lahir ilmu-ilmu filsafat, seni, bahasa, sastra, dan lain-lain. Semua bidang dan disiplin keilmuan ini akan menjadi bagian integral dari proses pendidikan Islam ketika IAIN/STAIN sudah berubah menjadi UIN. (Hady, 2004:5-6).
Meskipun berubahnya sebagian IAIN/STAIN menjadi UIN secara legal-formal sudah terwujud dengan turunnya SK Presiden, masing-masing IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN Sultan Syarif Qasim Riau. Salah satu perubahan yang paling tampak dari pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN adalah penambahan fakultas serta perluasan disiplin dan bidang kajian. Fakultas yang sebelumnya hanya terkait dengan disiplin keilmuan dasar Islam, seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, Dakwah, dan Adab kemudian ditambah dengan beberapa fakultas yang mengkaji disiplin keilmuan yang tidak berkaitan langsung dengan disiplin dasar Islam, seperti Sains dan Teknologi, Ekonomi, Psikologi, Humaniora dan Budaya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwasannya dalam konteks UIN tidak membedakan adanya fakultas agama dan fakultas umum. Dalam hal ini akan dibuktikan pada struktur keilmuan yang dikembangkan di UIN tersebut, yakni semua mahasiswa-baik jurusan agama maupun jurusan umum-akan mendapatkan Mata Kuliah Ciri Khusus (MKCK) UIN meliputi Studi al-Qur’an, Studi Hadits, Studi Fiqh, Tasawuf, Teologi, Bahasa Arab dan lain-lain. Sehingga diharapkan output/ lulusan UIN akan menyandang gelar “Ulama yang Intelek Professional dan Intelek Profesional yang Ulama” Dalam pengamatan penulis, satu hal yang masih membutuhkan kerja keras kita dalam rangka benar-benar mewujudkan gerakan Islamisasi ilmu Pengetahuan, yaitu Kurikulum yang dikembangkan di UIN harus berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan di PT umum atau PT Islam yang telah lama berkembang. Berkaitan hal ini, penulis setuju dengan konsep yang dibangun ketika IAIN/STAIN berubah menjadi UIN, yakni UIN merupakan Perguruan Tinggi yang berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum dan bahkan berbeda dengan Perguruan Tinggi Islam yang telah ada sekarang. Kalau kita melihat perbedaan dengan Perguruan Tinggi Umum memang sudah nampak kelihatan, tetapi bagaimana perbedaan dengan Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama berkembang. UIN haruslah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan Perguruan Tinggi Umum. Bahkan juga tidak harus sama dengan Universitas Islam sejenis yang sudah lama berkembang. Dengan hadirnya UIN harus dapat memberikan banyak peran dan inovasi baru yang dapat ditawarkan. Atau dengan kata lain kehadiran UIN harus berani tampil beda dibandingkan dengan universitas lain yang selama ini masih dalam kompetensi institusi keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik dan moral. Berani tampil beda merupakan tantangan, sekaligus merupakan kesempatan mencari peluang-peluang baru sehingga peran-peran yang dimainkan akan terasa baru yang selama ini belum tergarap secara maksimal oleh perguruan Tinggi yang sudah ada. Kurikulum yang dikembangkan selama ini di PT Islam masih diwarnai dengan adanya dikotomisasi ilmu, hal ini dibuktikan masing-masing keilmuan (baca; mata kuliah) masih berdiri sendiri-sendiri. Harapan dengan lahirnya UIN adalah dalam kurikulum tidak ada lagi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, UIN harus mampu mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam setiap mata kuliah yang menjadi lahan garapannya, UIN harus mampu mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Dengan hadirnya UIN, sebagaimana yang dikatakan Zainuddin (2004:17) maka diharapkan dapat mencetak sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yakni keunggulan di bidang Sains dan Teknologi sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman. Misalkan di Fakultas Sains dan Teknologi mahasiswa diberikan mata kuliah Studi al-Qur’an, maka seharusnya materi yang diberikan tentu akan berbeda dengan materi yang diberikan pada mahasiswa Fakultas Syariah. Mata kuliah studi al-Qur’an bagi mahasiswa Sains dan Teknologi harus digunakan sebagai landasan/pijakan dalam rangka menggali ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam raya. Atau dengan kata lain materi yang diberikan kepada mahasiswa Sains dan teknologi adalah berkutat pada ayat-ayat tentang kekuasaan Tuhan, proses penciptaan manusia, kesehatan, reproduksi, lingkungan dan lainnya meskipun tidak mengesampingkan materi dasar tentang ketauhidan/keislaman. Di Fakultas Ekonomi materi al-Qur’an yang diberikan juga harus bersentuhan berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti: jual beli, riba, manajeman, dan lainnya. Begitu juga di Fakultas Psikologi harus benar-benar berbeda dengan kurikulum di Fakultas Psikologi PT Umum/PT Islam yang sudah berkembang lebih dulu. Bahkan boleh jadi kurikulum UIN Jakarta akan berbeda dengan kurikulum yang diterapkan di UIN Malang atau UIN Yogyakarta, begitu sebaliknya. Sehingga kurikulum yang ada benar-benar terintegrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dan yang lebih penting adalah kurikulum yang digunakan harus mampu menjawab pelbagai problem yang muncul di masyarakat. (www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125)

2. Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kehawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru
Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagai mana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin?. Mengapa harus berubah menjadi “Universitas” ? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang disandangnya selama 53 tahun (1951-2004)? Akankah struktur keilmuan , kurikulum dan silabinya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan? Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur struktur mata kuliah, kurikulum dan silabi pada prodi-prodi umum di UIN dan Universitas Umum yang lain? Bagai mana pola pembinaan dan Pengembangan dan Pengembangan minat dan bakat, ketrampilan dan kepribadian mahasiswa? Dan berbagai pertanyaan yang lain?
Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul, Pertama, yang harus digaris bawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, namun tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan penegasan itu, maka sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Isam masih tetap menjadi tugas utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh Winder mandate-nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik okus penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang adapada universitas.
Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini ( fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin), dari semula berdiri memanag telah dengan sengaja dibina, dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Sampai sekarang, masing-masing fakultas telah mempunyai sejumlah tenaga pengajar yang cukup kuat, dan dosen-dosen tetap bergelar magister dan doctor cukup memadahi. Usaha untuk mengembangkan tenaga pengajar yang sudah ada tetap berlangsung hinga sekarang baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarangtidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemology baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana sini, sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.
Ketiga, dalam rancang bangunfakultas yang berada dibawah UIN akan mengalami perubahan sesuai dengan prinsip dasar “Miskin struktur, kaya fungsi” seperti yang diminta oleh Kementrian Pndidikan Nasional saat meng-verifikasi prodi-prodi umum yang diusulkan untuk dibuka di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 Desember 2003 dan deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) saat melakukan rapat interdepartemental untuk membahas draft rancangan Keputusan Presiden pada tanggal 11 Maret 2004. Dalam diskusi forum think tank IAIN yang melibatkan seluruh pimpinan fakultas dan institut dan para pakar di IAIN sampai pada kesimpulan bahwa untuk memperkuat fakultas yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada fakultas – fakultas yang ada sekarang ini. Untuk sementara,fakultas-fakultas yang ada sekarang aklan berubah nama sebagai berikut:Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin, Sains dan Tehnologi serta Sosial dan Humaniora. Nama 5 Fakultas yang lama masih sama seperti ketika masih berada di IAIN, tetapi berbeda dari segi muatan metode, pendekatan serta sistem pembelajaran.
Keempat, berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika Sekolah Tinggi hanya menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah, maka perjalanan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) yang membuka lebih dari satu bidang ilmu sebenarnya menyalahi aturan dan nomenklatur yang biasa dikenal di lingkungan pendidkan tinggi. Sedang Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu (seperti yang ada pada IAIN sekarang, yaitu keilmuan Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin). Adapun Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial maupun humaniora.
Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daipada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupuin luar negeri menjadai terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat. Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah peneilitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.


3. Beberapa Perguruan Tinggi STAIN/IAIN dalam mensikapi perubahan menjadi UIN.
3.1. Idealisme UIN Malang ke Depan
Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Malang bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata, melainkan yang justru lebih diutamakan adalah tataran perilaku warga kampus. Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika UIN Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam pengabdian dan pergaulannya ditengah-tengah masyarakat. Islam membimbing mahluk manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh (kaffah),lahir dan bathin, keselamatan dunia dan akhirat,meliputi pengembanagan aspek spiritual,akidah,akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian,kasih sayang,keindahan dan kebersihan,hemat dan tidak boros,dapat dipercaya atau amanah dan istiqomah.Pilar-pilar itu disebut sebagai arkan al-jami’ah (rukun perguruan tinggi)yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu:
1. Tenaga dosen, yakni dosen yang mumpuni, baik dari sisi akhlak,spiritual,latar belakang pendidikan,jabatan akademik, dan kualitas serta kuantitas produktivitasnya.
2. Masjid,masjid dimaknai sebagai wahana pengembanaganspiritual, tempat berupaya bagi siapa saja termasuk warga kampus untuk mendekatkan diri pada Allah secara berjamaah.Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbol kekayaan spiritual umat islam yang kering makana karena tempat ibadah itu kurang maksimal dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan spiritual,maupun intelektual.
3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kukuh. Kultur yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa islami. Bentuk konkretnya adalah kebiasaan melakukakn shalat berjamaah, tadarus Al-Quran,shalat malam,menghargai waktu,disiplin, menghormati sesama kolega, menghargai ilmu sampai pada karakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan manajemen modern ebagai produk ilmu pengetahuan.
4. Perpustakaan.UIN Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan yang unggul,baik dari sisi koleksi maupun pelayanan.
5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam,UIN Malang menyadari betapa kitab suci Al-Quran dan hadist nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh melalui observasi,ksperimen maupun olah akal yang cerdas.
6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah,berupa ruang kuliah,ruang dosen tempat diskusi, dan lain-lain.
7. Tempat pelayanan administrasi kampus. Bagaimanapun kampus perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat,tepat ,dan santun. Dalam melayani siapa saja,entah dosen,karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip bangunan akhlakul karimah.
8. Pusat pengembangan seni dan olahraga. Kedua aspek ini perlu dikembanmgkan untuk mengembangkan watak strategis yang harus dimilikioleh setiap calon pemimpin,yaitu watak halus dan kasar tetapi spotif. Watak halus biasanya dikembamngkan lewat aktivitas seni, sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya dikembangkan melalui olah rasa. UIN Malang yang bermaksud mengembangkan calon pemimpin masa depan ya ng tangguh memerlukan wahana pelatihan olahraga dan seni.
9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian besar perguruan tinggi Iuslam adalah dalam hal pengembangan pendanaan.Akibatnya, mereka tidak mampu membangun performance kampus yang gagah dan bersih, memberikan imbalan tenaga pengajar yang cukup,merumuskan program peningkatan kualitas serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Saya berimajinasi bahwa UIN Malang sebagai penyandang nama”Islam”, kampusnya harus tampak gagah,bersih,tertib,disiplin;orang-orangnya jujur, sabar, tawakal dan istiqomah, dan semua pekerjaan dilakukan berdasarkan semangat kebersamaan dan dalam suasana kasih sayang, keikhlasan, tanggung jawab,senantiasa mengharapkan bimbingan dan petunjuk Yang Maha Kuasa, serta memiliki kesdaran sejarah yang tinggi. Atas dasar semangata seperti itu, maka kampus ini menjadi produktif, mampu menghasilkan karya-karya unggulan berupa penulisan buku, laporan penelitian, dan pemikiran-pemikiranyang diekspresikan pada berbagai media cetak yang telah disiapkan di dalam kampus maupun media di luar kampus. Keunggulan-keunggulan seperti itu secara langsung telah mendongk citra dan reputasi UIN Malang. UIN Malang terkesan bwerwibawa di tengah-tengah masyarakat perguruan tinggi pada umunya. Selain itu kampus ini dihuni orang –orang yang berakhlak mulia, mencintai, dan mernghargai serta mengembangkan ilmu pengetahuan, dosen mencintai mahasiswanya, dan demikian sebaliknya, para mahasiswa menghormati dosen-dosen mereka karena kapasitas akhlak, cinta, dam kedalaman ilmunya.
Performa fisik kampus UIN Malang harus senantiasa tampak bersih, taman dan rumputnyaditata rapi,tidak boros, lingkungannya dijaga baik, tenaga pengajar dan karyawannya selalu bahagia karena kebutuhan hidupnya tercukupi, karena itu mereka bangga akan statusnya sebagai warga UIN Malang. Kehidupan masyarakat kampus seperti digambarkan di atas yang dapat saya sebut sebagai perguruan tinggi Islam

3.2 . UIN Sunan Gunung Jati Bandung
Agama dapat memberikan makna pada ilmu pengetahuan yang tidak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan penggunaan cara berfikir dan cara bekerja yang lazim dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan, pada umumnya masih menuntut penafsiran yang lebih mutakhir dan menyeluruh, yang hanya dapat diberikan oleh ajaran agama yang bersangkutan, buat umat Islam tentu saja ajaran agama Islam. Ini berarti, bahwa para ahli agama diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengaitkan beraneka ragam pengetahuan yang pada hakekatnya bersifat sekuler dengan acuan yang terwujud sebagai ajaran agama.
Bukan pula berarti bahwa ilmu pengetahuan harus diganti dengan ajaran agama. Pengetahuan kedokteran seperti juga pengetahuan fisika, biologi, kimia, ilmu ekonomi, dan sosiologi, adalah pengetahuan ilmiah yang harus dipelajari, dipelihara, diajarkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan dengan ketekunan dan kerja keras, apapun agama atau ideologi yang dianut oleh masing-masing ahli. Semestinya tidak ada kedokteran Islam, atau Fisika Islam, sosiologi Islam. Akan tetapi, para tenaga ahli masing-masing bidang pengetahuan keahlian memerlukan sudut penglihatan, perspektif, yang memberikan pandangan yang lebih luas dan makna yang lebih dalam daripada yang diberikan oleh pengetahuan keahlian yang bersangkutan. Agamalah yang dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas dan makna yang lebih mendalam ini melalui para ahlinya.
Dalam masyarakat modern, semakin banyak jenis pekerjaan yang dituntut diselenggarakan oleh tenaga ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Juga dalam bidang agama, semakin banyak jenis pekerjaan yang dahulu tidak menuntut pengetahuan keahlian tertentu, menuntut agar tenaga-tenaga penyelenggara jenis pekerjaan yang bersangkutan memiliki pengetahuan keahlian tertentu yang biasanya diperoleh dari perguruan tinggi.
Pengetahuan keahlian dalam bidang-bidang pengetahuan keahlian tidak dapat berkembang bilamana tidak diselenggarakan kegiatan-kegiatan penelitian yang senantiasa menghasilkan pengetahuan baru. Kegiatan penelitian, biasanya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang memang mempunyai kegemaran dan kemampuan untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian.
Sesungguhnya kemampuan untuk menyelenggarakan penelitian, harus di miliki oleh setiap dosen IAIN, paling sedikit kemampuan untuk menyelenggara kan kegiatan penelitian perorangan buat terus menerus mengembangkan berbagai mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengetahuan baru yang terkembangkan, biasanya merupakan sumbangan pada perkembangan bidang pengetahuan keahlian khusus yang bersangkutan, sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dan bahkan, dengan perantaraan berbagai bentuk dan cara penyajian, menjadi bagian dari pemikiran keagamaan dari umat Islam. Penyebar luasan hasil pengkajian atau hasil penelitian, sebagaimana biasa, harus dapat diterbitkan oleh IAIN sendiri, penerbit lain, ataupun disiarkan melalui media massa.
Di zaman klasik Islam juga tidak terdapat dualisme dalam sistem pendidikan, seperti sekarang. Di waktu itu tidak ada sekolah hanya memberikan pelajaran dalam ilmu umum dan pula tidak ada madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Universitas-universitas, kurikulumnya mencakup ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Ulama-ulama modern mendirikan sekolah-sekolah modern tersendiri yang mengajarkan pemikiran rasional, sains dan teknologi Barat. Dari zaman itu mulailah timbul dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum sebagaimana Untuk menghadapi era kemajuan sains dan teknologi serta globalisasi sekarang, civitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung sejak lama mengapresiasi untuk mempelajari masalah pengembangan IAIN dari institut menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum.
Untuk mengetahui mengapa peningkatan IAIN yaitu Institut Agama Islam Negeri menjadi UIN yaitu Universitas Islam Negeri perlu diadakan, tampaknya perlu melihat dahulu perkembangan pendidikan dan ilmu dalam sejarah Islam.
Islam mempertemukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan Hadis dengan akal yang tinggi dalam peradaban Yunani. Pertemuan ini menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah dikalangan ulama Islam, dan berkembanglah falsafat dan sains yang menimbulkan peradaban Islam yang tinggi.
Pemikiran rasional itu bukan falsafat dan sains, yang sekuler, tetapi sains dan falsafat yang terikat pada ajaran-ajaran Islam. Maka hukum yang mengatur peredaran alam ini tidak disebut para saintis Islam itu hukum alam (sunatullah) sesuai yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam konteks historis, yang dikembangkan pemikiran rasional bukan hanya falsafat dan sains tetapi juga ilmu agama, sehingga berkembang dengan pesat.
Dari kenyataan di atas dapat dilihat bahwa tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum seperti halnya sekarang. Keduanya menjadi satu dan keduanya diajarkan kepada anak didik. Maka pendidikan zaman klasik menghasilkan ulama-ulama agama yang tidak asing baginya ilmu-ilmu umum dan ulama dalam ilmu umum yang tidak asing baginya ilmu-ilmu agama. juga mulai timbul dualisme dalam pendidikan. Ilmu Umum terpisah dari ilmu agama dan sekolah umum terpisah dari madrasah, Sekolah umum dikelola oleh pemerintah di dunia Islam pada umumnya dan madrasah dikelola oleh lembaga-lembaga swasta.
Sebagai akibatnya timbullah di abad XIX dan XX dua kelompok terpelajar diseluruh dunia Islam. Sekolah-sekolah umum menghasilkan intelektual umum yang dipengaruhi oleh pemikiran sains dan teknologi Barat yang sekuler dan dalam pada itu sedikit sekali pendidikan agama mereka.
Kalau sekolah-sekolah umum menghasilkan kaum intelektual yang sekularis dan jauh dari agama, madrasah-madrasah menghasilkan golongan ulama yang tradisional pemikirannya dan banyak terikat pada ajaran-ajaran agama masa lampau. Dalam pada itu ulama-ulama tradisional ini jauh dari ilmu pengetahuan dan kemajuan modern.
Di Indonesia di masa yang akhir ini telah terdapat perubahan dalam hal ini. Kaum intelektual umum sudah mulai memperhatikan agama berkat organisasi-organisasi mahasiswa Islam, juga kaum ulama sudah mulai memperhatikan IPTEK, Sekolah Umum telah masuk ke pesantren.
Inilah masalah dunia Islam yang dibawa oleh dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan Islam. Kaum terpelajar Islam dewasa ini terpecah dua yang kurang serasi hubungannya dan bukan lagi satu sebagai halnya dengan ulama Islam di zaman klasik.
Karena adanya dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan, sistem pendidikan di dunia Islam tidak sanggup menghasilkan ulama agama yang tidak asing baginya ilmu agama, dan ulama yang sekaligus menguasai ilmu agama, sains dan filsafat, sebagai mana halnya dengan pendidikan zaman klasik yang tak kenal dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan. Jelas bahwa dikhotomisme antara ilmu agama dan ilmu umum dan dualisme pendidikan madrasah dan pendidikan sekolah harus dihapuskan dan diganti oleh kesatuan ilmu dan kesatuan pendidikan.
Berbeda dari perguruan tinggi umum (PTU) yang cenderung mendalami ilmu-ilmu umum, UIN SGD Bandung nantinya mengemban dua misi sekaligus. la menjadi lembaga tempat berkembangnya ilmu-ilmu agama, sekaligus ilmu-ilmu umum. Tanggung jawab ganda ini berimplikasi pada cara pengembangan yang berbeda. Hal itu berdasarkan Firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang artinya;
… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah, : 11).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Al-Imran, : 190)
Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya. (Q.S. Al-Hujurat, : 61)
Karakteristik ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum sebenarnya bagaikan dua sisi uang yang berbeda, namun tidak terpisahkan. Dalam sejarah keilmuan, ilmu-ilmu umum berkembang pesat dalam sebuah tradisi yang disebut intellectus quaerens fidem, yakni suatu tradisi pembuktian ayat-ayat Kauniyah yang menyandarkan pada obyektivitas dan kebenaran ilmiah. Sedangkan ilmu-ilmu keislaman telah meluaskan cakupannya dalam tradisi sejarah ilmu yang disebut fides quarerens intellectum, yakni perkembangan ilmu yang menyandarkan pada kebenaran akhir (ultimate truth) yang dipesankan melalui ayat-ayat Qur’aniyah. Di bawah ini wujud integrasi ilmu UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagaimana disimbolkan dalam gambar roda berputar dunia bergulir.
Dasar pembidangan ilmu yang dikembangkan oleh UIN SGD Bandung berorientasi pada usaha memadukan : pertama, hubungan organis semua disiplin ilmu pada suatu landasan keislaman; kedua, hubungan yang integral di antara semua disiplin ilmu; ketiga, saling keterkaitan semua disiplin ilmu untuk mencapai tujuan umum pendidikan nasional; keempat, keutamaan pengetahuan yang disampaikan melalui wahyu yang menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan; kelima, kesatuan antara pengetahuan yang dicapai, yang diproses dan yang dikembangkan secara ilmiah akademis; keenam, pengintegrasian wawasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam spesialisasi dan disiplin ilmu yang memberikan dasar bagi seluruh disiplin akademis. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama yang merupakan tiga komponen utama dari peneguhan iman, ilmu, dan amal sholeh.
UIN SGD Bandung mengakui adanya dua karakteristik ilmu yang lahir dalam tradisi yang berbeda. Pembedaan karakteristik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam bukan menjadi tujuan akhir dari perumusan filosofi ilmu-ilmu UIN SGD Bandung. Pembedaan ilmu hanyalah sebuah cara untuk menghargai keunikan ilmu pada wilayah kajian masing­-masing.
Paradigma keilmuan UIN SGD Bandung yang utuh itu dibingkai dalam metapora sebuah roda. Roda adalah simbol dinamika dunia ilmu yang selalu berputar pada porosnya dan berjalan melewati relung permukaan bumi. Roda adalah bagian yang esensial dari sebuah makna kekuatan yang berfungsi penopang beban dari suatu kendaraan yang bergerak dinamis.
Fungsi roda dalam sebuah kendaraan ini diibaratkan fungsi UIN Bandung pada masa mendatang yang mampu menopang berbagai perkembangan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus dipikul. Kekuatan UIN Bandung dalam menopang semua bidang kehidupan itu tentu tidak statis. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kemajuan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa bergerak lebih maju, menyentuh realitas yang diinginkann dan selalu menampilkan identitas keislamannya.
Paradigma keilmuan UIN Bandung dengan simbol roda berputar dunia bergulir tersebut, menjadi pendorong bagi pengembangan IAIN menjadi UIN, dari institut yang mengasuh hanya ilmu agama menjadi universitas yang mengajarkan di samping ilmu-ilmu agama juga ilmu-ilmu umum. Maka yang terdapat di UIN nanti bukan hanya program studi agama dari Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab, tetapi juga program studi umum seperti Sosiologi, Teknologi, Ekonomi, Pertanian, MIPA, Psikologi, dan sebagainya.
Dalam UIN yang mencakup program studi agama dan umum, mahasiswa dengan pergaulannya sesama mahasiswa akan terbiasa dengan kedua macam ilmu. Bahkan akan terjadi mahasiswa agama akan mengambil ilmu umum tertentu di Program Studi umum dan sebaliknya mahasiswa umum akan mengambil ilmu agama tertentu di Program Studi agama. Lebih dari itu akan terjadi mahasiswa mengambil kesarjanaan di Fakultas umum dan kemudian kesarjanaan lagi di Fakultas agama atau sebaliknya.
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung selama ini telah mengembangkan beberapa jurusan dan program studi sebagai upaya memadukan kajian ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’aniyah. Selain mengembangkan kajian Islam yang dijadikan sebagai dasar yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa, lembaga pendidikan tinggi ini membuka jurusan-jurusan: Psikologi, Ekonomi, Bahasa, Hukum, MIPA, dan Ilmu Pendidikan. Pemikiran itu didasari oleh keyakinan, bahwa model seperti ini akan mampu mengantarkan para mahasiswanya memiliki pengetahuan, kepribadian dan wawasan yang lebih utuh, dengan kata lain para mahasiswa akan memiliki kemampuan IMTAK (Iman dan Takwa) dan sekaligus penguasaan IPTEKS (Ilmu, Teknologi dan Sains).
Sesuai dengan pemikiran yang melatarbelakangi pengembangan Perguruan Tinggi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung telah menyusun “Rencana Strategis Pengembangan”. Berkaitan dengan itu IAIN Sunan Gunung Djati Bandung diproyeksikan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Kini rencana tersebut telah memperoleh momentum yang sangat menguntungkan dengan munculnya tenaga baru, bahwa agama (baca: Islam) telah menjadi bagian penting dalam membangun masyarakat, dan bahkan semakin diyakini secara luas bahwa Islam (agama) tidak dapat diabaikan dalam kehidupan modern, termasuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, iklim keterbukaan di hampir segala bidang saat ini memberikan optimisme baru bagi seluruh anggota sivitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk mengantarkan lembaga ini menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Dengan landasan tersebut UIN SGD Bandung nantinya diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan-tantangan zaman. Ia hendaklah dapat memberikan warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat secara keseluruhan. Semua ini dapat disebut sebagai ekspektasi sosial kepada UIN. Pada saat yang sama UIN juga diharapkan mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan UIN. Inilah ekspektasi akademis kepada UIN. Dengan demikian, UIN Sunan Gunung Djati Bandung memikul dua harapan, yaitu sosial expectations dan academic expectations.

3.3 Sejarah Dan Perkembangan IAIN Sunan Kalijaga.
Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi kedalam beberapa periode yaitu ;
Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu :
Pertama, periode rintisan ( tahun 1951-1960 ). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga ditandai dengan pengubahan Fakultas Agama UII menjadi PTAIN sampai penggabungan PTAIN dengan ADIA ( Akedemi Dinas Ilmu Agama ). Jumlah Fakultas yang ada pada periode ini hanya tiga, yaitu : Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Tarbiyah. PTAIN ini dipimpin secara berturut – turut oleh K.H.R. Moh. Adnan (1951–1959) dan kemudian Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (1959-1960).
Kedua, periode pembangunan landasan kelembagaan (tahun 1960-1972). IAIN pada periode ini dipimin oleh Prof. RHA. Soenarjo SH dan ditandai dengan pemindahan kamus lama ( di jalan Simanjuntak yang sekarang menjadi gedung MAN 1 Yogyakarta ) ke kampus baru yang jauh lebih luas ( di jalan Adi Sucipto Yogyakarta ). Sejumlah gedung dan Fakultas di bangun dan di tengah –tengahnya dibangun sebuah masjid yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Sistem pendidikan yang berlaku pada periode ini masih bersifat bebas karena mahasiswa diberi kesempatan untuk maju ujian setelah mereka benar benar menyiapkan diri. Sementara itu materi kurikulumnya masih mengacu pada kurikulum Timur Tengah, yang juga dikembangkan pada masa PTAIN.
Ketiga, periode pembangunan landasan akademik (tahun 1972-1996). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga dipimpin secara berturut – turut oleh Rektor Kolonel Drs. H. Bakri Syahid (Tahun 1972-1976); Prof. H. Zaini Dahlan, MA. (Tahun 1976-1980 dan 1980-1983); Prof. Drs. Mu’in Umar (Tahun 1983-1992) dan Prof. Dr. H. Simuh (Tahun 1992-1996). Periode ini ditandai dengan lanjutan pembangunan sarana fisik kampus, pembangunan Fakultas Dakwah, gedung perpustakaan, gedung Pascasarjana dan gedung Rektorat. System pendidikan yang digunakan pada periode ketiga ini mulai bergeser dari system Liberal kepada system terpimin dengan mengintrodusir system semester semu dan akhirnya system kredit system semester murni. Dari segi kurikulum, IAIN Sunan Kalijaga telah mengalami penyesuaian yang radikal, sesuai dengan kebutuhan Nasional Bangsa Indonesia. Jumlah Fakultas berubah menjadi lima buah, yaitu : Fakultas Adab, Fakultas Dakwah, Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Program Pascasarjana dibuka pada periode ini, tepatnya pada tahun ajaran 1983-1984. Sebelumnya program ini adalah PGC (Post Graduate Course) dan SPS ( Studi Purna Sarjana ) yang tidak memberikan gelar. Pembukaan Program Pascasarjana ini telah mengukuhkan status IAIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang sebagai lembaga Dakwah.
Keempat, periode pemantapan orientasi akademik dan manajemen (Tahun 1997-2001). Periode ini dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Atho’ Mudzhar sebagai Rektor dan ditandai dengan upaya melanjutkan pembangunan mutu ilmiah IAIN Sunan Kalijaga, khususnya mutu dosen dan mutu para alumni. Pada dosen dalam jumlah yang besar diberi kesempatan dan didorong untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana, baik untuk tingkat magister (S2) maupun Doktor (S3) dalam bidang keilmuan keislaman maupun ilmu – ilmu yang terkait, baik di program pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga sendiri maupun di perguruan tinggi lain, di dalam maupun di luar negeri. Demikian pula peningkatan mutu sumber daya manusia bagi tenaga administrasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan pelayanan administrasi akademik.
Kelima, masa pengembangan IAIN. Pada masa ini dimulai tahun 2002 ampai sekarang dibawah kepemiminan Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah. Dengan seiring semakin besarnya tantangan di masa depan dan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap lembaga IAIN, maka IAIN merasa tertantang untuk mengembangkan secara instutional dalam format yang lebih jelas, yakni berubah menjadi Universitas. Namun, sebelum perubahan tersebut dilakukan, IAIN juga melakukan pengembangan dengan konsep “IAIN with wider mandate” (IAIN dengan mandate yang lebih luas). Dengan konsep ini, IAIN telah dan akan mengembangkan jurusan/program studi bidang ilmu - ilmu sosial dan ilmu - ilmu eksakta yang dalam tahapan selanjutnya akan di Up-grade menjadi Fakultas-fakultas, jurusan-jurusan, dan program-program studi.
Adapun kebijakan kearah pengembangan perguruan tinggi dewasa ini bertumpu pada paradigma baru yaitu bertumpu pada tiga pilar utama; kemandirian (autonomy), akuntabilitas (accountability) dan jaminan mutu (Quality Assurance). Berdasarkan hal tersebut IAIN bekerja keras melakukan banyak hal :
1. Integrasi epistemology keilmuan sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu – ilmu agama.
2. Memberikan landasan moral bagi pengembangan IPTEK dan melakukan pencerahan dalam pembinaan IMTAQ sehingga IPTEM dan IMTAQ dapat sejalan.
3. Mengartikulasikan Ajaran Islam secara professional ke dalam konteks kehidupan masyarakat sehingga tidak ada lagi jarak antara norma agama dan sofistifikasi masyarakat.
4. Mengembangkan riset dan penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif sehingga tidak ada kesan deduktifikasi ilmu – ilmu keislaman. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pola pengabdian yang professional.
5. Memberikan landasan moral dan spiritual terhadap pem,bangunan nasional sehingga konsep pembangunan manusia seutuhnya dapat tercaai.
6. Melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas dalam berbagai segi baik kelembagaan, akademis, amangerial, dan fisik.

C. Kesimpulan Dan Saran
1. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Perubahan perguruan tinggi IAIN / STAIN menjadi UIN membuka peluang dan harapan baru.
2. Integrasi kurikulum Agama dan Sain Teknologi merupakan tuntutan zaman dan merupakan perkembangan pemikiran paradigma.
3. Anehnya mengapa tidak diintegrasi dari TK, SD sampai SMA tidak terintegrasi bahkan waktu untuk agama hanya 2 jam pelajaran.
4. Kena apa yang dikaji hanya IAIN saja, sementara banyak perguruan swasta yang bernafaskan Islam seperti Universitas Muhammadiyah, STAINU, dll mestinya ikut terintegrasi.
Sebagai saran ilmu ke Islaman disitu tetap harus diutamakan, yang perlu digali mampukah bersaing dengan universitas lain? Tentunya dengan kesungguhan yang dilandasi dengan perjuangan. Dan semua jenjang pendidikan harus diikuti terintegratet.




DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar Jogjakarta.
2. Prof. Dr. Imam Suprauogo, Makalah Seminar Nasional.
3. Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu Agama. Interpretasi dan Aksi, Mizan Pustaka. Bandung
4. Integrated University, Infoemation System UIN Sunan Kalijaga 2005
5. Sumber Biro Humas UIN Sunan Kalijaga
6. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165
7. www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/03x1.htm-16k-Cached-more from this-site save




































A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Cara memandang ilmu pengetahuan vis a vis agama secara dikotomik sudah sejak lama ditinggalkan orang. Bahkan dalam sejarah pemikiran Islam, jalan pikiran seperti itu ditengarai menjadi sebab terjadinya kemunduran umat Islam sejak abad 12 yang lalu. Orang Islam yang mempersepsi bahwa ajaran Islam hanyalah mencakup fiqih, tauhid, akhlaq-tasawuf, tarikh dan sejenisnya, disadari atau tidak telah menjadikan umat Islam tertinggal dari komonitas lainnya.(Prof.Dr.Imam Suprayogo) Kemajuan peradaban umat manusia, sekalipun hal itu penting, bukanlah dihasilkan oleh kemajuan ilmu agama, melainkan oleh teknologi, kedokteran, perbankan, geologi, astronomi, fisika-kimia, manajemen dan seterusnya. Setidak-tidaknya, sumbangan ilmu fiqih, tauhid dan akhlaq dalam membangun peradaban dunia, sekalipun ada, tidak sebesar yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melihat dan menyadari kenyataan itu, tidak lantas kemudian para pemikir Islam menafikan peran dan fungsi ajaran Islam. Ajaran Islam yang bersumber al qur’an dan al hadits tetap diyakini kebenarannya. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia juga dipandang memiliki kekuatan dalam memajukan peradaban ini. Bertolak dari penglihatan seperti itu, muncul pertanyaan: “Adakah yang salah dari cara memandang agama pada satu sisi dan ilmu pengetahuan modern pada sisi lainnya”?
Komitmen yang mendasari perubahan IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah integrasi keilmuan agama dan umum. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dewasa ini upaya untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum terus bergulir tiada henti. Munculnya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan telah mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan sosial, agamawan, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Konsep yang pertama kali digulirkan oleh Al-Faruqi dimaksudkan sebagai “filter” terutama terhadap “ilmu-ilmu produk barat” yang melenceng jauh dari norma-norma Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Al Faruqi (1982) dalam Islamic of Knowledge, ada beberapa kerangka kerja yang digunakan untuk merumuskan praktek Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu ;
1). Penguasaan disiplin ilmu modern.
2). Penguasaan akidah dan nilai-nilai Islam
3). Penentuan relevansi antara akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4). Pencarian sintesa kreatif antara unsur-unsur akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
5). Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.

2. Rumusan Masalah.
Untuk lebih memfokuskan paparan permasalahan pada makalah ini penulis membatasi pada rumusan masalah sebagai berikut;
Mengapa IAIN/STAIN harus berubah menjadi UIN, dan bagaimana integrasi kurikulumnya ?.
Sejauh mana IAIN/STAIN dalam mensikapi perubahan tersebut?

3. Metodologi
Makalah ini disusun menggunakan metode telaah pustaka, dengan cara mengutip pendapat dari tulisan yang telah dibaca, kemudian ditelaah dan dianalisis sesuai dengan kemampuan penulis.
Untuk pengumpulan data pada makalah ini digunakan metode pengumpulan data literer, yakni dengan terlebih dahulu menelusuri buku – buku yang ada relevansinya dengan masalah – masalah yang dibahas dan melalui jaringan internet untuk dikaji guna mencari landasan upaya pemecahan persoalan.





B. PEMBAHASAN MASALAH

1. Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN.
Sebuah pertanyaan yang sangat amat sederhana tetapi membutuhkan jawaban yang sangat cerdas. Mengapa STAIN/IAIN harus berubah menjadi UIN?.
Status sebagai STAIN hanya memungkinkan lembaga ini menangani dan menekuni satu bidang keilmuan saja, seperti tarbiyah saja, atau syariah saja; sedangkan status IAIN memberikan ruang yang lebih besar, yakni menangani bidang-bidang keilmuan yang beragam, namun keragaman bidang kajian itu hanyalah dalam lingkup kajian Islam. Sehingga baik dalam status STAIN maupun IAIN, secara konseptual semua itu tidak relevan dengan keyakinan dasar Islam yang menyatakan sebagai agama universal. Konsep Islam Universal dalam wadah Universitas Islam Negeri (UIN) mewujudkan integrasi dan sintesis ilmu-ilmu keislaman (agama) dengan ilmu-ilmu umum (sains) dalam sebuah bangunan peradaban Islam. Dalam hal ini, ilmu-ilmu keislaman, seperti tarbiyah, ushuluddin, syariah, dakwah, adab, dan lainnya, diperankan sebagai basis keilmuan. Pada basis keilmuan ini, Wahyu al-Qur’an dan al-Hadits-yang melahirkan ilmu-ilmu keislaman-diletakkan berdampingan dengan akal, observasi, dan eksperimentasi yang melahirkan ilmu-ilmu alamiah, atau ilmu-ilmu umum. Dua sisi basis keilmuan ini diperankan dan diaktifkan secara serempak untuk melahirkan bidang-bidang keilmuan alam, sosial, dan humaniora. Dari tiga bidang keilmuan ini akan lahir berbagai disiplin ilmu yang mencerminkan kesemestaan Islam. Dari bidang ilmu alam akan lahir ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu alamiah lainnya; dari bidang sosial akan lahir ilmu psikologi, Sosiologi, Sejarah, Hukum, Manajemen, dan lain-lain; sedangkan dari bidang Humaniora akan lahir ilmu-ilmu filsafat, seni, bahasa, sastra, dan lain-lain. Semua bidang dan disiplin keilmuan ini akan menjadi bagian integral dari proses pendidikan Islam ketika IAIN/STAIN sudah berubah menjadi UIN. (Hady, 2004:5-6).
Meskipun berubahnya sebagian IAIN/STAIN menjadi UIN secara legal-formal sudah terwujud dengan turunnya SK Presiden, masing-masing IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN Sultan Syarif Qasim Riau. Salah satu perubahan yang paling tampak dari pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN adalah penambahan fakultas serta perluasan disiplin dan bidang kajian. Fakultas yang sebelumnya hanya terkait dengan disiplin keilmuan dasar Islam, seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, Dakwah, dan Adab kemudian ditambah dengan beberapa fakultas yang mengkaji disiplin keilmuan yang tidak berkaitan langsung dengan disiplin dasar Islam, seperti Sains dan Teknologi, Ekonomi, Psikologi, Humaniora dan Budaya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwasannya dalam konteks UIN tidak membedakan adanya fakultas agama dan fakultas umum. Dalam hal ini akan dibuktikan pada struktur keilmuan yang dikembangkan di UIN tersebut, yakni semua mahasiswa-baik jurusan agama maupun jurusan umum-akan mendapatkan Mata Kuliah Ciri Khusus (MKCK) UIN meliputi Studi al-Qur’an, Studi Hadits, Studi Fiqh, Tasawuf, Teologi, Bahasa Arab dan lain-lain. Sehingga diharapkan output/ lulusan UIN akan menyandang gelar “Ulama yang Intelek Professional dan Intelek Profesional yang Ulama” Dalam pengamatan penulis, satu hal yang masih membutuhkan kerja keras kita dalam rangka benar-benar mewujudkan gerakan Islamisasi ilmu Pengetahuan, yaitu Kurikulum yang dikembangkan di UIN harus berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan di PT umum atau PT Islam yang telah lama berkembang. Berkaitan hal ini, penulis setuju dengan konsep yang dibangun ketika IAIN/STAIN berubah menjadi UIN, yakni UIN merupakan Perguruan Tinggi yang berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum dan bahkan berbeda dengan Perguruan Tinggi Islam yang telah ada sekarang. Kalau kita melihat perbedaan dengan Perguruan Tinggi Umum memang sudah nampak kelihatan, tetapi bagaimana perbedaan dengan Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama berkembang. UIN haruslah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan Perguruan Tinggi Umum. Bahkan juga tidak harus sama dengan Universitas Islam sejenis yang sudah lama berkembang. Dengan hadirnya UIN harus dapat memberikan banyak peran dan inovasi baru yang dapat ditawarkan. Atau dengan kata lain kehadiran UIN harus berani tampil beda dibandingkan dengan universitas lain yang selama ini masih dalam kompetensi institusi keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik dan moral. Berani tampil beda merupakan tantangan, sekaligus merupakan kesempatan mencari peluang-peluang baru sehingga peran-peran yang dimainkan akan terasa baru yang selama ini belum tergarap secara maksimal oleh perguruan Tinggi yang sudah ada. Kurikulum yang dikembangkan selama ini di PT Islam masih diwarnai dengan adanya dikotomisasi ilmu, hal ini dibuktikan masing-masing keilmuan (baca; mata kuliah) masih berdiri sendiri-sendiri. Harapan dengan lahirnya UIN adalah dalam kurikulum tidak ada lagi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, UIN harus mampu mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam setiap mata kuliah yang menjadi lahan garapannya, UIN harus mampu mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Dengan hadirnya UIN, sebagaimana yang dikatakan Zainuddin (2004:17) maka diharapkan dapat mencetak sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yakni keunggulan di bidang Sains dan Teknologi sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman. Misalkan di Fakultas Sains dan Teknologi mahasiswa diberikan mata kuliah Studi al-Qur’an, maka seharusnya materi yang diberikan tentu akan berbeda dengan materi yang diberikan pada mahasiswa Fakultas Syariah. Mata kuliah studi al-Qur’an bagi mahasiswa Sains dan Teknologi harus digunakan sebagai landasan/pijakan dalam rangka menggali ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam raya. Atau dengan kata lain materi yang diberikan kepada mahasiswa Sains dan teknologi adalah berkutat pada ayat-ayat tentang kekuasaan Tuhan, proses penciptaan manusia, kesehatan, reproduksi, lingkungan dan lainnya meskipun tidak mengesampingkan materi dasar tentang ketauhidan/keislaman. Di Fakultas Ekonomi materi al-Qur’an yang diberikan juga harus bersentuhan berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti: jual beli, riba, manajeman, dan lainnya. Begitu juga di Fakultas Psikologi harus benar-benar berbeda dengan kurikulum di Fakultas Psikologi PT Umum/PT Islam yang sudah berkembang lebih dulu. Bahkan boleh jadi kurikulum UIN Jakarta akan berbeda dengan kurikulum yang diterapkan di UIN Malang atau UIN Yogyakarta, begitu sebaliknya. Sehingga kurikulum yang ada benar-benar terintegrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dan yang lebih penting adalah kurikulum yang digunakan harus mampu menjawab pelbagai problem yang muncul di masyarakat. (www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125)

2. Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kehawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru
Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagai mana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin?. Mengapa harus berubah menjadi “Universitas” ? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang disandangnya selama 53 tahun (1951-2004)? Akankah struktur keilmuan , kurikulum dan silabinya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan? Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur struktur mata kuliah, kurikulum dan silabi pada prodi-prodi umum di UIN dan Universitas Umum yang lain? Bagai mana pola pembinaan dan Pengembangan dan Pengembangan minat dan bakat, ketrampilan dan kepribadian mahasiswa? Dan berbagai pertanyaan yang lain?
Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul, Pertama, yang harus digaris bawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, namun tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan penegasan itu, maka sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Isam masih tetap menjadi tugas utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh Winder mandate-nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik okus penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang adapada universitas.
Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini ( fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin), dari semula berdiri memanag telah dengan sengaja dibina, dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Sampai sekarang, masing-masing fakultas telah mempunyai sejumlah tenaga pengajar yang cukup kuat, dan dosen-dosen tetap bergelar magister dan doctor cukup memadahi. Usaha untuk mengembangkan tenaga pengajar yang sudah ada tetap berlangsung hinga sekarang baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarangtidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemology baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana sini, sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.
Ketiga, dalam rancang bangunfakultas yang berada dibawah UIN akan mengalami perubahan sesuai dengan prinsip dasar “Miskin struktur, kaya fungsi” seperti yang diminta oleh Kementrian Pndidikan Nasional saat meng-verifikasi prodi-prodi umum yang diusulkan untuk dibuka di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 Desember 2003 dan deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) saat melakukan rapat interdepartemental untuk membahas draft rancangan Keputusan Presiden pada tanggal 11 Maret 2004. Dalam diskusi forum think tank IAIN yang melibatkan seluruh pimpinan fakultas dan institut dan para pakar di IAIN sampai pada kesimpulan bahwa untuk memperkuat fakultas yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada fakultas – fakultas yang ada sekarang ini. Untuk sementara,fakultas-fakultas yang ada sekarang aklan berubah nama sebagai berikut:Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin, Sains dan Tehnologi serta Sosial dan Humaniora. Nama 5 Fakultas yang lama masih sama seperti ketika masih berada di IAIN, tetapi berbeda dari segi muatan metode, pendekatan serta sistem pembelajaran.
Keempat, berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika Sekolah Tinggi hanya menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah, maka perjalanan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) yang membuka lebih dari satu bidang ilmu sebenarnya menyalahi aturan dan nomenklatur yang biasa dikenal di lingkungan pendidkan tinggi. Sedang Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu (seperti yang ada pada IAIN sekarang, yaitu keilmuan Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin). Adapun Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial maupun humaniora.
Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daipada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupuin luar negeri menjadai terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat. Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah peneilitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.


3. Beberapa Perguruan Tinggi STAIN/IAIN dalam mensikapi perubahan menjadi UIN.
3.1. Idealisme UIN Malang ke Depan
Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Malang bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata, melainkan yang justru lebih diutamakan adalah tataran perilaku warga kampus. Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika UIN Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam pengabdian dan pergaulannya ditengah-tengah masyarakat. Islam membimbing mahluk manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh (kaffah),lahir dan bathin, keselamatan dunia dan akhirat,meliputi pengembanagan aspek spiritual,akidah,akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian,kasih sayang,keindahan dan kebersihan,hemat dan tidak boros,dapat dipercaya atau amanah dan istiqomah.Pilar-pilar itu disebut sebagai arkan al-jami’ah (rukun perguruan tinggi)yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu:
1. Tenaga dosen, yakni dosen yang mumpuni, baik dari sisi akhlak,spiritual,latar belakang pendidikan,jabatan akademik, dan kualitas serta kuantitas produktivitasnya.
2. Masjid,masjid dimaknai sebagai wahana pengembanaganspiritual, tempat berupaya bagi siapa saja termasuk warga kampus untuk mendekatkan diri pada Allah secara berjamaah.Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbol kekayaan spiritual umat islam yang kering makana karena tempat ibadah itu kurang maksimal dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan spiritual,maupun intelektual.
3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kukuh. Kultur yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa islami. Bentuk konkretnya adalah kebiasaan melakukakn shalat berjamaah, tadarus Al-Quran,shalat malam,menghargai waktu,disiplin, menghormati sesama kolega, menghargai ilmu sampai pada karakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan manajemen modern ebagai produk ilmu pengetahuan.
4. Perpustakaan.UIN Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan yang unggul,baik dari sisi koleksi maupun pelayanan.
5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam,UIN Malang menyadari betapa kitab suci Al-Quran dan hadist nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh melalui observasi,ksperimen maupun olah akal yang cerdas.
6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah,berupa ruang kuliah,ruang dosen tempat diskusi, dan lain-lain.
7. Tempat pelayanan administrasi kampus. Bagaimanapun kampus perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat,tepat ,dan santun. Dalam melayani siapa saja,entah dosen,karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip bangunan akhlakul karimah.
8. Pusat pengembangan seni dan olahraga. Kedua aspek ini perlu dikembanmgkan untuk mengembangkan watak strategis yang harus dimilikioleh setiap calon pemimpin,yaitu watak halus dan kasar tetapi spotif. Watak halus biasanya dikembamngkan lewat aktivitas seni, sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya dikembangkan melalui olah rasa. UIN Malang yang bermaksud mengembangkan calon pemimpin masa depan ya ng tangguh memerlukan wahana pelatihan olahraga dan seni.
9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian besar perguruan tinggi Iuslam adalah dalam hal pengembangan pendanaan.Akibatnya, mereka tidak mampu membangun performance kampus yang gagah dan bersih, memberikan imbalan tenaga pengajar yang cukup,merumuskan program peningkatan kualitas serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Saya berimajinasi bahwa UIN Malang sebagai penyandang nama”Islam”, kampusnya harus tampak gagah,bersih,tertib,disiplin;orang-orangnya jujur, sabar, tawakal dan istiqomah, dan semua pekerjaan dilakukan berdasarkan semangat kebersamaan dan dalam suasana kasih sayang, keikhlasan, tanggung jawab,senantiasa mengharapkan bimbingan dan petunjuk Yang Maha Kuasa, serta memiliki kesdaran sejarah yang tinggi. Atas dasar semangata seperti itu, maka kampus ini menjadi produktif, mampu menghasilkan karya-karya unggulan berupa penulisan buku, laporan penelitian, dan pemikiran-pemikiranyang diekspresikan pada berbagai media cetak yang telah disiapkan di dalam kampus maupun media di luar kampus. Keunggulan-keunggulan seperti itu secara langsung telah mendongk citra dan reputasi UIN Malang. UIN Malang terkesan bwerwibawa di tengah-tengah masyarakat perguruan tinggi pada umunya. Selain itu kampus ini dihuni orang –orang yang berakhlak mulia, mencintai, dan mernghargai serta mengembangkan ilmu pengetahuan, dosen mencintai mahasiswanya, dan demikian sebaliknya, para mahasiswa menghormati dosen-dosen mereka karena kapasitas akhlak, cinta, dam kedalaman ilmunya.
Performa fisik kampus UIN Malang harus senantiasa tampak bersih, taman dan rumputnyaditata rapi,tidak boros, lingkungannya dijaga baik, tenaga pengajar dan karyawannya selalu bahagia karena kebutuhan hidupnya tercukupi, karena itu mereka bangga akan statusnya sebagai warga UIN Malang. Kehidupan masyarakat kampus seperti digambarkan di atas yang dapat saya sebut sebagai perguruan tinggi Islam

3.2 . UIN Sunan Gunung Jati Bandung
Agama dapat memberikan makna pada ilmu pengetahuan yang tidak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan penggunaan cara berfikir dan cara bekerja yang lazim dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan, pada umumnya masih menuntut penafsiran yang lebih mutakhir dan menyeluruh, yang hanya dapat diberikan oleh ajaran agama yang bersangkutan, buat umat Islam tentu saja ajaran agama Islam. Ini berarti, bahwa para ahli agama diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengaitkan beraneka ragam pengetahuan yang pada hakekatnya bersifat sekuler dengan acuan yang terwujud sebagai ajaran agama.
Bukan pula berarti bahwa ilmu pengetahuan harus diganti dengan ajaran agama. Pengetahuan kedokteran seperti juga pengetahuan fisika, biologi, kimia, ilmu ekonomi, dan sosiologi, adalah pengetahuan ilmiah yang harus dipelajari, dipelihara, diajarkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan dengan ketekunan dan kerja keras, apapun agama atau ideologi yang dianut oleh masing-masing ahli. Semestinya tidak ada kedokteran Islam, atau Fisika Islam, sosiologi Islam. Akan tetapi, para tenaga ahli masing-masing bidang pengetahuan keahlian memerlukan sudut penglihatan, perspektif, yang memberikan pandangan yang lebih luas dan makna yang lebih dalam daripada yang diberikan oleh pengetahuan keahlian yang bersangkutan. Agamalah yang dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas dan makna yang lebih mendalam ini melalui para ahlinya.
Dalam masyarakat modern, semakin banyak jenis pekerjaan yang dituntut diselenggarakan oleh tenaga ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Juga dalam bidang agama, semakin banyak jenis pekerjaan yang dahulu tidak menuntut pengetahuan keahlian tertentu, menuntut agar tenaga-tenaga penyelenggara jenis pekerjaan yang bersangkutan memiliki pengetahuan keahlian tertentu yang biasanya diperoleh dari perguruan tinggi.
Pengetahuan keahlian dalam bidang-bidang pengetahuan keahlian tidak dapat berkembang bilamana tidak diselenggarakan kegiatan-kegiatan penelitian yang senantiasa menghasilkan pengetahuan baru. Kegiatan penelitian, biasanya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang memang mempunyai kegemaran dan kemampuan untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian.
Sesungguhnya kemampuan untuk menyelenggarakan penelitian, harus di miliki oleh setiap dosen IAIN, paling sedikit kemampuan untuk menyelenggara kan kegiatan penelitian perorangan buat terus menerus mengembangkan berbagai mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengetahuan baru yang terkembangkan, biasanya merupakan sumbangan pada perkembangan bidang pengetahuan keahlian khusus yang bersangkutan, sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dan bahkan, dengan perantaraan berbagai bentuk dan cara penyajian, menjadi bagian dari pemikiran keagamaan dari umat Islam. Penyebar luasan hasil pengkajian atau hasil penelitian, sebagaimana biasa, harus dapat diterbitkan oleh IAIN sendiri, penerbit lain, ataupun disiarkan melalui media massa.
Di zaman klasik Islam juga tidak terdapat dualisme dalam sistem pendidikan, seperti sekarang. Di waktu itu tidak ada sekolah hanya memberikan pelajaran dalam ilmu umum dan pula tidak ada madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Universitas-universitas, kurikulumnya mencakup ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Ulama-ulama modern mendirikan sekolah-sekolah modern tersendiri yang mengajarkan pemikiran rasional, sains dan teknologi Barat. Dari zaman itu mulailah timbul dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum sebagaimana Untuk menghadapi era kemajuan sains dan teknologi serta globalisasi sekarang, civitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung sejak lama mengapresiasi untuk mempelajari masalah pengembangan IAIN dari institut menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum.
Untuk mengetahui mengapa peningkatan IAIN yaitu Institut Agama Islam Negeri menjadi UIN yaitu Universitas Islam Negeri perlu diadakan, tampaknya perlu melihat dahulu perkembangan pendidikan dan ilmu dalam sejarah Islam.
Islam mempertemukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan Hadis dengan akal yang tinggi dalam peradaban Yunani. Pertemuan ini menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah dikalangan ulama Islam, dan berkembanglah falsafat dan sains yang menimbulkan peradaban Islam yang tinggi.
Pemikiran rasional itu bukan falsafat dan sains, yang sekuler, tetapi sains dan falsafat yang terikat pada ajaran-ajaran Islam. Maka hukum yang mengatur peredaran alam ini tidak disebut para saintis Islam itu hukum alam (sunatullah) sesuai yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam konteks historis, yang dikembangkan pemikiran rasional bukan hanya falsafat dan sains tetapi juga ilmu agama, sehingga berkembang dengan pesat.
Dari kenyataan di atas dapat dilihat bahwa tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum seperti halnya sekarang. Keduanya menjadi satu dan keduanya diajarkan kepada anak didik. Maka pendidikan zaman klasik menghasilkan ulama-ulama agama yang tidak asing baginya ilmu-ilmu umum dan ulama dalam ilmu umum yang tidak asing baginya ilmu-ilmu agama. juga mulai timbul dualisme dalam pendidikan. Ilmu Umum terpisah dari ilmu agama dan sekolah umum terpisah dari madrasah, Sekolah umum dikelola oleh pemerintah di dunia Islam pada umumnya dan madrasah dikelola oleh lembaga-lembaga swasta.
Sebagai akibatnya timbullah di abad XIX dan XX dua kelompok terpelajar diseluruh dunia Islam. Sekolah-sekolah umum menghasilkan intelektual umum yang dipengaruhi oleh pemikiran sains dan teknologi Barat yang sekuler dan dalam pada itu sedikit sekali pendidikan agama mereka.
Kalau sekolah-sekolah umum menghasilkan kaum intelektual yang sekularis dan jauh dari agama, madrasah-madrasah menghasilkan golongan ulama yang tradisional pemikirannya dan banyak terikat pada ajaran-ajaran agama masa lampau. Dalam pada itu ulama-ulama tradisional ini jauh dari ilmu pengetahuan dan kemajuan modern.
Di Indonesia di masa yang akhir ini telah terdapat perubahan dalam hal ini. Kaum intelektual umum sudah mulai memperhatikan agama berkat organisasi-organisasi mahasiswa Islam, juga kaum ulama sudah mulai memperhatikan IPTEK, Sekolah Umum telah masuk ke pesantren.
Inilah masalah dunia Islam yang dibawa oleh dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan Islam. Kaum terpelajar Islam dewasa ini terpecah dua yang kurang serasi hubungannya dan bukan lagi satu sebagai halnya dengan ulama Islam di zaman klasik.
Karena adanya dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan, sistem pendidikan di dunia Islam tidak sanggup menghasilkan ulama agama yang tidak asing baginya ilmu agama, dan ulama yang sekaligus menguasai ilmu agama, sains dan filsafat, sebagai mana halnya dengan pendidikan zaman klasik yang tak kenal dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan. Jelas bahwa dikhotomisme antara ilmu agama dan ilmu umum dan dualisme pendidikan madrasah dan pendidikan sekolah harus dihapuskan dan diganti oleh kesatuan ilmu dan kesatuan pendidikan.
Berbeda dari perguruan tinggi umum (PTU) yang cenderung mendalami ilmu-ilmu umum, UIN SGD Bandung nantinya mengemban dua misi sekaligus. la menjadi lembaga tempat berkembangnya ilmu-ilmu agama, sekaligus ilmu-ilmu umum. Tanggung jawab ganda ini berimplikasi pada cara pengembangan yang berbeda. Hal itu berdasarkan Firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang artinya;
… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah, : 11).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Al-Imran, : 190)
Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya. (Q.S. Al-Hujurat, : 61)
Karakteristik ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum sebenarnya bagaikan dua sisi uang yang berbeda, namun tidak terpisahkan. Dalam sejarah keilmuan, ilmu-ilmu umum berkembang pesat dalam sebuah tradisi yang disebut intellectus quaerens fidem, yakni suatu tradisi pembuktian ayat-ayat Kauniyah yang menyandarkan pada obyektivitas dan kebenaran ilmiah. Sedangkan ilmu-ilmu keislaman telah meluaskan cakupannya dalam tradisi sejarah ilmu yang disebut fides quarerens intellectum, yakni perkembangan ilmu yang menyandarkan pada kebenaran akhir (ultimate truth) yang dipesankan melalui ayat-ayat Qur’aniyah. Di bawah ini wujud integrasi ilmu UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagaimana disimbolkan dalam gambar roda berputar dunia bergulir.
Dasar pembidangan ilmu yang dikembangkan oleh UIN SGD Bandung berorientasi pada usaha memadukan : pertama, hubungan organis semua disiplin ilmu pada suatu landasan keislaman; kedua, hubungan yang integral di antara semua disiplin ilmu; ketiga, saling keterkaitan semua disiplin ilmu untuk mencapai tujuan umum pendidikan nasional; keempat, keutamaan pengetahuan yang disampaikan melalui wahyu yang menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan; kelima, kesatuan antara pengetahuan yang dicapai, yang diproses dan yang dikembangkan secara ilmiah akademis; keenam, pengintegrasian wawasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam spesialisasi dan disiplin ilmu yang memberikan dasar bagi seluruh disiplin akademis. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama yang merupakan tiga komponen utama dari peneguhan iman, ilmu, dan amal sholeh.
UIN SGD Bandung mengakui adanya dua karakteristik ilmu yang lahir dalam tradisi yang berbeda. Pembedaan karakteristik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam bukan menjadi tujuan akhir dari perumusan filosofi ilmu-ilmu UIN SGD Bandung. Pembedaan ilmu hanyalah sebuah cara untuk menghargai keunikan ilmu pada wilayah kajian masing­-masing.
Paradigma keilmuan UIN SGD Bandung yang utuh itu dibingkai dalam metapora sebuah roda. Roda adalah simbol dinamika dunia ilmu yang selalu berputar pada porosnya dan berjalan melewati relung permukaan bumi. Roda adalah bagian yang esensial dari sebuah makna kekuatan yang berfungsi penopang beban dari suatu kendaraan yang bergerak dinamis.
Fungsi roda dalam sebuah kendaraan ini diibaratkan fungsi UIN Bandung pada masa mendatang yang mampu menopang berbagai perkembangan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus dipikul. Kekuatan UIN Bandung dalam menopang semua bidang kehidupan itu tentu tidak statis. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kemajuan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa bergerak lebih maju, menyentuh realitas yang diinginkann dan selalu menampilkan identitas keislamannya.
Paradigma keilmuan UIN Bandung dengan simbol roda berputar dunia bergulir tersebut, menjadi pendorong bagi pengembangan IAIN menjadi UIN, dari institut yang mengasuh hanya ilmu agama menjadi universitas yang mengajarkan di samping ilmu-ilmu agama juga ilmu-ilmu umum. Maka yang terdapat di UIN nanti bukan hanya program studi agama dari Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab, tetapi juga program studi umum seperti Sosiologi, Teknologi, Ekonomi, Pertanian, MIPA, Psikologi, dan sebagainya.
Dalam UIN yang mencakup program studi agama dan umum, mahasiswa dengan pergaulannya sesama mahasiswa akan terbiasa dengan kedua macam ilmu. Bahkan akan terjadi mahasiswa agama akan mengambil ilmu umum tertentu di Program Studi umum dan sebaliknya mahasiswa umum akan mengambil ilmu agama tertentu di Program Studi agama. Lebih dari itu akan terjadi mahasiswa mengambil kesarjanaan di Fakultas umum dan kemudian kesarjanaan lagi di Fakultas agama atau sebaliknya.
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung selama ini telah mengembangkan beberapa jurusan dan program studi sebagai upaya memadukan kajian ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’aniyah. Selain mengembangkan kajian Islam yang dijadikan sebagai dasar yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa, lembaga pendidikan tinggi ini membuka jurusan-jurusan: Psikologi, Ekonomi, Bahasa, Hukum, MIPA, dan Ilmu Pendidikan. Pemikiran itu didasari oleh keyakinan, bahwa model seperti ini akan mampu mengantarkan para mahasiswanya memiliki pengetahuan, kepribadian dan wawasan yang lebih utuh, dengan kata lain para mahasiswa akan memiliki kemampuan IMTAK (Iman dan Takwa) dan sekaligus penguasaan IPTEKS (Ilmu, Teknologi dan Sains).
Sesuai dengan pemikiran yang melatarbelakangi pengembangan Perguruan Tinggi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung telah menyusun “Rencana Strategis Pengembangan”. Berkaitan dengan itu IAIN Sunan Gunung Djati Bandung diproyeksikan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Kini rencana tersebut telah memperoleh momentum yang sangat menguntungkan dengan munculnya tenaga baru, bahwa agama (baca: Islam) telah menjadi bagian penting dalam membangun masyarakat, dan bahkan semakin diyakini secara luas bahwa Islam (agama) tidak dapat diabaikan dalam kehidupan modern, termasuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, iklim keterbukaan di hampir segala bidang saat ini memberikan optimisme baru bagi seluruh anggota sivitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk mengantarkan lembaga ini menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Dengan landasan tersebut UIN SGD Bandung nantinya diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan-tantangan zaman. Ia hendaklah dapat memberikan warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat secara keseluruhan. Semua ini dapat disebut sebagai ekspektasi sosial kepada UIN. Pada saat yang sama UIN juga diharapkan mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan UIN. Inilah ekspektasi akademis kepada UIN. Dengan demikian, UIN Sunan Gunung Djati Bandung memikul dua harapan, yaitu sosial expectations dan academic expectations.

3.3 Sejarah Dan Perkembangan IAIN Sunan Kalijaga.
Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi kedalam beberapa periode yaitu ;
Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu :
Pertama, periode rintisan ( tahun 1951-1960 ). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga ditandai dengan pengubahan Fakultas Agama UII menjadi PTAIN sampai penggabungan PTAIN dengan ADIA ( Akedemi Dinas Ilmu Agama ). Jumlah Fakultas yang ada pada periode ini hanya tiga, yaitu : Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Tarbiyah. PTAIN ini dipimpin secara berturut – turut oleh K.H.R. Moh. Adnan (1951–1959) dan kemudian Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (1959-1960).
Kedua, periode pembangunan landasan kelembagaan (tahun 1960-1972). IAIN pada periode ini dipimin oleh Prof. RHA. Soenarjo SH dan ditandai dengan pemindahan kamus lama ( di jalan Simanjuntak yang sekarang menjadi gedung MAN 1 Yogyakarta ) ke kampus baru yang jauh lebih luas ( di jalan Adi Sucipto Yogyakarta ). Sejumlah gedung dan Fakultas di bangun dan di tengah –tengahnya dibangun sebuah masjid yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Sistem pendidikan yang berlaku pada periode ini masih bersifat bebas karena mahasiswa diberi kesempatan untuk maju ujian setelah mereka benar benar menyiapkan diri. Sementara itu materi kurikulumnya masih mengacu pada kurikulum Timur Tengah, yang juga dikembangkan pada masa PTAIN.
Ketiga, periode pembangunan landasan akademik (tahun 1972-1996). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga dipimpin secara berturut – turut oleh Rektor Kolonel Drs. H. Bakri Syahid (Tahun 1972-1976); Prof. H. Zaini Dahlan, MA. (Tahun 1976-1980 dan 1980-1983); Prof. Drs. Mu’in Umar (Tahun 1983-1992) dan Prof. Dr. H. Simuh (Tahun 1992-1996). Periode ini ditandai dengan lanjutan pembangunan sarana fisik kampus, pembangunan Fakultas Dakwah, gedung perpustakaan, gedung Pascasarjana dan gedung Rektorat. System pendidikan yang digunakan pada periode ketiga ini mulai bergeser dari system Liberal kepada system terpimin dengan mengintrodusir system semester semu dan akhirnya system kredit system semester murni. Dari segi kurikulum, IAIN Sunan Kalijaga telah mengalami penyesuaian yang radikal, sesuai dengan kebutuhan Nasional Bangsa Indonesia. Jumlah Fakultas berubah menjadi lima buah, yaitu : Fakultas Adab, Fakultas Dakwah, Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Program Pascasarjana dibuka pada periode ini, tepatnya pada tahun ajaran 1983-1984. Sebelumnya program ini adalah PGC (Post Graduate Course) dan SPS ( Studi Purna Sarjana ) yang tidak memberikan gelar. Pembukaan Program Pascasarjana ini telah mengukuhkan status IAIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang sebagai lembaga Dakwah.
Keempat, periode pemantapan orientasi akademik dan manajemen (Tahun 1997-2001). Periode ini dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Atho’ Mudzhar sebagai Rektor dan ditandai dengan upaya melanjutkan pembangunan mutu ilmiah IAIN Sunan Kalijaga, khususnya mutu dosen dan mutu para alumni. Pada dosen dalam jumlah yang besar diberi kesempatan dan didorong untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana, baik untuk tingkat magister (S2) maupun Doktor (S3) dalam bidang keilmuan keislaman maupun ilmu – ilmu yang terkait, baik di program pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga sendiri maupun di perguruan tinggi lain, di dalam maupun di luar negeri. Demikian pula peningkatan mutu sumber daya manusia bagi tenaga administrasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan pelayanan administrasi akademik.
Kelima, masa pengembangan IAIN. Pada masa ini dimulai tahun 2002 ampai sekarang dibawah kepemiminan Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah. Dengan seiring semakin besarnya tantangan di masa depan dan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap lembaga IAIN, maka IAIN merasa tertantang untuk mengembangkan secara instutional dalam format yang lebih jelas, yakni berubah menjadi Universitas. Namun, sebelum perubahan tersebut dilakukan, IAIN juga melakukan pengembangan dengan konsep “IAIN with wider mandate” (IAIN dengan mandate yang lebih luas). Dengan konsep ini, IAIN telah dan akan mengembangkan jurusan/program studi bidang ilmu - ilmu sosial dan ilmu - ilmu eksakta yang dalam tahapan selanjutnya akan di Up-grade menjadi Fakultas-fakultas, jurusan-jurusan, dan program-program studi.
Adapun kebijakan kearah pengembangan perguruan tinggi dewasa ini bertumpu pada paradigma baru yaitu bertumpu pada tiga pilar utama; kemandirian (autonomy), akuntabilitas (accountability) dan jaminan mutu (Quality Assurance). Berdasarkan hal tersebut IAIN bekerja keras melakukan banyak hal :
1. Integrasi epistemology keilmuan sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu – ilmu agama.
2. Memberikan landasan moral bagi pengembangan IPTEK dan melakukan pencerahan dalam pembinaan IMTAQ sehingga IPTEM dan IMTAQ dapat sejalan.
3. Mengartikulasikan Ajaran Islam secara professional ke dalam konteks kehidupan masyarakat sehingga tidak ada lagi jarak antara norma agama dan sofistifikasi masyarakat.
4. Mengembangkan riset dan penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif sehingga tidak ada kesan deduktifikasi ilmu – ilmu keislaman. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pola pengabdian yang professional.
5. Memberikan landasan moral dan spiritual terhadap pem,bangunan nasional sehingga konsep pembangunan manusia seutuhnya dapat tercaai.
6. Melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas dalam berbagai segi baik kelembagaan, akademis, amangerial, dan fisik.

C. Kesimpulan Dan Saran
1. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Perubahan perguruan tinggi IAIN / STAIN menjadi UIN membuka peluang dan harapan baru.
2. Integrasi kurikulum Agama dan Sain Teknologi merupakan tuntutan zaman dan merupakan perkembangan pemikiran paradigma.
3. Anehnya mengapa tidak diintegrasi dari TK, SD sampai SMA tidak terintegrasi bahkan waktu untuk agama hanya 2 jam pelajaran.
4. Kena apa yang dikaji hanya IAIN saja, sementara banyak perguruan swasta yang bernafaskan Islam seperti Universitas Muhammadiyah, STAINU, dll mestinya ikut terintegrasi.
Sebagai saran ilmu ke Islaman disitu tetap harus diutamakan, yang perlu digali mampukah bersaing dengan universitas lain? Tentunya dengan kesungguhan yang dilandasi dengan perjuangan. Dan semua jenjang pendidikan harus diikuti terintegratet.




DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar Jogjakarta.
2. Prof. Dr. Imam Suprauogo, Makalah Seminar Nasional.
3. Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu Agama. Interpretasi dan Aksi, Mizan Pustaka. Bandung
4. Integrated University, Infoemation System UIN Sunan Kalijaga 2005
5. Sumber Biro Humas UIN Sunan Kalijaga
6. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165
7. www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/03x1.htm-16k-Cached-more from this-site save