Rabu, 27 Agustus 2008

KARYA ILMIAH

DASAR DASAR PENDIDIKAN ISLAM
KAJIAN S.N AL ATTAS

I. PENDAHULUAN
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia yang selalu mengalami perubahan baik dibidang sistem maupun kurikulum belum nampak maksimum bila dibandingkan dengan negara lain. Sebagaimana yang kita rasakan mulai jaman orde baru sampai jaman reformasi ternyata belum membuahkan hasil yang sempurna baik secara individu maupun sosial kemasyarakatan.
Secara individu banyak kita lihat sarjana muslim yang meraih prstasi gelar sarjana tetapi belum dapat menularkan/mengetrapkan tertib ilmunya di dalam kehidupan. Gelar yang diraih merupakan simbul/syarat untuk mencari pekerjaan atau jabatan. Dampak seperti ini hampir dialami oleh sebagian besar mahasiswa bahwa, memiliki gelar sekedar untuk mencari pekerjaan yang enak dengan gajih yang besar. Secara sosial kemasyarakatan masih banyak kita jumpai sarjana muslim yang diberi amanat jabatan lupa terhadap amanat tersebut yang akibatnya menimbulkan ketidak puasan dari berbagai fihak, muncul demo, kekerasan dan fitnah yang tiada putusnya. Disisi lain pendidikan dasar wajib 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, diikuti adanya kejar paket A, B dan C serta SMP terbuka dengan biaya dari pemerintah yang cukup banyak juga belum membuahkan hasil yang maksimum. Lebih-lebih dengn munculnya kompensasi/subsidi BBM bagi anak sekolah dasar (SD dan SMP) gratis biaya sekolah justru memanjakan bagi anak maupun institusi itu sendiri. Yang lebih memprihatinkan lagi pemerintah telah menetapkan bantuan kepada rakyat miskin yang disebut bantuan gakin (keluarga miskin) termasuk raskin juga merupakan pendidikan yang bersifat membodohkan masyarakat. Dalam kenyataan saling berrebutan untuk dicatat/diusulkan menerima bantuan sebagai keluarga miskin yang menurut kriteria belum bisa dipertanggung jawabkan. Sementara pejabat mengajukan tuntutannya untuk dinaikkan gajinya yang apabila dibandingkan dengan bantuan gakin lebih berlipat ganda ini tidak adil.
Demikian beberapa hal yang menarik bagi penulis untuk mengangkat tulisan yang berjudul Dasar-Dasar Pendidikan, kajian Syed M. Naquib Al Attas untuk menjembatani perkembangan pendidikan di Indonesia.

II. PERUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas masalah yang akan penulis angkat dan rumusan masalah adalah: dengan memperhatikan dasar-dasar pendidikan yang benar akan membuahkan hasil yang maksimum. Menurut kajian S.N Al-Attas penanaman dasar pendidikan bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna tetapi untuk memunculkan manusia paripurna. Pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang, ini disebut ta’dib. Dengan adab yang baik dapat membangun dan mengembangkan masyarakat/warga negara yang baik pula.

III. TUJUAN
Memberikan wawasan yang luas bagi penulis sebagai seorang pendidik dan rekan-rekan seperjuangan pada khususnya serta mengambil pengalaman yang berharga dari seorang tokoh pendidikan untuk diteladani dan akhirnya dapat mengamalkannya guna membangun warga negara Indonesia yang kita cintai.

IV. URAIAN.
A. Makna Dan Tujuan Pendidikan.
Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing- masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu yang lebih menfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat belajar.[1]
Sementara itu pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Dengan kata lain pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa peserta didik. Menurut mereka meskipun memiliki banyak persamaan dengan peserta didik yang lain, seorang peserta didik masih tetap memiliki keunikan dalam pelbagai segi.[2]
Sejumlah pemimpin politik umat Islam menempatkan pendidikan berorientasi kemasyarakatan. Bahkan mereka yang melihat penidikan sebagai sesuatu yang berorientasi individual cenderung memilih aliran yang pertama dari pandangan ini, berusaha meraih keberhasilan sosial ekonomi bagi setiap peserta didik dengan harapan supaya mereka bisa memperkuat status sosial-ekonomi negara. Para pemimpin yang berjiwa sosialis menganggap negara atau masyarakat sebagai sesuatu yang lebih penting daripada individu. Mereka melihat pendidikan sebagai investasi, sebagai rekayasa sosial yang akan membentuk kembali tatanan sosial ekonomi negara-negara yang baru merdeka.
Sekarang ini, pendidikan menjadi alat mobilisasi sosial-ekonomi individu atau negara. Dominasi sikap yang seperti ini dalam dunia pendidikan telah melahirkan patologi psiko-sosial, terutama dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit diploma” (diploma disease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial. Dalam masyarakat yang miskin sumber daya alam dan tidak dilengkapi dengan tatanan ekonomi yang baik, sikap pendidikan seperti ini turut menyumbang terciptanya situasi sosial-politik yang kacau. Disamping perencanaan yang buruk dan cara penanganan yang salah, keadaan seperti ini sebenarnya bersumber dari kebingungan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan oleh pengaruh program sekularisasi yang berkesinambungan dan konsep negara ala Barat.
Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari keridhoan Allah. Beberapa teoritisi Muslim, seperti Muhammad ‘Abduh (teolog) di Mesir telah memerhatikan dan mengkritik hasil-hasil negatif dan tujuan pendidikan itu bukan untuk mobilitas sosial-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik. Dia mengkritik habis-habisan sisi-sisi pragmatis dari sistem pendidikan Mesir dan menambahkan:
(Pendidikan ini disampaikan [imparted] sehingga murid) bisa memperoleh gelar yang memungkinkannya memperoleh pekerjaan sebagai tenaga administrasi dalam sebuah departemen. Namun, hakekat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan (al-taklim wa al-tarbiyah) dan dengan menanamkan nilai-nilai yang luhur sehingga ia menjadi manusia yang saleh (rijalan shalihan fi nafsi), yang dengannya ia bisa mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam instansi pemerintahan ataupun dalam instansi lainnya tidak masuk kepala guru-guru tersebut.[3]

Indonesia yang penduduknya merupakan penganut agama Islam terbesar di dunia juga menekankan pendidikan yang berorientasikan kemasyarakatan. Dampak yang kita rasakan bahwa penekanan pendidikan terhadap anak didik bidang adab dikesampingkan, terbukti anak didik hubungannya dengan pendidik tidak tercipta menghormat dan kasih sayang bahkan banyak kita jumpai setelah terjun di masyarakat atau mendapatkan amanah jabatan dalam suatu instansi pemerintah maupun swasta terjadi kemerosotan moral. Yang penting anak dapat lulus dengan mendapatkan nilai afektif dan kognitif yang baik dan merupakan suatu kebanggaan bagi institusi sekolah bila anak lulus 100 % dari nilai 3 mata pelajaran yang diujikan secara Nasional. Sementara setelah anak lulus tersebut tidak memiliki bekal pelajar yang baik secara paripurna, bagi keluarga anak didik merasa puas dengan kelulusan mendapat ijazah dapat digunakan untuk melamar pekerjaan. Fenomena yang lain para pegawai / pendidik atau pejabat pemerintah secara formalitas dituntut untuk memiliki ijazah yang sesuai dengan proporsinya. Dan merupakan syarat untuk status sosial-ekonomi.

B. Pandangan Yang Mempreoritaskan Individu.
Pendidikan menurut S.N. Al-Attas menegaskan dan menjelaskan bahwa; Tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna tetapi untuk memunculkan manusia yang paripurna.[4]
Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat sepiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia.[5]
Al-Attas berpendapat bahwa warga negara atau pekerja yang baik dalam sebuah negara sekuler tidak sama dengan manusia yang baik; sebaliknya, manusia yang baik sudah pasti seorang pekerja dan warga negara yang baik. Sangat jelas bahwa jika majikan ataupun negara itu baik, sebagaimana yang didifinisikan dalam kerangka ajaran Islam, menjadi pekerja ataupun warga negara itu sama dengan menjadi manusia yang baik. Namun, sebuah negara Islam mensyaratkan adanya partisipasi aktif umat Islam yang kritis. Dalam karya selanjutnya, al-Attas menekankan bahwa penekanan terhadap individu bukan hanya sesuatu yang prinsipiil, melainkan juga strategi yang jitu pada masa sekarang.[6]
Membahas konsep Negara Paripurna (Al-Madinah Al Fadhilah) dalam Islam, Al-Attas menjelaskan bahwa tujuannya bukanlah membina dan mengembangkan warga negara yang sempurna sebagaimana yang ditekankan oleh pemikir-pemikir barat, seperti plato, melainkann lebih penting dari itu, adalah membina manusia yang sempurna, dan pada tujuan inilah pendidikan itu seharusnya diarahkan. Namun, Al-Attas juga mengatakan bahwa Islampun bisa menerima ide pembentukan warga negara yang baik sebagai tujuan pendidikan, namun yang kami maksudkan dengan warga negara disini adalah warga Negara Kerajaan Lain, yang memungkinkannya menjadi manusia yang baik. Menurut Al Attas, perhatian penuh terhadap individu merupakan suatu yang sangat penting, sebab tujuan tertenggi dan perhentian terakhir etika dalam perspektif Islam adalah untuk individu itu sendiri. Karena posisinya sebagai agen moral, menurut Islam, manusialah yang kelak akan diberi pahala atau azab pada hari perhitungan.

C. Manusia Beradab.
Al-Attas mengatakan bahwa orang terpelajar adalah orang baik, “Baik” yang dimaksudkannya disini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang memiliki kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya”. Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didifinisikan Al-Attas se bagai orang yang beradab. Tulisannya :
Orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.[7]

Pendidikan, menurut Al-Attas, adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang – ini disebut dengan ta’dib. Al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad Saw, yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai manusia sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada masa itu. Dia mengatakan, “Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.”
Dari keterangan diatas, dapat disimpilkan bahwa pengertian adab menurut Al-Attas melibatkan hal-hal sebagai berikut :
1. Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran.
2. Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.
3. Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan perilaku salah dan buruk.
4. Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji.
5. Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat.
6. Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat
7. Realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah. Jadi jelaslah bahwa pendidikan yang dimaksudkan Al-Attas berbeda dengan pengajaran dan pelatihan.

D. Pengembangan Masyarakat
Fakta yang dianggap lumrah, yang telah dikemukakan sejak zaman Aristoteles bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Filsafat pendidikan Al-Attas sangat jelas menekankan pengembangan individu, tetapi hal ini tidak dapat dipisahkan secara sosial dalam hal cara dan konteks pelaksanaannya. Al-Attas menyatakan;
Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, kami tidak bermaksud utuk melahirkan masyarakat yang baik. Karena masyarakat terdiri individu, melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah (pembuat) struktur masyarakat.[8]
Seorang individu hanyalah individu ketika secara simultan ia menyadari individualitasnya yang unik dan kebersamaan dirinya dengan manusia lain yang dekat dengannya dan sekitarnya. Seorang individu tidak memiliki arti apa-apa dalam keadaan itu ia tidak lagi menjadi individu, ia adalah segala sesuatu. Dari penjelasan singkat mengenai makna adab, kini telah jelas bahwa manusia beradab (insan adabi), seperti yang dipahami Al-Attas, adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam, manusia yang baik atau individu yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anak nya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik, dan warga negara yang baik bagi negaranya. Dengan kata lain:
Ia harus mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah pelbagai tingkatan manusia, yang harus dipahami sebagai sesuatu yang telah disusun secara hierarkis dan logis ke dalam tingkatan-tingkatan (derajat) kebaikan yang berdasarkan kriteria Al-Qur’an mengenai kecerdasan, keilmuan, dan kebaikan (ihsan), dan harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan itu secara positif, terpercaya dan teruji.[9]

Walaupun masyarakat terdiri dari individu-individu, pendidikan masyarakat tidak dapat berlangsung kecuali ada individu yang cukup terdidik; persis sebuah mobil yang terdiri dari beberapa spare part yang antara satu dan lainnya saling menunjang sehingga untuk mereparasinya tidaklah harus melibatkan entitas mobil itu secara keseluruhan, tetapi cukup dengan menguatkan masing-masing onderdilnya.
Tujuan Pendidikan dalam Islam itu bersifat religius, tetapi agama, din yang dimaksudkan oleh Islam bukan hanya bersifat personal, melainkan juga secara inheren bersifat sosial dan kultural. Bahkan, seorang sufi yang biasanya oleh kelompok modernis dipahami sebagai orang yang anti sosial, tetap tidak pernah mengabaikan kewajiban sosialnya. Al-Attas telah menyatakan beberapa kali bahwa di pusat-pusat kota, bahkan di desa-desa yang sederhana, kelompok tarekat sufi tetap menjalankan perananya dalam suatu kebudayaan.
Sudah selayaknya jika pelbagai bentuk sitem pendidikan Islam baik dalam bentuk kuttab, madaris, masajid, khaniqah, maupun rumah-rumah pribadi – yang tujuannya adalah pembentukan individu-individu yang baik dan mencapai kebahagiaan tertinggi di dunia dan akherat, dapat menghasilkan banyak pemimpin politik, cendikiawan, administrator, teknisi, dan perajin, serta anggota masyarakat biasa yang tak terhitung jumlahnya. Individu-individu ini semuanya telah memiliki kontribusi dalam pengembangan peradaban Islam, kegiatan keagamaan, intelektual, dan secara unversal masih dihormati dan dikagumi secara jujur dimanapun mereka berada. Hal yang sama tidak dapat dilihat dari produk pendidikan bangsa-bangsa Muslim modern walaupun memiliki kelengkapan material dan teknologi yang terus berkembang.
Dalam perspektif Islam, makna kemajuan masyarakat dan perkembangan nya bukanlah perubahan yang terus menerus menuju masa depan yang tidak pasti. Namun, lebih merupakan “sebuah proses pergerakan Muslim yang telah menyimpang menuju keaslian Islam; perkembangan seperti inilah satu-satunya yang dapat disebut dengan kemajuan yang sebenarnya”. Kemajuan mensyaratkan pencapaian tujuan-tujuan yang telah jelas dalam hidup dan ditetapkan secara permanen; sebab perjuangan menuju tujuan-tujuan yang terus-menerus berubah bukanlah kemajuan. Jadi, sesuatu yang tidak diperdebatkan lagi adalah suatu filsafat pendidikan Islam yang benar, yang menekankan pertumbuhan dan perkembangan individual, intelektual, dan spiritual secara inheren sesungguhnya bersifat sosial. Konseptualisasi Al-Attas hanya mengarahkan perhatian kita pada agen konstruksi dan rekonstuksi sosial yang sebenarnya, yaitu individu, tidak kepada keseluruhan masyarakat. Disemua negara Islam, hampir semua lembaga perguruan tinggi modern dan tradisional dibantu oleh pemerintah secara finansial. Tentunya disana terdapat beberapa pengecualian dan lebih aman untuk mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan negara sangat berpengaruh: dari pemilihan rektor dan pembantui rektor, penerimaan mahasiswa, dan pendirian departemen dan fakultas-fakultas baru, hingga penawaran mata kuliah. Jika visi Al-Attas direalisasikan, umat Islam sangat membutuhkan individu-individu yang tulus dan berpandangan jauh dalam pemerintahan, yang sadar akan peranan mereka dalam pendidikan, bukan hanya beritikad baik, melainkan juga sadar dan sanggup melaksanakannya. Jika tidak, umat Islam harus bergantung pada sumber daya mereka sendiri, yang hanya dapat direalisasikan jika mereka menganggap belajar dan pendidikan bukan hanya sebagai prasyarat penting dalam beribadah, melainkan juga merupakan bentuk ibadah yang tertinggi. Dalam sejarahnya, penekanan terhadap individu terbukti sangat efektif dalam membebaskan cendikiawan yang mampu dan berdedikasi dari kontrol penguasa atau lembaga-lembaga. Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa ijazah pada masa itu diberikan kepada mahasiswa oleh pribadi-pribadi guru bukan oleh lembaga-lembaga.

E. Ketiadaan Adab.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, salah satu landasan yang paling utama dalam pemikiran filsafat pendidikan Islam Al-Attas adalah konsepnya mengenai bab yang sangat komprehensif. Secara alami, analis beliau mengenai problem pendidikan, intelektual, dan kebudayaan menunjukkan fakta bahwa problim-problim itu berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial politik dari kebudayaan barat, sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab secara benar dalam segala bidang.[10]
Namun dari semua itu, ketiadaan adablah yang harus ditinjau dan dikoreksi secara efektif jika Muslim ingin menyelesaikan problem kebingungan dan kekeliruan dalam bidang keilmuan dan menanggulangi munculnya kepemimpinan palsu dalam segala bidang. Kebingungan yang akut karena ketiadaan atau disintegrasi adab, tidak hanya berarti rusaknya ilmu (corruption of knowledge), tetapi juga ketidak mampuan mengakui pemimpin yang benar dalam segala bidang, bahkan memberi jalan dan mendukung munculnya pemimpin gadungan. Sebagai tambahan, dengan dalih demokrasi, masyarakat awam dan khususnya para pemimpin mereka akan menjadi penentu masalah-masalah keilmuan kemudian menjalar pada ilmu agama. Kecenderungan populer yang terus meningkat dalam menjalankan lembaga pendidikan dengan gaya manajemen perusahaan pada beberapa masyarakat Muslim dapat mendorong para pelaksana pendidikan untuk menyesuaikan materi yang akan diajarkan di sekolah dan universitas dengan tuntutan pasar. Hal ini juga didorong oleh mass media dan dikontrol oleh kepentingan politik dan bisnis. Perjalanan internasional yang cepat dan efisien memudahkan warga negara yang baik dalam rezim atau organisasi yang tidak adil untuk meluaskan aktivitas mereka dengan lebih cepat, luas, dan kemampuan yang lebih efisian untuk melarikan diri. Pembangunan teknologi informasi yang begitu dahsyat telah menghilangkan batas-batas kenegaraan, secara praktis memberikan informasi tak terbatas untuk pelbagai macam kegunaan, baik atau buruk. Ledakan informasi yang kegunaannya sangat potensial dan gaungnya yang menglobal telah mengakibatkan pelbagai kebingungan, belum lagi isinya yang berbahaya secara etis, cultural, dan sosial. Perkembangan-perkembangan seperti ini pada hakekatnya membutuhkan individu, laki-laki dan perempuan, yang secara instrinsik baik dalam pengertian adab, yang lebih dari pada sebelumnya. Keruwetan bentuk jalinan ekonomi global akan menghancurkan ekonomi-ekonomi dan jutaan kehidupan jika warga negara yang berhasil dari ekonomi kuat dan berpengaruh itu hanya berusaha menguntungkan kepentingan pribadi dan nasional untuk jangka pendek.
Namun yang lebih penting lagi, orgensi ide dan program pendidikan ini sangat mendesak, sebab, walaupun kemajuan luar biasa telah dicapai manusia moderen dalam bidang teknologi, medis, dan ekonomi, ia tidak meningkatkan taraf kebebasan, pencapaian moral dan etika, keadilan, dan kebahagiaan manusia secara berarti dan signifikan. Seorang yang terdidik atau seorang yang beradab, dalam pengertian ini, adalah manusia universal yang memahami dan mengamalkan adab dalam diri, keluarga, lingkungan, dan masyarakat dunia. Manusia yang beradab secara definitif, sebagaimana dipahami dan diamalkan Al-Attas, dapat menghadapi dunia yang plural ini dengan sukses tanpa harus kehilangan identitasnya. Berhadapan dengan pelbagai tingkatan realitas, dengan cara yang benar dan tepat, akan mendorongnya meraih kebahagiaan spiritual dan permanen, baik di dunia maupun di akherat. Hal ini berimplikasi bahwa perencanaan, isi, dan metode pendidikan harus mencerminkan penekanan pada pengamalan adab yang benar secara keras dan konsisten dalam pelbagai tingkat realitas. Untuk merealisasikan tujuan ini, sistem pendidikan yang baru harus diformulasikan dan dilaksanakan di negara Muslim, yang menurut Al-Attas harus dimulai pada tingkat universitas.

V. Kesimpulan, Saran dan Penutup
A. Kesimpulan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas mulai dari pengertian, dasar dan tujuan pendidikan menurut kajian S.N. Al-Attas dan berdasarkan problematika perkembangan pendidikan di Indonesia dapat penulis simpulkan bahwa ;
Tulisan-tulisannya cukup banyak merefisi pengertian Tarbiyah menjadi Ta’dib. Pendidikan Skill/Ketrampilan secara otomatis dapat berkembang dengan sendirinya melalui pendidikan Adab.

1. Menurut kajian S.N Al-Attas penanaman dasar pendidikan bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik.
2. Pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang, ini disebut ta’dib. Dengan adab yang baik dapat membangun dan mengembangkan masyarakat/warga negara yang baik pula.
3. Dalam perspektif Islam, makna kemajuan masyarakat dan perkembangannya bukanlah perubahan yang terus menerus menuju masa depan yang tidak pasti. Namun, lebih merupakan sebuah proses pergerakan Muslim yang telah menyimpang menuju keaslian Islam; perkembangan seperti inilah satu-satunya yang dapat disebut dengan kemajuan yang sebenarnya.
4. Problem pendidikan, intelektual, dan kebudayaan menunjukkan fakta bahwa problim-problim itu berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial politik dari kebudayaan barat, sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab secara benar dalam segala bidang
5. Penanaman dasar-dasar pendidikan di Indonesia belum menunjukkan ke berhasilan dalam bidang ta’dib. Dalam kenyataan tujuan sekolah lebih ditekankan berusaha meraih keberhasilan sosial ekonomi bagi setiap peserta didik dengan harapan supaya mereka bisa memperkuat status sosial-ekonomi negara.

B. Sekilas Tentang Syed M. Naquib Al-Attas.
Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 Pendidikan Dasar di Sekolah Dasar Ngee Heng, Johor (1936-1941), dan Madrasah Al-‘Urwah Al Wutsqa, Sukabumi (1941-1945), Kemudian, dia melanjutkan ke Royal Military academy, sundhust, Inggris dan University of Malaya, Singapura. Al-Attas mendapatkan gelar M.A. pada 1962 dari Universitas McGill, Montreal, dengan Tesis “ Raniti and the Wujudiyyah of 17 Th Century acheh”. Sedangkan gelar Ph. D. diperoleh dari Universitas London 1965 dengan disesrtasi berjudul “The Mysticism of Hamzah Fanshuri”.

Al-Attas pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Melayu (1965-1968), Dekan Fakultas Sastra (1968-1970), dan menjadi Direktur Pertama Institut Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu (IBKKM) yang didirikan pada 1973. Dia juga pernah menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu dan Dekan Fakultas Sastra di Universitas of Malaya, Kuala Lumpur.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, meliputi teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri serta telah menulis lebih dari dua puluh buku dan ratusan makalah tentang Islam, khususnya dalam bidang yang memang sangat dikuasainya itu. Sebagian besar karyanya ditulis dalam bahasa Inggris dan sebagian kecil dalam bahasa Melayu. Sejumlah karyanya sudag diterjemahkan kedalam pelbagai bahasa : Arab, Prancis, Jerman, Indonesia, Jepang, Korea, Rusia, Turki, dan Urdu. Sebagai penghargaan atas kontribusinya dalam bidang perbandingan filsafat, Al-Attas diangkat sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang anggotanya terdiri dari tokoh- tokoh terkemuka, seperti Henry Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Toshihiko Izutsu. Dari dalam negeri dia ditunjuk sebagai Pemegang Pertama Kursi Kehormatan Abu Hamid Al Ghazali dalam studi Pemikiran Islam oleh Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai Presiden ISTAC dan International Islamic University Malaysia. Sebagai seorang sarjana Muslim, Al-Attas diakui telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadan Dunia Islam konteporer, terutama dalam persoalan islamisasi ilmu dan pendidikan.

C. Saran
Penulis sependapat dengan kajian S.N. Al-Attas yaitu tentang dasar-dasar pendidikan Islam penanaman adab pada diri seseorang, hanya persoalannya mengapa Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak berani menekankan pendidikan adab ?. bahkan mengapa lebih mengutamakan keberhasilan Ujian Akhir Sekolah (UAN) merupakan kebanggaan bagi institusi maupun anak ?
Untuk menjawab tersebut terutama bagi perguruan yang bercirikhaskan Islam harus berani memulai penekanan pendidikan adab tersebut, sebagai contoh menambah jam pelajaran sebagai ciri khusus dan selalu menghubung kan semua pelajaran dengan adab yang baik serta saling sayang/menghormat antara yang muda dan yang tua. Seperti penulis ketahui contoh pendidikan yang telah diterapkan di pondok modern Darussalam Gontor Ponorogo.

C. Penutup
Demikian makalah yang singkat ini semoga bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan rekan seperjuangan pada umumnya. Kepada Allah kami berserah diri, semoga meridloinya. Aamiin.


Daftar Pustaka
1. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165
2. ‘Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah,ed. Muhammad ‘Amarah, 6 jil. (Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyyah li Al-Dirasat wa Al-Nasyr), 3.2 111; dicuplik dari Rahman, Islam dan Modernity, h. 60.
3. B. Othanel Smith, William O. Stanley, dan J.Harlan Shores, Fundamentals of Curriculum Development. Edisi revisi ( New York, Chicago, San Francisco, Atlanta : Harcourt, Brace, & World, Inc., 1957).
4. S.M.N.Al-Attas, Preliminary Notes on the National Philosophy and Objectives of education; dikirim kepada Tan Sri Ghzali Syafie pada September 1970. Ketikan surat hh. 2-3.



























[1] Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan . 2003. hal. 165
[2] B. Othanel Smith, William O. Stanley, dan J.Harlan Shores, Fundamentals of Curriculum Development. Edisi revisi ( New York, Chicago, San Francisco, Atlanta : Harcourt, Brace, & World, Inc., 1957).
[3] ‘Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah,ed. Muhammad ‘Amarah, 6 jil. (Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyyah li Al-Dirasat wa Al-Nasyr), 3.2 111; dicuplik dari Rahman, Islam dan Modernity, h. 60.
[4] S.M.N.Al-Attas, Preliminary Notes on the National Philosophy and Objectives of education; dikirim kepada Tan Sri Ghzali Syafie pada September 1970. Ketikan surat hh. 2-3.
[5] IS, h. 141
[6] Aims and Objectives, h.6.
[7] Risalah,para. 15, h. 54.
[8] CELL, h.25.
[9] Ibid., h.27.
[10] Ibid., para. 153, hh. 178-180.

Tidak ada komentar: