tag:blogger.com,1999:blog-20691648262676237092024-02-06T20:31:13.631-08:00tesisStudi Tentang Pelaksanaan Gerakan Terpadu Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian Bagi Siswa SD Di Kabupaten Purworejo Tahun 2003-2007trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-81643988886360292202009-12-14T19:47:00.000-08:002009-12-14T19:48:07.287-08:00trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-85138323821376290112009-12-14T19:44:00.001-08:002009-12-14T19:47:30.886-08:00trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-53598276520254642602009-12-14T19:44:00.000-08:002009-12-14T19:46:55.175-08:00Program Kegiatan Pesantren Kilat SMAN 5 PWRtrihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-82537550193039747262009-04-10T07:26:00.000-07:002009-04-10T07:30:09.817-07:00TesisSTUDI TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN TERPADU PEMBINAAN ANAK BERIMAN DAN BERKEPRIBADIAN<br />BAGI SISWA SD DI KABUPATEN PURWOREJO<br />TAHUN 2003-2007<br /><br /><br /> T E S I S<br /><br />Diajukan kepada<br />Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />Untuk memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar <br />dalam Studi Agama<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Oleh<br /><br />TRI HANTORO<br /><br />NIM : O 000 050 048<br />Program : Magister Studi Islam<br />Konsentrasi : Manajemen Pendidikan Islam<br /><br /><br /><br />Program Pasca Sarjana<br />Magister Studi Islam<br />Universitas Muhammadiyah Surakarta<br /><br /> 2007<br />NOTA PEMBIMBING<br /><br /><br /><br />Nota Dinas<br />Hal : Tesis Saudara Tri Hantoro<br /><br /><br />Kepada Yth.<br /><br />Direktur Program Pascasarjana<br />Universitas Muhammadiyah Surakarta<br /><br /><br />Assalamu’alaikum wr, wb.<br /><br />Setelah membaca, meneliti, mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya terhadap Tesis saudara :<br />Nama : Tri Hantoro<br />NIM : O 000 050 048<br />Program Studi : Magister Studi Islam<br />Konsentrasi : Manajemen Pendidikan Islam<br /><br />Dengan ini kami menilai Tesis tersebut dapat disetujui untuk diajukan dalam Sidang Ujian Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.<br /><br />Wassalamu’alaikum wr, wb.<br /><br /> Surakarta, 20 Agustus 2007<br /> Pembimbing I <br /><br /><br /><br /> Dr. H. M. Muinudinillah Basri, MA<br /><br /> <br />NOTA PEMBIMBING<br /><br /><br /><br />Nota Dinas<br />Hal : Tesis Saudara Tri Hantoro<br /><br /><br />Kepada Yth.<br /><br />Direktur Program Pascasarjana<br />Universitas Muhammadiyah Surakarta<br /><br /><br />Assalamu’alaikum wr, wb.<br /><br />Setelah membaca, meneliti, mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya terhadap Tesis saudara :<br />Nama : Tri Hantoro<br />NIM : O 000 050 048<br />Program Studi : Magister Studi Islam<br />Konsentrasi : Manajemen Pendidikan Islam<br /><br />Dengan ini kami menilai Tesis tersebut dapat disetujui untuk diajukan dalam Sidang Ujian Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.<br /><br />Wassalamu’alaikum wr, wb.<br /><br /> Surakarta, 20 Agustus 2007<br /> Pembimbing II <br /><br /><br /><br /> Drs. H. Syamsul Hidayat, MA<br />LEMBAR PERSETUJUAN<br />UJI KELULUSAN<br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PERNYATAAN KEASLIAN TESIS<br /><br /><br />Yang bertanda tangan di bawah ini :<br /><br /> Nama : TRI HANTORO<br /> NIM : O.000 050 048<br /> Program Studi : Magister Studi Islam<br /> Konsentrasi : Manajemen Pendidikan Islam<br />Judul Tesis : Studi Tentang Pelaksanaan Gerakan Terpadu Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian Bagi Siswa SD Di Kabupaten Purworejo Tahun 2003-2007<br /><br />Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya serahkan ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, kecuali kutipan-kutipan dan ringkasan-ringkasan yang semuanya telah saya jelaskan sumbernya. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan tesis ini hasil jiplakan, maka gelar dan ijazah yang diberikan oleh Universitas batal saya terima.<br /><br /><br />Surakarta, 20 Agustus 2007 <br />Yang membuat pernyataan,<br /><br /><br /><br /> TRI HANTORO<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br />MOTTO DAN PERSEMBAHAN<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Artinya : Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Al Qur’an dan Terjemahan, 1984:1077).<br /><br /> Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda :<br />خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه لبخارى)<br />Artinya : Sebaik-baik kamu adalah yang mau belajar membaca Al Qur’an dan mengajarkannya (HR. Bukhori), (Salim Bahreisy, 1986:123).<br /><br /> Tesis ini aku persembahkan kepada :<br />1. istri dan anakku yang tercinta.<br />2. ibu yang telah melahirkanku<br />3. saudara-saudaraku.<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Tri Hantoro, NIM : O.000 050 048, Judul Tesis : Studi Tentang Pelaksanaan Gerakan Terpadu Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian Bagi Siswa SD Di Kabupaten Purworejo. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui pelaksanaan gerakan terpadu pembinaan anak beriman dan berkepribadian bagi siswa SD di Kabupaten Purworejo tahun 2003 – 2007. 2) Mengetahui apa saja yang belum mendapatkan penekanan dalam pelaksanaan gerakan terpadu pembinaan anak beriman dan berkepribadian Bagi Siswa SD di Kabupaten Purworejo Tahun Pelajaran 2003-2007. 3) Mengetahui kendala apa saja yang berkenaan dengan program pembinaan anak beriman dan berkepribadian bagi Siswa SD di Kabupaten Purworejo Tahun Pelajaran 2003 – 2007. <br /> Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan-pendekatan : 1) wawancara (interview), untuk menggali informasi dan kebijakan baik yang diambil dari tim perencana yang terkait dalam gerakann terpadu ini maupun oleh Kepala Sekolah, Guru Pendidikan Agama Islam, dan Ustadz/ustadzah sebagai pelaksana langsung ; 2) observasi, yaitu mengamati keberlangsungan dan keberhasilan dalam proses pembelajaran; 3) dokumentasi, untuk mengetahui bukti otentik perangkat administrasi mengajar guru/ustadz/ustadzah. 4) angket, untuk mengetahui peran guru/ustadz/ustadzah dalam memotivasi pelaksanaannya. <br /> Berdasarkan data di lapangan dengan pendekatan-pendekatan tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa ; 1). Pelaksanaan, berbeda-beda dalam mensikapinya, 2) Guru/ustadz/ustadzah, dituntut memiliki kompetensi. 3).Alat evaluasi sebagai tolok ukur untuk mendapatkan sertifikat sebagai syarat untuk mendaftarkan di SMP Negeri belum memiliki standarisasi, 4) Belum adanya TIM Evaluasi/Pengawasan/Monitoring persiapan program, pelaksanaan program, evaluasi dan tindak lanjut.5). Pendanaan Pelaksanaannya perlu ditinjau kembali. <br /> Hasil uji cross cek dan verifikasi dengan sampel sebagai subyek pelaksana langsung yaitu sebanyak 50 orang Kepala Sekolah, dengan menggunakan angket dapat disimpulkan bahwa; kompetensi guru/ustadz/ustadzah belum signifikan dalam menumbuhkan motivasi siswa. Hal tersebut desebabkan : 1) belum difahaminya tugas-tugas guru/ustadz/ustadzah, 2) kurang variatif dalam pemilihan metode pembelajaran, 3) belum optimal upaya menumbuhkan motivasi. Indikator lain dari jawaban kuisioner dengan pilihan pernyataan angket (kuiesioner) yaitu 1) tidak pernah, 2) jarang sekali, 3) kadang-kadang, 4) sering, 5) sering sekali. Hasil rata-rata (mean) data yang dianalisis dengan rumus Anas Sudijono. <br /> Faktor pendukung pelaksanaan terpadu ini 1) tersedianya perangkat administrasi mengajar, 2) setiap Sekolahan disamping memiliki seorang guru Pendidikan Agama Islam minimum didampingi seorang utadz/ustadzah yang semuanya telah mengikuti Training of trainer (TOT). 3) juga didukung oleh beberapa instansi yang terkait baik negeri maupun swasta, 4) tersedianya dana dari pemerintah daerah melalui APBD. Sedangkan yang menjadi faktor kendala adalah : 1) Sebagian besar guru/ustadz/ustadzah yang telah mengikuti training of trainer (TOT) belum memahami tugas-tugasnya, 2) tidak adanya alat evaluasi yang terstandarisasi, 3) minimnya bidang pendanaan khususnya bagi ustadz/ustadzah cairnya danapun tidak bisa rutin, 4) penyelenggaran gerakan terpadu anak-anak yang biasanya kegiatan TPQ pada sore hari mengalami kemunduran bahkan ada beberapa TPQ harus gulung tikar. <br /><br />KATA PENGANTAR<br /><br /><br /><br /> Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan, Sholawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga dan sahabat-sahabanya, serta kepada seluruh pengikutnya sampai akhir zaman nanti. Penelitian ini dalam rangka menyelesaikan perkuliahan program pascasarjana Magister Studi Islam pada Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan judul : Studi Tentang Pelaksanaan Gerakan Terpadu Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian Bagi Siswa SD Di Kabupaten Purworejo Tashun 2003 – 2007 <br /> Maksud dan tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja yang belum dapat penekanan pelaksanaan Gerakan Terpadu Pembinaan Anak Beriman dan Berkepribadian Bagi Siswa SD di Kabupaten Purworejo Tahun Pelajaran 2003-2007. Juga mengetahui kendala apa saja yang berkenan dengan program pembinaan anak beriman dan berkepribadian bagi Siswa SD di Kabupaten Purworejo Tahun Pelajaran 2003- 2007, kemudian dipadukan dengan teori yang ada sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan suatu penemuan baru yang lebih aplikatif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan, terutama kepada para pengelola yang terkait dalam instruksi Bupati Purworejo tentang gerakan terpadu pembinaan anak beriman dan berkepribadian bagi siswa SD di Kabupaten Purworejo. <br /> Sehubungan dengan telah selesainya penelitian ini, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat : <br />1. Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dr. H. M. Wahyuddin, M.S. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan.<br />2. Ketua Program Magister Studi Islam Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Dr. H. M. Muinudinillah Basri, MA. yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.<br />3. Pembimbing dalam penulisasn tesis ini, yaitu Dr. H. M. Muinudinillah Basri, MA. dan Drs. H. Syamsul Hidayat, MA. Yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat waktu.<br />4. Bupati Purworejo dan TIM perencana/pelaksana program kegiatan terpadu pembinaan anak beriman dan berkepribadian bagi siswa SD di Kabupaten Purworejo beserta Bapak Kepala Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan (KPAP) yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di Kabupaten Purworejo.<br />5. Dosen, Guru Besar, serta rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu namanya yang telah membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.<br /> Semoga tesis ini bermanfaat bagi usaha peningkatan kualitas penyempurnaan instruksi Bupati Purworejo tentang Gerakan Terpadu Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian Bagi Siswa SD Di Kabupaten Purworejo untuk tahun yang akan datang, dan pemerhati pendidikan pada umumnya.<br /> Surakarta, 20 Agustus 2007<br /><br /> Tri Hantoro<br />DAFTAR ISI<br /><br />Halaman<br />HALAMAN JUDUL i<br />HALAMAN NOTA PEMBIMBING I ii<br />HALAMAN NOTA PEMBIMBING II iii<br />HALAMAN PENGESAHAN iv<br />HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS v<br />HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN vi<br />ABSTRAK vii<br />KATA PENGANTAR viii<br />DAFTAR ISI x<br />DAFTAR LAMPIRAN xiii<br />BAB I PENDAHULUAN 1<br /> A. Latar Belakang Masalah 1<br /> B. Identifikasi Masalah 4<br /> C. Perumusan Masalah 5<br /> D. Tujuan Penelitian 5<br /> E. Manfaat Penelitian 6<br /> G. Telaah Pendahuluan 6<br /> H. Sistematika 9<br /><br />BAB II KAJIAN TEORITIK TENTANG GERAKAN TERPADU PEM-<br /> BINAAN ANAK BERIMAN DAN BERKEPRIBADIAN BAGI<br /> SISWA SD DI KABUPATEN PURWOREJO. 11<br />A. Kerangka Pemikiran/Konsep Pembinaan Anak Beriman .... 11<br />B. Konsep Anak Beriman Dan Berkepribadian .... 18<br />C. Model-model Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian 31<br /> D. Kompetensi Guru Dalam Pembinaan Anak Beriman Dan Ber-<br /> kepribadian 37<br />E. Evaluasi Dan Analisa Kebijakan 44<br /> <br />BAB III METODOLOGI PENELITIAN 49<br /> A. Pendekatan Penelitian 49<br /> B. Subyek Penelitian 50<br /> C. Teknik Pengumpulan Data 52<br /> D. Teknik Analisa Data 55<br /> <br />BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 58<br /> A. Diskripsi Kabupaten Pusworejo 58<br /> B. Implementasi Gerakan Terpadu Pembinaan Anak Beriman - <br /> Dan Berkepribadian Bagi Siswa SD Di Kabupaten Purworejo 61<br />1. Pengertian Tujuan Dan Ruang Lingkup 61<br /> 2. Proses Persiapan Dan Pelaksanaan 62<br /> 3. Tenaga Fungsional Proses Pembinaan 65<br /> 4. Lembaga TKA/TPA 67<br /> C. Deskripsi Kompetensi Guru/Ustadz/ustadzah Dalam Proses<br /> Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian 72<br /><br />D. Analisis Tentang Penekanan Pelaksanaan Gerakan Terpadu -<br /> Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian 97<br />E. Faktor Pendukung dan Kendala Dalam Pelaksanaan Gerakan<br /> Terpadu Pembinaan Anak Beriman Dan Berkepribadian 102<br />F. Tanggapan Masyarakat Terhadap SK/Kebijakan Bupati 106<br /><br />BAB V PENUTUP 109<br />A. Kesimpulan 110<br />B. Saran-Saran 113<br />C. Usulan Penulis Terhadap Solusi Kendala 119<br /><br />DAFTAR PUSTAKA 120<br />LAMPIRAN-LAMPIRANtrihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-4571287514370328962009-04-10T02:44:00.000-07:002009-04-10T02:49:40.524-07:00<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-DqSVGI3OR-oOuDcc6JQoibwUV-OFmo2eSBTl7LaEI3XFvrnqJQVuBGFmNd0FW-7ZyLIYsecs9LfYi0LNELeSpyiPycUmvB_q6cTjK-E1wJ6_BBbIKea2YEypU7K-9wYWAi05stciFIt2/s1600-h/FOTO+TRI+JAS+copy.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 150px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-DqSVGI3OR-oOuDcc6JQoibwUV-OFmo2eSBTl7LaEI3XFvrnqJQVuBGFmNd0FW-7ZyLIYsecs9LfYi0LNELeSpyiPycUmvB_q6cTjK-E1wJ6_BBbIKea2YEypU7K-9wYWAi05stciFIt2/s200/FOTO+TRI+JAS+copy.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5322997569894669922" /></a>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-32832550095068882702009-04-09T06:37:00.000-07:002009-04-09T06:43:15.689-07:00<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihbbKGpWNS6gu8lvo2-rkypyuSZTn8Uka632fZPmkcWn-9IikuWjo2cuJ4t68UDdekWtl2u1QVtvhjIy4VlR93vueQpcuh_szn4XvDhpUkOf5zhse6zzaqpinmNFmGsz5B9wLfMkWvGtu8/s1600-h/Sunset.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihbbKGpWNS6gu8lvo2-rkypyuSZTn8Uka632fZPmkcWn-9IikuWjo2cuJ4t68UDdekWtl2u1QVtvhjIy4VlR93vueQpcuh_szn4XvDhpUkOf5zhse6zzaqpinmNFmGsz5B9wLfMkWvGtu8/s320/Sunset.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5322686577204747538" /></a>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-38790535127947724802009-04-09T06:29:00.000-07:002009-04-09T06:31:55.145-07:00trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-60133035042090788382008-09-03T18:57:00.000-07:002009-04-13T06:28:50.047-07:00PEMBANGUNAN KARAKTER DAN AKHLAQ MULIA DIMASA REMAJAPEMBANGUNAN KARAKTER DAN AKHLAQ MULIA<br />DI MASA REMAJA<br /><br />A. Pendahuluan<br />Bahwa kemajuan dan martabat bangsa bukan hanya ditentukan oleh prestasi material semata, tetapi juga oleh kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa. Pembangunan kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa tersebut harus dilakukan secara serius, konsisten dan bersama-sama oleh seluruh potensi dan elemen bangsa. Bahwa generasi muda adalah potret masa depan bangsa, dan karena itu perlu mendapatkan perhatian, bimbingan dan peluang untuk tumbuh sebagai manusia Indonesia yang cerdas, berkarakter dan berkomitmen. Ikhtiar bersama untuk melakukan pembangunan akhlaq moralitas dan karakter bangsa dimaksudkan untuk kemajuan dan kemartabatan bangsa serta dilakukan dengan cara-cara yang baik dan berbudi. Yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju kepada suatu kebaikan sampai akhit hayat dengan prinsip mengasihi bukan menghakimi dan atau memusuhi, yang diwujudkan dalam bentuk kepekaan dan kepedulian untuk berbuat dan berjuang. Membangun karakter dan akhlaq mulia dalam ajaran Islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw bahwa rukun Islam itu terdiri dari 5 perkara. Sebagaimana Nabi bersabda yang artinya sebagai berikut :<br />"Islam itu dijadikan lima perkara yaitu meyakini/bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Aku (Muhammad saw) adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat/shodaqoh, menunaikan haji ke baitullah dan puasa di bulan Romadhon."<br />Dari hadits tersebut penulis jadikan acuan untuk membangun karakter dan akhlaq mulia, dan peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan pembangunan ini.<br /><br />B. Membangun Karakter di Masa Remaja<br />Fase ini dimulai dari ketika anak genap berusia tujuh tahun hingga empat belas tahun. Di masa ini anak tengah mempersiapkan dirinya untuk menjadi manusia matang dan satu anggota dari masyarakatnya. Pada fase ini, anak mulai menghilangkan kebiasaan meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa dan mulai memperhatikan alam dan lingkungan sekitarnya. Saat itulah daya pikir anak mulai terbuka dan mampu untuk berimajinasi dan menangkap banyak masalah yang tidak kasat mata. Ia mulai berpikir tentang dirinya sendiri. Ia memandang dirinya sebagai salah satu makhluk yang hidup, berdiri sendiri, dan memiliki kehendak yang lain dari kehendak orang lain. Cara yang dilakukannya untuk menunjukkan keberadaan dirinya itu seringkali berupa perlawanan dan penentangan terhadap apa yang selama ini biasa ia lakukan. Ia berusaha untuk menampakkan jatidirinya dengan menentang dan membuat keluarganya marah demi menunjukkan kepada mereka bahwa ia adalah dirinya. Anak seperti ini akan memilih jenis dan warna pakaiannya sendiri, ingin bebas menentukan pelajaran yang ia sukai, dan berhubungan dengan siapa pun yang ia sukai dan dengan cara semaunya. Pada masa inilah orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap pendidikannya karena kini ia tengah berada di awal hubungan sosialnya dalam lingkup yang lebih luas dengan masuknya ia ke sekolah. Sekolah sendiri berpotensi besar dalam membangun kepribadian anak dengan adanya banyak anak di sana yang masing-masing mempunyai tingkat kecerdasan dan kegesitan tersendiri. Anak akan tergugah untuk bersaing dengan mereka dan hal inisangat berpengaruh pada karakternya. Beberapa faktor penting yang berkaitan dengan pembangunan karakter anak dalam fase ini antara lain adalah pola interaksinya dengan ayah, ibu, dan seluruh anggota keluarga yang lain, keadaan fisiknya, seperti tinggi dan berat badannya, serta hal-hal yang didengar dan dipelajarinya. Kebutuhan anak di fase remaja ini berbeda dengan kebutuhannya di fase-fase sebelumnya. Hal ini harus diperhatikan oleh orang tua dan diusahakan untuk memenuhinya. Kebutuhan anak tersebut antara laina dalah sebagai berikut :<br />1. Kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, dan pakaian.<br />2. Kebutuhan psikis, seperti ketenangan jiwa dan emosi.<br />3. Kebutuhan terhadap penerimaan dirinya oleh masyarakat.<br />4. Kebutuhan terhadap perhatian dan penghormatan atas dirinya.<br />5. Kebutuhan untuk mempelajari banyak hal yang dapat memupuk bakatnya sebagai bekal menempuh perjalanan panjang kehidupannya.<br />6. Kebutuhan untuk mengenal pemikiran-pemikiran yang menjadi wacana dalam masyarakat dan mengenal isi dunia yang tentu saja disesuaikan dengan kemampuan dan kematangan anak seusia ini.<br />Anak perlu mendapatkan perhatian yang ekstra ketat dalam melewati fase yang rentan ini, tetapi tentu saja dengan tetap memberinya kebebasan yang merupakan salah satu kebutuhan aslinya. Memang, mendidik anak di masa ini sangat sulit sehingga diperlukan usaha dan keuletan yang lebih besar dari orang tua dalam mendidik, menjaga, dan mengintrol setiap gerak-gerik anak, termasuk pola berpikir, perasaan, dan pelajaran sekolahnya. Selain itu, ayah dan ibu harus memenuhi memenuhi semua keperluannya yang beraneka ragam. Anak pada masa ini tengah membutuhkan pengarahan intensif dari orang tuanya, juga bimbingan mereka dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh tantangan dan lika-liku ini. Berikut ini kami kemukakan hal-hal penting yang berhubungan dengan pendidikan anak di fase ini.<br />1. Pendidikan Ekstra Ketat<br />Mendidik anak dengan baik dan benar dan mengajarinya budi pekerti yang luhur merupakan tugas dan tanggung jawab yang berada di pundak ayah dan ibu. Di lain pihak, adalah hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang benar tersebut. Pada fase ini, anak sangat memerlukan perhatian dan pengawasan ketat dari orang tuanya. Karena itu, orang tua harus meluangkan waktu dan tenaga yang lebih besar. Karena fase ini merupakan fase yang sulit dalam kehidupan, ayah dan ibu harus mengangkat tangannya dan berdoa kepada Allah swt agar mendapat taufik dalam mengemban tugas mulia dan besar ini. Banyak riwayat yang menekankan kewajiban mendidik anak dengan baik dan menanamkan akhlak yang mulai kepadanya.<br />Rasulullah saw bersabda :<br />أكر موا أولادكم واحسنوا ادا بهم<br />Artinya : Hormatilah anak-anak kalian dan perbaikilah perangainya.<br /><br />Pendidikan di fase ini lebih penting pada fase-fase lainnya karena anak di usia ini relatif masih bersih dan belum tercemari sehingga mau mendengar dan menerima semua nasihat dan bimbingan. Karena itu, orang tua harus pandai-pandai mempergunakan kesempatan ini untuk mendidiknya dengan benar. Perlu dicatat, pendidikan yang ditekankan tidak lain adalah pendidikan dengan konsep Islami, yang menjadikan masalah penghambaan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya menjadi poros segala masalah kehidupan. Jika kedua orang tua mampu menerapkan metode pendidikan ini dengan tepat, dapat dipastikan bahwa si anak kelak akan menjadi anggota masyarakat yang baik. Sejarah mencatat bahwa Ahlul Bait a.s. senantiasa menerapkan metode yang tepat dalam mendidik anak-anak mereka. Anak-anak mereka dipersiapkan dan dididik secara sempurna sehingga ketika dewasa mereka memiliki akhlak mulia serta menjadi teladan dalam segala hal. Ali a.s contohnya. Beliau melewati masa kecilnya di rumah Rasulullah saw semasa beliau belum dilantik sebagai nabi.<br />Ketika Rasulullah berdakwah, Ali adalah orang yang pertama kali menyatakan keimanan. Keimanan beliau itu betul-betul tulus yang ditunjukkan dengan ketaatan mutlak terhadap Allah dan rasul-Nya. Ketika dewasa, beliau menjadi teladan tanpa tanding dalam hal keberanian, pengorbanan, kedermawanan, kerendahhatian, kejujuran, dan seluruh keutamaan akhlak lainnya. Pada gilirannya, Imam Ali kemudian mendidik anak-anaknya dengan cara yang serupa sehingga mengantarkan mereka sampai ke puncak kesempurnaan akhlak.<br />Demikian juga yang terjadi pada para imam berikutnya. Beban yang dipikul oleh orang tua dalam mendidik anak akan makin berat seandainya masyarakat tempat mereka tinggal makin jauh dari Islam. Atau, bisa jadi secara realitas masyarakat beragama Islam, tetapi bentuk kehidupan yang Islami tidak termanifestasikan di dalamnya. Penyebabnya bermacam-macam, seperti pengaruh tradisi dan sikap konservatif, atau pengaruh keracuan sistem pendidikan anak-anak, yang terutama biasa kita dapatkan dari media massa seperti radio, televisi, film, dan lain-lain. Perlu dicatat juga bahwa pendidikan jasmani anak termasuk ke dalam bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan jiwa, mental dan kepribadian. Bahkan factor ini bias disebut sangat penting sehingga Rasulullah sendiri bersabda :<br />علموا أولادكم السبا حة والر ما ية<br />Artinya : Ajarilah anakmu berenang dan memanah.<br />Di kalangan ilmuwan psikologi dan pendidikan sendiri sudah lama diketahui bahwa kesehatan badan sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa.<br /><br />2. Dorongan untuk Belajar<br />Pada fase ini, belajar adalah hal yang penting bagi anak-anak. Inilah saat yang tepat untuk memberikan dorongan belajar kepada mereka, mematangkan kekuatan akal, serta mewujudkan kecintaan hakiki mereka terhadap penguasaan ilmu. Pada masa ini, anak-anak memiliki potensi yang kuat untuk menghafal apapun yang sampai ke pendengarannya. Karena itu, proses belajar menjadi sangat penting untuk menanamkan berbagai pengetahuan dan membuatnya tetap melekat dalam ingatan anak. Berkaitan dengan hal ini. Rasulullah saw bersabda :<br />مثل الذي يتعلم في صغر كالنقش في الحجر<br />Artinya : Orang yang belajar di waktu kecil itu ibarat melukis di atas batu.<br />Demikian pentingnya pendidikan anak-anak sampai-sampai Rasulullah secara khusus berwasiat kepada orang tua.<br />مروا أولادكم بطلب العلم<br />Artinya : Perintahlah anakmu untuk mencari ilmu.<br />Bahkan menurut Rasulullah, pengajaran anak-anak adalah salah satu pintu rahmat Allah bagi orang tua mereka.<br />Dewasa ini, fungsi pengajaran baca tulis sudah dipegang oleh lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah. Tetapi, itu tidaklah berarti bahwa peran orang tua tidak lagi diperlukan. Dalam kondisi seperti ini, harus ada kerja sama di antara orang tua dan sekolah. Harus juga diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan di sini tentulah tidak sebatas pendidikan baca tulis. Segala hal yang memungkinkan untuk diajarkan kepada anak-anak, harus diajarkan. Jadi, pendidikan di sini meliputi seluruh bidang ilmu seperti kedokteran, humaniora, sastra, sejarah, filsafat, dan lain-lain. Yang juga tidak boleh dilupakan adalah pentingnya aspek pendidikan rohani dan ibadah. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw, bersabda tentang pentingnya pengajaran Al Qur'an.<br />... ومن علمه القر ان دعي بالابوين فكسيا حلتين تضي ء<br />من نورهما وجوه أهل الجنة<br />Artinya : Orang yang mengajarkan Al Qur'an itu kelak akan dipanggil dari dua pintu. Dia akan mengenakan dua pakaian yang memancarkan dua cahaya. Dari kedua cahaya itu tampaklah wajah penghubi surga.<br /><br />Maksud dari pengajaran Al Qur'an di sini adalah pengajaran yang komprehensif, dimulai dari pengajaran membaca secara benar sesuai dengan kaidah bahasanya. Berikutnya, si anak harus didorong untuk menghafal beberapa ayat dengan memperhatikan tingkat kemampuan akal seorang anak kecil. Setelah itu, mereka juga perlu diajari tafsir beberapa surat yang relevan dengan kebutuhan anak, terutama yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak, atau juga hal-hal yang berhubungan dengan hokum-hukum syar'iy (ibadah dan muamalah). Berikutnya, pada fase inilah si anak harus mulai diperkenalkan pada tata cara beribadah. Yang pertama kali harus diajarkan adalah tata cara wudhu dan shalat.<br /><br />3. Melatih Anak untuk Patuh<br />Sikap patuh itu sebenarnya mudah dilakukan. Namun untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan, diperlukan latihan. Anak perlu bantuan khusus dari orang tua dalam hal melatih diri bersikap patuh sehingga berbagai macam kesulitan yang mungkin ada pada kepatuhan itu bisa diminimaliasi. Atau lebih jauh lagi, si anak tidak merasa asing dengan kepatuhan dan mampu mengadaptasikannya dengan watak dan budi pekertinya sehingga kepatuhan itu menjadi kebiasaan sehari-hari. Diharapkan, kelask si anak akan melaksanakan berbagai macam bentuk kepatuhan dengan gembira, tanpa desakan, keterpaksaan, atau sikap malas. Metode yang ditawarkan Islam dalam melatih kepatuhan anak sangat memperhatikan kemampuan akal dan fisik si anak. Sebagai contoh dalam hal latihan melaksanakan shalat, Rasulullah saw bersabda :<br /><br /><br />مروا صبيانكم بصلا ة إذا بلغوا سبع سنين واضربو هم على تركها<br />إذا بلغوا تسعا<br />Artinya : Biasakanlah anak-anak untuk shalat ketika usianya mencapai tujuh tahun. Jika sampai usia sembilan tahun si anak masih meninggalkan shalat pukullah.<br /><br />Memukul yang dimaksudkan dalam hadis ini bisa dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu dalam bentuk pukulan fisik atau bisa juga berarti penunjukan sikap marah. Pukulan memang bisa berdampak negatif kepada anak. Akan tetapi, dampaknya itu akan segera hilang, dan itu artinya dampaknya ini sama sekali tidak berarti apa-apa jika dibandingkan kepentingan yang lebih besar yaitu pelatihan shalat. Metode pelatihan shalat yang terbaik adalah dengan memperhatikan tingkat kemampuan anak-anak. Artinya, mereka jangan sampai dibebani porsi yang sangat berat karenaitu akan menyebabkan ketidaksenangan terhadap shalat serta akan membangun dinding jiwa yang memisahkannya dengan shalat. Diriwayatkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin a.s. menyuruh anak-anak untuk melakanakan shalat Dzuhur dan Asar di satu waktu, demikian juga dengan shalat Maghrib dan Isya'. Ketika hal tersebut ditanyakan kepadanya. Dengan demikian, waktu anak-anak itu tidak terambil kecuali untuk shalat-shalat yang diwajibkan. Padatahap pertama, anak-anak hanya boleh shalat-shalat yang diwajibkan. Pada tahap pertama, anak-anak hanya boleh dilatih untuk mengerjakan shalat-shalat wajib. Jika sudah terbiasa dan tumbuh rasa senang, seiring dengan pertambahan usia, mereka lama-kelamaan akan terbiasa pula mengerjakan shalat-shalat sunnah. Berkaitan dengan ibadah puasa, anak-anak harus sudah dilatih mengerjakannya pada usia tujuh tahun. Ketika usia mereka bertambah, porsi latihan bias ditambah dengan memperhatikan kesiapan mental dan batas kemampuan fisik. Jika seorang anak sudah melatih diri melakukan puasa pada usia-usia aal, bias dipastikan bahwa dia tidak akan lagi menganggap puaa sebagai beban tugas yang memberatkannya. Jenis latihan ketaatan yang lainnya adalah berkenaan dengan ibadah haji. Disunnahkan untuk melatih anak-anak melakukan ibadah ini. Cara melatih kepatuhan anak yang lain yang juga disunnahkan adalah dengan melatihnya berbuat kebajikan, seperti bersedekah kepada fakir miskin. Dampak positif lain dari latihan bersedekah adalah bahwa latihan ini bias menjadi metode terbaik dalam mendidik mereka untuk tidak terikat kepada hal-hal yang duniawi. Rasa cinta kepada harta juga akan banyak tereduksi dari jiwa anak dan tentu saja hal ini juga akan menumbuhkan rasa empati kepada fakir miskin. Tidak diragukan lagi bahwa latihan ibadah sejak kecil yang dilakukan oleh seorang anak akan menumbuhkan kebiasaan yang kelak akan dilakukan terus menerus olehnya ketika sudah dewasa. Dengan pembiasaan itulah mereka akhirnya mendapatkan rasa senang dan punya dorongan untuk melakukannya. Karena itu, orang tua harus selalu memberikan dorongan kepada anak-anak agar membiasakan diri taat menjalankan perintah agama dengan cara yang paling efektif, mungkin dengan pemberian perhatian, pujian, atau bisa juga dengan pemberian hadiah (bisa berupa materi atau spiritual).<br /><br />4. Pengawasan Anak<br />Pada fase ini, keberhasilan pendidikan anak juga mensyaratkan adanya pengawasan orang tua terhadap mereka. Anak-anak perlu diarahkan kepada hal-hal yang benar dan baik. Mereka juga memerlukan pengawasan dalam hal cara berpikir, serta pengembangan imajinasi dan humanisme. Tentu saja, semua bentuk pengawasan itu harus dilakukan dengan cara yang benar jangan sampai membebani si anak. Dalam waktu-waktu tertentu, sebaiknya orang tua melakukannya dengan cara seakan-akan dia adalah seorang kawan yang sedang mencoba membantu si anak dari kesulitan yang ia hadapi. Pengawasan dalam hal pergaulan anak perlu lebih ditekankan dibandingkan dengan pengawasan di rumah. Orang tua harus memilihkan kawan-kawan bermainnya. Usahakan supaya kawan-kawannya itu hanyalah yang saleh-saleh. Terkadang, penjelasan dan nasehat tidak begitu berguna. Untuk itu, pemberian hukuman bias menjadi cara yang efektif. Mereka juga harus dilatih untuk instrospeksi dan mau menerima koreksi. Lebih jauh lagi, harus tertanam di benak mereka konsep pengawasan yang dilakukan Allah. Konsep ini sangat efektif sebagai tameng yang akan mencegah anak dari penyelewengan walaupun pengawasan dari orang tua tidak ada. Pada dasarnya, pengawasan adalah kewajiban ayah dan ibu. Mereka berdua memiliki porsi tugas yang disesuaikan dengan kemampuan dan pengalaman hidup. Karenanya, mereka berdua harus saling membantu. Akan tetapi, karena biasanya ayah lebih sering berada di luar rumah, porsi tugas pengawasan seorang ibu terhadap anaknya (baik anaknya itu laki-laki ataupun perempuan) terkadang menjadi lebih besar. Hal openting lain yang harus diperhatikan adalah bahwa jangan ampai si anak merasa tidak diacuhkan oleh orang tuanya. Kondisi pengawasan melekat harus selalu terjaga. Orang tua terkadang bisa meminta bantuak pihak-pihak lain untuk ikut mengawasi anaknya terutama dalam situasi yang di sana orang tua tidak bisa melakukannya. Dalam hal ini, mereka bisamemberikan kepercayaan kepada famili dan kawan terdekat. Demikian juga sekolah-sekolah dan institusi tempat si anak beraktivitas sosial memiliki peran pengawasan yang sangat besar dalam pendidikan si anak agar ia tidak terjerumus ke dalam penyimpangan perilaku.<br /><br />5. Pencegahan atas Perilaku Asusila<br />Perilaku asusila termasuk di antara perilaku yang sangat berbahaya yang mengakibatkan berbagai krisis sosial. Karena itu, Islam sangat memperhatikan masalah ini secara khusus dengan mengajarkan cara-cara pencegahan dan terapi seandainya perilaku itu sudah terbentuk. Di sinilah tanggung jawab dan peran orang tua harus dijalankan dengan sungguh-sungguh karena pendidikan dalam rangka menghasilkan kesucian jiwa dan kesalehan anak-anak adalah tugas terpenting mereka. Rasulullah saw bersabda :<br />من حق الولد على والده أن يخسن اسمه إذاولدوأن يعلمه الكتا بة إذا كبر,<br />وان يعف فر جه إذا أدرك<br />Artinya : Hal-hal berikut ini adalah termasuk hak yang dimiliki seorang anak atas ayahnya, yaitu bahwa ayahnya memberinya nama yang bagus ketika lahir, mengajarkan kepadanya baca tulis ketika beranjak besar, serta menyusikan kehormatannya dari perilaku asusila ketika sudah mengenal masalah seksual.<br /><br />Pendidikan yang berkaitan dengan penjagaan kesucian ini dilakukan dengan melakukan langkah-langkah pencegahan atas gejala asusila. Langkah-langkah ini harus dimulai sejak si anak belum mencapai usia baligh. Langkah pertama adalah menjauhkan anak-anak dari segala sesuatu yang bisa mengobarkan hasrat seksual. Mereka juga harus dijauhkan dari pengetahuan yang merangsang imajinasi. Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan memisahkan tempat tidur anak-anak.<br />Rasulullah saw juga bersabda :<br />الصبي والصبي, والصبي والصبية, والصبية والصبية يفرق بينهم<br />في المضاجع لعشر سنين<br />Artinya : Ketika sudah mencapai usia sepuluh tahun, pisahkan tempat tidur anak-anak, baik antara anak laki-laki, laki-laki dan perempuan, atau antara anak anak perempuan.<br /><br />Tentu saja yang dimaksud di sini adalah larangan ciuman dri orang-orang lain bukan dari keluarga sendiri seperti ayah, ibu, paman, dan semua famili yang termasuk ke dalam muhrim. Karena itu, larangan ini juga berlaku buat anak laki-laki.<br />Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda :<br />... والغلام لايقبل المر أة إذا جاز سبع سنين<br />Artinya : Jika seorang anak laki-laki telah berusia tujuh tahun, jangan biarkan ia mencium perempuan.<br /><br />Jika perilaku tindakan asusila ini telah terjadi, orang tua bisa saja menjatuhkan hukuman sampai batas yang kira-kira membuat si anak jera dan tidak mengulanginya. Kita juga harus betul-betul mengawasi anak-anak terhadap segala hal yang memungkinkan terciptanya gejolak jiwa. Dewasa ini, hal-hal tersebut akan sangat mungkin terjadi karena mereka dikepung dengan aneka cerita, gambar, film, dan segala hal yang berpotensi merusak kesucian jiwa. Karena itu, sebagai bentuk pencegahan atas kemungkinan terjadinya perilaku asusila, kita harus mengawasi mereka manakala sendirian ataupun ketika mereka bersama orang lain.<br /><br />6. Menciptakan Hubungan dengan Teladan yang Baik<br />Di akhir periode ini, anak-anak akan punya kecenderungan yang sangat kuat untuk meniru apapun yang ada pada diri kebanyakan orang turutama mereka yang menjadi lingkingan baginya. Para psikolog menamai sebuah gejala kejiwaan dari seorang anak pada usia ini yang selalu ingin meniru orang lain secara fisik dengan istilah "peniruan". Keinginan ini sangat cepat timbulnya dan akan cepat juga berhenti ketika sumber peniruan itu tidak ada. Para psikolog berpendapat bahwa pada dalam diri setiap manusia terdapat kebutuhan untuk memiliki idola. Kebutuhan ini angat signifikan. Dalam pandangan para psikolog itu, kepribadian idela yang menjadi idola bagi tiap manusia itu akan sangat bermacam-macam dan bergantung kepada berbagai faktor, seperti fisik, kejiwaan, dan sosial. Idola itu sangat mungkin kemudian akan diejawantahkan dalam paradigma dan cita-cita hidupnya. Karena itu, si anak tetap memerlukan contoh dan teladan dalam kehidupannya. Dalam hal ini, idola terbaik tentulah pribadi-pribadi agung yang bisa mereka dapatkan dalam diri orang-orang terdahulu. Mereka adalah para nabi, ahlul bait Rasulullah, sahabat dan tabi'in yang shalih, serta para ulama terdahulu. Merekalah teladan dalam berbagai keutamaan sifat serta kehormatan jiwa. Peneladanan anak-anak kepada merka inilah yang akan membentuk kepribadian mulia, mengikuti apa yang mereka teladani. Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban untuk mengarahkan pandangan, pikiran, dan kecenderungan anak-anak ke arah pribadi-pribadi teladan sejak Nabi Adam a.s. hingga orang-orang mulia zaman sekarang. Pada diri mereka terdapat teladan-teladan yang secara histories memiliki konteks yang khas, tetapi semuanya mengandung nilai kemuliaan, kebajikan, dan kepemimpinan dalam hidup.<br />Keteladanan yang suci tersebut memiliki pengaruh dan tempat yang mulia di seluruh sudut kehidupan anak-anak. Dampak dari peneladanan itu akan termanifestasikan dalam kepribadian, mental, logika, dan paradigma hidup mereka. Pada gilirannya, hal ini akan mendorong si anak untuk mencapai posisi tinggi sebagaimana yang telah dicapai oleh orang-orang saleh yang mereka teladani.<br /><br />C. Kesimpulan<br />Bahwa pembangunan karakter dan akhlaq mulia, kemajuan dan martabat bangsa bukan hanya ditentukan oleh prestasi material semata, tetapi juga oleh kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa. Pembangunan kekuatan akhlak, moralitas dan karakter bangsa tersebut harus dilakukan secara serius, konsisten. Para orang tua sangat menentukan karena anak sholeh merupakan amanat dari Allah swt kepada orang tua sebagai salah satu amal yang dapat dibawa sampai di akherat kelak. Semoga Allah swt meridhinya. Amin.trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-50009325225390592692008-08-28T00:34:00.000-07:002008-08-28T07:53:39.444-07:00PERUBAHAN IAIN MENJADI UIN<div align="justify">A. PENDAHULUAN<br />1. Latar Belakang<br />Cara memandang ilmu pengetahuan vis a vis agama secara dikotomik sudah sejak lama ditinggalkan orang. Bahkan dalam sejarah pemikiran Islam, jalan pikiran seperti itu ditengarai menjadi sebab terjadinya kemunduran umat Islam sejak abad 12 yang lalu. Orang Islam yang mempersepsi bahwa ajaran Islam hanyalah mencakup fiqih, tauhid, akhlaq-tasawuf, tarikh dan sejenisnya, disadari atau tidak telah menjadikan umat Islam tertinggal dari komonitas lainnya.(Prof.Dr.Imam Suprayogo) Kemajuan peradaban umat manusia, sekalipun hal itu penting, bukanlah dihasilkan oleh kemajuan ilmu agama, melainkan oleh teknologi, kedokteran, perbankan, geologi, astronomi, fisika-kimia, manajemen dan seterusnya. Setidak-tidaknya, sumbangan ilmu fiqih, tauhid dan akhlaq dalam membangun peradaban dunia, sekalipun ada, tidak sebesar yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />Melihat dan menyadari kenyataan itu, tidak lantas kemudian para pemikir Islam menafikan peran dan fungsi ajaran Islam. Ajaran Islam yang bersumber al qur’an dan al hadits tetap diyakini kebenarannya. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia juga dipandang memiliki kekuatan dalam memajukan peradaban ini. Bertolak dari penglihatan seperti itu, muncul pertanyaan: “Adakah yang salah dari cara memandang agama pada satu sisi dan ilmu pengetahuan modern pada sisi lainnya”?<br />Komitmen yang mendasari perubahan IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah integrasi keilmuan agama dan umum. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dewasa ini upaya untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum terus bergulir tiada henti. Munculnya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan telah mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan sosial, agamawan, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Konsep yang pertama kali digulirkan oleh Al-Faruqi dimaksudkan sebagai “filter” terutama terhadap “ilmu-ilmu produk barat” yang melenceng jauh dari norma-norma Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Al Faruqi (1982) dalam Islamic of Knowledge, ada beberapa kerangka kerja yang digunakan untuk merumuskan praktek Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu ;<br />1). Penguasaan disiplin ilmu modern.<br />2). Penguasaan akidah dan nilai-nilai Islam<br />3). Penentuan relevansi antara akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern<br />4). Pencarian sintesa kreatif antara unsur-unsur akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern<br />5). Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.<br /><br />2. Rumusan Masalah.<br />Untuk lebih memfokuskan paparan permasalahan pada makalah ini penulis membatasi pada rumusan masalah sebagai berikut;<br />Mengapa IAIN/STAIN harus berubah menjadi UIN, dan bagaimana integrasi kurikulumnya ?.<br />Sejauh mana IAIN/STAIN dalam mensikapi perubahan tersebut?<br /><br />3. Metodologi<br />Makalah ini disusun menggunakan metode telaah pustaka, dengan cara mengutip pendapat dari tulisan yang telah dibaca, kemudian ditelaah dan dianalisis sesuai dengan kemampuan penulis.<br />Untuk pengumpulan data pada makalah ini digunakan metode pengumpulan data literer, yakni dengan terlebih dahulu menelusuri buku – buku yang ada relevansinya dengan masalah – masalah yang dibahas dan melalui jaringan internet untuk dikaji guna mencari landasan upaya pemecahan persoalan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />B. PEMBAHASAN MASALAH<br /><br />1. Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN.<br />Sebuah pertanyaan yang sangat amat sederhana tetapi membutuhkan jawaban yang sangat cerdas. Mengapa STAIN/IAIN harus berubah menjadi UIN?.<br />Status sebagai STAIN hanya memungkinkan lembaga ini menangani dan menekuni satu bidang keilmuan saja, seperti tarbiyah saja, atau syariah saja; sedangkan status IAIN memberikan ruang yang lebih besar, yakni menangani bidang-bidang keilmuan yang beragam, namun keragaman bidang kajian itu hanyalah dalam lingkup kajian Islam. Sehingga baik dalam status STAIN maupun IAIN, secara konseptual semua itu tidak relevan dengan keyakinan dasar Islam yang menyatakan sebagai agama universal. Konsep Islam Universal dalam wadah Universitas Islam Negeri (UIN) mewujudkan integrasi dan sintesis ilmu-ilmu keislaman (agama) dengan ilmu-ilmu umum (sains) dalam sebuah bangunan peradaban Islam. Dalam hal ini, ilmu-ilmu keislaman, seperti tarbiyah, ushuluddin, syariah, dakwah, adab, dan lainnya, diperankan sebagai basis keilmuan. Pada basis keilmuan ini, Wahyu al-Qur’an dan al-Hadits-yang melahirkan ilmu-ilmu keislaman-diletakkan berdampingan dengan akal, observasi, dan eksperimentasi yang melahirkan ilmu-ilmu alamiah, atau ilmu-ilmu umum. Dua sisi basis keilmuan ini diperankan dan diaktifkan secara serempak untuk melahirkan bidang-bidang keilmuan alam, sosial, dan humaniora. Dari tiga bidang keilmuan ini akan lahir berbagai disiplin ilmu yang mencerminkan kesemestaan Islam. Dari bidang ilmu alam akan lahir ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu alamiah lainnya; dari bidang sosial akan lahir ilmu psikologi, Sosiologi, Sejarah, Hukum, Manajemen, dan lain-lain; sedangkan dari bidang Humaniora akan lahir ilmu-ilmu filsafat, seni, bahasa, sastra, dan lain-lain. Semua bidang dan disiplin keilmuan ini akan menjadi bagian integral dari proses pendidikan Islam ketika IAIN/STAIN sudah berubah menjadi UIN. (Hady, 2004:5-6).<br />Meskipun berubahnya sebagian IAIN/STAIN menjadi UIN secara legal-formal sudah terwujud dengan turunnya SK Presiden, masing-masing IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN Sultan Syarif Qasim Riau. Salah satu perubahan yang paling tampak dari pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN adalah penambahan fakultas serta perluasan disiplin dan bidang kajian. Fakultas yang sebelumnya hanya terkait dengan disiplin keilmuan dasar Islam, seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, Dakwah, dan Adab kemudian ditambah dengan beberapa fakultas yang mengkaji disiplin keilmuan yang tidak berkaitan langsung dengan disiplin dasar Islam, seperti Sains dan Teknologi, Ekonomi, Psikologi, Humaniora dan Budaya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwasannya dalam konteks UIN tidak membedakan adanya fakultas agama dan fakultas umum. Dalam hal ini akan dibuktikan pada struktur keilmuan yang dikembangkan di UIN tersebut, yakni semua mahasiswa-baik jurusan agama maupun jurusan umum-akan mendapatkan Mata Kuliah Ciri Khusus (MKCK) UIN meliputi Studi al-Qur’an, Studi Hadits, Studi Fiqh, Tasawuf, Teologi, Bahasa Arab dan lain-lain. Sehingga diharapkan output/ lulusan UIN akan menyandang gelar “Ulama yang Intelek Professional dan Intelek Profesional yang Ulama” Dalam pengamatan penulis, satu hal yang masih membutuhkan kerja keras kita dalam rangka benar-benar mewujudkan gerakan Islamisasi ilmu Pengetahuan, yaitu Kurikulum yang dikembangkan di UIN harus berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan di PT umum atau PT Islam yang telah lama berkembang. Berkaitan hal ini, penulis setuju dengan konsep yang dibangun ketika IAIN/STAIN berubah menjadi UIN, yakni UIN merupakan Perguruan Tinggi yang berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum dan bahkan berbeda dengan Perguruan Tinggi Islam yang telah ada sekarang. Kalau kita melihat perbedaan dengan Perguruan Tinggi Umum memang sudah nampak kelihatan, tetapi bagaimana perbedaan dengan Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama berkembang. UIN haruslah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan Perguruan Tinggi Umum. Bahkan juga tidak harus sama dengan Universitas Islam sejenis yang sudah lama berkembang. Dengan hadirnya UIN harus dapat memberikan banyak peran dan inovasi baru yang dapat ditawarkan. Atau dengan kata lain kehadiran UIN harus berani tampil beda dibandingkan dengan universitas lain yang selama ini masih dalam kompetensi institusi keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik dan moral. Berani tampil beda merupakan tantangan, sekaligus merupakan kesempatan mencari peluang-peluang baru sehingga peran-peran yang dimainkan akan terasa baru yang selama ini belum tergarap secara maksimal oleh perguruan Tinggi yang sudah ada. Kurikulum yang dikembangkan selama ini di PT Islam masih diwarnai dengan adanya dikotomisasi ilmu, hal ini dibuktikan masing-masing keilmuan (baca; mata kuliah) masih berdiri sendiri-sendiri. Harapan dengan lahirnya UIN adalah dalam kurikulum tidak ada lagi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, UIN harus mampu mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam setiap mata kuliah yang menjadi lahan garapannya, UIN harus mampu mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Dengan hadirnya UIN, sebagaimana yang dikatakan Zainuddin (2004:17) maka diharapkan dapat mencetak sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yakni keunggulan di bidang Sains dan Teknologi sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman. Misalkan di Fakultas Sains dan Teknologi mahasiswa diberikan mata kuliah Studi al-Qur’an, maka seharusnya materi yang diberikan tentu akan berbeda dengan materi yang diberikan pada mahasiswa Fakultas Syariah. Mata kuliah studi al-Qur’an bagi mahasiswa Sains dan Teknologi harus digunakan sebagai landasan/pijakan dalam rangka menggali ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam raya. Atau dengan kata lain materi yang diberikan kepada mahasiswa Sains dan teknologi adalah berkutat pada ayat-ayat tentang kekuasaan Tuhan, proses penciptaan manusia, kesehatan, reproduksi, lingkungan dan lainnya meskipun tidak mengesampingkan materi dasar tentang ketauhidan/keislaman. Di Fakultas Ekonomi materi al-Qur’an yang diberikan juga harus bersentuhan berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti: jual beli, riba, manajeman, dan lainnya. Begitu juga di Fakultas Psikologi harus benar-benar berbeda dengan kurikulum di Fakultas Psikologi PT Umum/PT Islam yang sudah berkembang lebih dulu. Bahkan boleh jadi kurikulum UIN Jakarta akan berbeda dengan kurikulum yang diterapkan di UIN Malang atau UIN Yogyakarta, begitu sebaliknya. Sehingga kurikulum yang ada benar-benar terintegrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dan yang lebih penting adalah kurikulum yang digunakan harus mampu menjawab pelbagai problem yang muncul di masyarakat. (<a href="http://www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125">www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125</a>)<br /><br />2. Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kehawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru<br />Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagai mana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin?. Mengapa harus berubah menjadi “Universitas” ? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang disandangnya selama 53 tahun (1951-2004)? Akankah struktur keilmuan , kurikulum dan silabinya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan? Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur struktur mata kuliah, kurikulum dan silabi pada prodi-prodi umum di UIN dan Universitas Umum yang lain? Bagai mana pola pembinaan dan Pengembangan dan Pengembangan minat dan bakat, ketrampilan dan kepribadian mahasiswa? Dan berbagai pertanyaan yang lain?<br />Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul, Pertama, yang harus digaris bawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, namun tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan penegasan itu, maka sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Isam masih tetap menjadi tugas utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh Winder mandate-nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik okus penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang adapada universitas.<br />Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini ( fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin), dari semula berdiri memanag telah dengan sengaja dibina, dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Sampai sekarang, masing-masing fakultas telah mempunyai sejumlah tenaga pengajar yang cukup kuat, dan dosen-dosen tetap bergelar magister dan doctor cukup memadahi. Usaha untuk mengembangkan tenaga pengajar yang sudah ada tetap berlangsung hinga sekarang baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarangtidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemology baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana sini, sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.<br />Ketiga, dalam rancang bangunfakultas yang berada dibawah UIN akan mengalami perubahan sesuai dengan prinsip dasar “Miskin struktur, kaya fungsi” seperti yang diminta oleh Kementrian Pndidikan Nasional saat meng-verifikasi prodi-prodi umum yang diusulkan untuk dibuka di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 Desember 2003 dan deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) saat melakukan rapat interdepartemental untuk membahas draft rancangan Keputusan Presiden pada tanggal 11 Maret 2004. Dalam diskusi forum think tank IAIN yang melibatkan seluruh pimpinan fakultas dan institut dan para pakar di IAIN sampai pada kesimpulan bahwa untuk memperkuat fakultas yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada fakultas – fakultas yang ada sekarang ini. Untuk sementara,fakultas-fakultas yang ada sekarang aklan berubah nama sebagai berikut:Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin, Sains dan Tehnologi serta Sosial dan Humaniora. Nama 5 Fakultas yang lama masih sama seperti ketika masih berada di IAIN, tetapi berbeda dari segi muatan metode, pendekatan serta sistem pembelajaran.<br />Keempat, berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika Sekolah Tinggi hanya menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah, maka perjalanan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) yang membuka lebih dari satu bidang ilmu sebenarnya menyalahi aturan dan nomenklatur yang biasa dikenal di lingkungan pendidkan tinggi. Sedang Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu (seperti yang ada pada IAIN sekarang, yaitu keilmuan Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin). Adapun Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial maupun humaniora.<br />Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daipada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupuin luar negeri menjadai terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat. Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah peneilitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.<br /><br /><br />3. Beberapa Perguruan Tinggi STAIN/IAIN dalam mensikapi perubahan menjadi UIN.<br />3.1. Idealisme UIN Malang ke Depan<br />Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Malang bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata, melainkan yang justru lebih diutamakan adalah tataran perilaku warga kampus. Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika UIN Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam pengabdian dan pergaulannya ditengah-tengah masyarakat. Islam membimbing mahluk manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh (kaffah),lahir dan bathin, keselamatan dunia dan akhirat,meliputi pengembanagan aspek spiritual,akidah,akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian,kasih sayang,keindahan dan kebersihan,hemat dan tidak boros,dapat dipercaya atau amanah dan istiqomah.Pilar-pilar itu disebut sebagai arkan al-jami’ah (rukun perguruan tinggi)yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu:<br />1. Tenaga dosen, yakni dosen yang mumpuni, baik dari sisi akhlak,spiritual,latar belakang pendidikan,jabatan akademik, dan kualitas serta kuantitas produktivitasnya.<br />2. Masjid,masjid dimaknai sebagai wahana pengembanaganspiritual, tempat berupaya bagi siapa saja termasuk warga kampus untuk mendekatkan diri pada Allah secara berjamaah.Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbol kekayaan spiritual umat islam yang kering makana karena tempat ibadah itu kurang maksimal dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan spiritual,maupun intelektual.<br />3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kukuh. Kultur yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa islami. Bentuk konkretnya adalah kebiasaan melakukakn shalat berjamaah, tadarus Al-Quran,shalat malam,menghargai waktu,disiplin, menghormati sesama kolega, menghargai ilmu sampai pada karakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan manajemen modern ebagai produk ilmu pengetahuan.<br />4. Perpustakaan.UIN Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan yang unggul,baik dari sisi koleksi maupun pelayanan.<br />5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam,UIN Malang menyadari betapa kitab suci Al-Quran dan hadist nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh melalui observasi,ksperimen maupun olah akal yang cerdas.<br />6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah,berupa ruang kuliah,ruang dosen tempat diskusi, dan lain-lain.<br />7. Tempat pelayanan administrasi kampus. Bagaimanapun kampus perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat,tepat ,dan santun. Dalam melayani siapa saja,entah dosen,karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip bangunan akhlakul karimah.<br />8. Pusat pengembangan seni dan olahraga. Kedua aspek ini perlu dikembanmgkan untuk mengembangkan watak strategis yang harus dimilikioleh setiap calon pemimpin,yaitu watak halus dan kasar tetapi spotif. Watak halus biasanya dikembamngkan lewat aktivitas seni, sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya dikembangkan melalui olah rasa. UIN Malang yang bermaksud mengembangkan calon pemimpin masa depan ya ng tangguh memerlukan wahana pelatihan olahraga dan seni.<br />9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian besar perguruan tinggi Iuslam adalah dalam hal pengembangan pendanaan.Akibatnya, mereka tidak mampu membangun performance kampus yang gagah dan bersih, memberikan imbalan tenaga pengajar yang cukup,merumuskan program peningkatan kualitas serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakat.<br /><br />Saya berimajinasi bahwa UIN Malang sebagai penyandang nama”Islam”, kampusnya harus tampak gagah,bersih,tertib,disiplin;orang-orangnya jujur, sabar, tawakal dan istiqomah, dan semua pekerjaan dilakukan berdasarkan semangat kebersamaan dan dalam suasana kasih sayang, keikhlasan, tanggung jawab,senantiasa mengharapkan bimbingan dan petunjuk Yang Maha Kuasa, serta memiliki kesdaran sejarah yang tinggi. Atas dasar semangata seperti itu, maka kampus ini menjadi produktif, mampu menghasilkan karya-karya unggulan berupa penulisan buku, laporan penelitian, dan pemikiran-pemikiranyang diekspresikan pada berbagai media cetak yang telah disiapkan di dalam kampus maupun media di luar kampus. Keunggulan-keunggulan seperti itu secara langsung telah mendongk citra dan reputasi UIN Malang. UIN Malang terkesan bwerwibawa di tengah-tengah masyarakat perguruan tinggi pada umunya. Selain itu kampus ini dihuni orang –orang yang berakhlak mulia, mencintai, dan mernghargai serta mengembangkan ilmu pengetahuan, dosen mencintai mahasiswanya, dan demikian sebaliknya, para mahasiswa menghormati dosen-dosen mereka karena kapasitas akhlak, cinta, dam kedalaman ilmunya.<br />Performa fisik kampus UIN Malang harus senantiasa tampak bersih, taman dan rumputnyaditata rapi,tidak boros, lingkungannya dijaga baik, tenaga pengajar dan karyawannya selalu bahagia karena kebutuhan hidupnya tercukupi, karena itu mereka bangga akan statusnya sebagai warga UIN Malang. Kehidupan masyarakat kampus seperti digambarkan di atas yang dapat saya sebut sebagai perguruan tinggi Islam<br /><br />3.2 . UIN Sunan Gunung Jati Bandung<br />Agama dapat memberikan makna pada ilmu pengetahuan yang tidak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan penggunaan cara berfikir dan cara bekerja yang lazim dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan, pada umumnya masih menuntut penafsiran yang lebih mutakhir dan menyeluruh, yang hanya dapat diberikan oleh ajaran agama yang bersangkutan, buat umat Islam tentu saja ajaran agama Islam. Ini berarti, bahwa para ahli agama diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengaitkan beraneka ragam pengetahuan yang pada hakekatnya bersifat sekuler dengan acuan yang terwujud sebagai ajaran agama.<br />Bukan pula berarti bahwa ilmu pengetahuan harus diganti dengan ajaran agama. Pengetahuan kedokteran seperti juga pengetahuan fisika, biologi, kimia, ilmu ekonomi, dan sosiologi, adalah pengetahuan ilmiah yang harus dipelajari, dipelihara, diajarkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan dengan ketekunan dan kerja keras, apapun agama atau ideologi yang dianut oleh masing-masing ahli. Semestinya tidak ada kedokteran Islam, atau Fisika Islam, sosiologi Islam. Akan tetapi, para tenaga ahli masing-masing bidang pengetahuan keahlian memerlukan sudut penglihatan, perspektif, yang memberikan pandangan yang lebih luas dan makna yang lebih dalam daripada yang diberikan oleh pengetahuan keahlian yang bersangkutan. Agamalah yang dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas dan makna yang lebih mendalam ini melalui para ahlinya.<br />Dalam masyarakat modern, semakin banyak jenis pekerjaan yang dituntut diselenggarakan oleh tenaga ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Juga dalam bidang agama, semakin banyak jenis pekerjaan yang dahulu tidak menuntut pengetahuan keahlian tertentu, menuntut agar tenaga-tenaga penyelenggara jenis pekerjaan yang bersangkutan memiliki pengetahuan keahlian tertentu yang biasanya diperoleh dari perguruan tinggi.<br />Pengetahuan keahlian dalam bidang-bidang pengetahuan keahlian tidak dapat berkembang bilamana tidak diselenggarakan kegiatan-kegiatan penelitian yang senantiasa menghasilkan pengetahuan baru. Kegiatan penelitian, biasanya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang memang mempunyai kegemaran dan kemampuan untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian.<br />Sesungguhnya kemampuan untuk menyelenggarakan penelitian, harus di miliki oleh setiap dosen IAIN, paling sedikit kemampuan untuk menyelenggara kan kegiatan penelitian perorangan buat terus menerus mengembangkan berbagai mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya.<br />Pengetahuan baru yang terkembangkan, biasanya merupakan sumbangan pada perkembangan bidang pengetahuan keahlian khusus yang bersangkutan, sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dan bahkan, dengan perantaraan berbagai bentuk dan cara penyajian, menjadi bagian dari pemikiran keagamaan dari umat Islam. Penyebar luasan hasil pengkajian atau hasil penelitian, sebagaimana biasa, harus dapat diterbitkan oleh IAIN sendiri, penerbit lain, ataupun disiarkan melalui media massa.<br />Di zaman klasik Islam juga tidak terdapat dualisme dalam sistem pendidikan, seperti sekarang. Di waktu itu tidak ada sekolah hanya memberikan pelajaran dalam ilmu umum dan pula tidak ada madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Universitas-universitas, kurikulumnya mencakup ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.<br />Ulama-ulama modern mendirikan sekolah-sekolah modern tersendiri yang mengajarkan pemikiran rasional, sains dan teknologi Barat. Dari zaman itu mulailah timbul dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum sebagaimana Untuk menghadapi era kemajuan sains dan teknologi serta globalisasi sekarang, civitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung sejak lama mengapresiasi untuk mempelajari masalah pengembangan IAIN dari institut menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum.<br />Untuk mengetahui mengapa peningkatan IAIN yaitu Institut Agama Islam Negeri menjadi UIN yaitu Universitas Islam Negeri perlu diadakan, tampaknya perlu melihat dahulu perkembangan pendidikan dan ilmu dalam sejarah Islam.<br />Islam mempertemukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan Hadis dengan akal yang tinggi dalam peradaban Yunani. Pertemuan ini menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah dikalangan ulama Islam, dan berkembanglah falsafat dan sains yang menimbulkan peradaban Islam yang tinggi.<br />Pemikiran rasional itu bukan falsafat dan sains, yang sekuler, tetapi sains dan falsafat yang terikat pada ajaran-ajaran Islam. Maka hukum yang mengatur peredaran alam ini tidak disebut para saintis Islam itu hukum alam (sunatullah) sesuai yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam konteks historis, yang dikembangkan pemikiran rasional bukan hanya falsafat dan sains tetapi juga ilmu agama, sehingga berkembang dengan pesat.<br />Dari kenyataan di atas dapat dilihat bahwa tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum seperti halnya sekarang. Keduanya menjadi satu dan keduanya diajarkan kepada anak didik. Maka pendidikan zaman klasik menghasilkan ulama-ulama agama yang tidak asing baginya ilmu-ilmu umum dan ulama dalam ilmu umum yang tidak asing baginya ilmu-ilmu agama. juga mulai timbul dualisme dalam pendidikan. Ilmu Umum terpisah dari ilmu agama dan sekolah umum terpisah dari madrasah, Sekolah umum dikelola oleh pemerintah di dunia Islam pada umumnya dan madrasah dikelola oleh lembaga-lembaga swasta.<br />Sebagai akibatnya timbullah di abad XIX dan XX dua kelompok terpelajar diseluruh dunia Islam. Sekolah-sekolah umum menghasilkan intelektual umum yang dipengaruhi oleh pemikiran sains dan teknologi Barat yang sekuler dan dalam pada itu sedikit sekali pendidikan agama mereka.<br />Kalau sekolah-sekolah umum menghasilkan kaum intelektual yang sekularis dan jauh dari agama, madrasah-madrasah menghasilkan golongan ulama yang tradisional pemikirannya dan banyak terikat pada ajaran-ajaran agama masa lampau. Dalam pada itu ulama-ulama tradisional ini jauh dari ilmu pengetahuan dan kemajuan modern.<br />Di Indonesia di masa yang akhir ini telah terdapat perubahan dalam hal ini. Kaum intelektual umum sudah mulai memperhatikan agama berkat organisasi-organisasi mahasiswa Islam, juga kaum ulama sudah mulai memperhatikan IPTEK, Sekolah Umum telah masuk ke pesantren.<br />Inilah masalah dunia Islam yang dibawa oleh dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan Islam. Kaum terpelajar Islam dewasa ini terpecah dua yang kurang serasi hubungannya dan bukan lagi satu sebagai halnya dengan ulama Islam di zaman klasik.<br />Karena adanya dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan, sistem pendidikan di dunia Islam tidak sanggup menghasilkan ulama agama yang tidak asing baginya ilmu agama, dan ulama yang sekaligus menguasai ilmu agama, sains dan filsafat, sebagai mana halnya dengan pendidikan zaman klasik yang tak kenal dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan. Jelas bahwa dikhotomisme antara ilmu agama dan ilmu umum dan dualisme pendidikan madrasah dan pendidikan sekolah harus dihapuskan dan diganti oleh kesatuan ilmu dan kesatuan pendidikan.<br />Berbeda dari perguruan tinggi umum (PTU) yang cenderung mendalami ilmu-ilmu umum, UIN SGD Bandung nantinya mengemban dua misi sekaligus. la menjadi lembaga tempat berkembangnya ilmu-ilmu agama, sekaligus ilmu-ilmu umum. Tanggung jawab ganda ini berimplikasi pada cara pengembangan yang berbeda. Hal itu berdasarkan Firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang artinya;<br />… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah, : 11).<br />Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Al-Imran, : 190)<br />Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya. (Q.S. Al-Hujurat, : 61)<br />Karakteristik ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum sebenarnya bagaikan dua sisi uang yang berbeda, namun tidak terpisahkan. Dalam sejarah keilmuan, ilmu-ilmu umum berkembang pesat dalam sebuah tradisi yang disebut intellectus quaerens fidem, yakni suatu tradisi pembuktian ayat-ayat Kauniyah yang menyandarkan pada obyektivitas dan kebenaran ilmiah. Sedangkan ilmu-ilmu keislaman telah meluaskan cakupannya dalam tradisi sejarah ilmu yang disebut fides quarerens intellectum, yakni perkembangan ilmu yang menyandarkan pada kebenaran akhir (ultimate truth) yang dipesankan melalui ayat-ayat Qur’aniyah. Di bawah ini wujud integrasi ilmu UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagaimana disimbolkan dalam gambar roda berputar dunia bergulir.<br />Dasar pembidangan ilmu yang dikembangkan oleh UIN SGD Bandung berorientasi pada usaha memadukan : pertama, hubungan organis semua disiplin ilmu pada suatu landasan keislaman; kedua, hubungan yang integral di antara semua disiplin ilmu; ketiga, saling keterkaitan semua disiplin ilmu untuk mencapai tujuan umum pendidikan nasional; keempat, keutamaan pengetahuan yang disampaikan melalui wahyu yang menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan; kelima, kesatuan antara pengetahuan yang dicapai, yang diproses dan yang dikembangkan secara ilmiah akademis; keenam, pengintegrasian wawasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam spesialisasi dan disiplin ilmu yang memberikan dasar bagi seluruh disiplin akademis. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama yang merupakan tiga komponen utama dari peneguhan iman, ilmu, dan amal sholeh.<br />UIN SGD Bandung mengakui adanya dua karakteristik ilmu yang lahir dalam tradisi yang berbeda. Pembedaan karakteristik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam bukan menjadi tujuan akhir dari perumusan filosofi ilmu-ilmu UIN SGD Bandung. Pembedaan ilmu hanyalah sebuah cara untuk menghargai keunikan ilmu pada wilayah kajian masing­-masing.<br />Paradigma keilmuan UIN SGD Bandung yang utuh itu dibingkai dalam metapora sebuah roda. Roda adalah simbol dinamika dunia ilmu yang selalu berputar pada porosnya dan berjalan melewati relung permukaan bumi. Roda adalah bagian yang esensial dari sebuah makna kekuatan yang berfungsi penopang beban dari suatu kendaraan yang bergerak dinamis.<br />Fungsi roda dalam sebuah kendaraan ini diibaratkan fungsi UIN Bandung pada masa mendatang yang mampu menopang berbagai perkembangan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus dipikul. Kekuatan UIN Bandung dalam menopang semua bidang kehidupan itu tentu tidak statis. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kemajuan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa bergerak lebih maju, menyentuh realitas yang diinginkann dan selalu menampilkan identitas keislamannya.<br />Paradigma keilmuan UIN Bandung dengan simbol roda berputar dunia bergulir tersebut, menjadi pendorong bagi pengembangan IAIN menjadi UIN, dari institut yang mengasuh hanya ilmu agama menjadi universitas yang mengajarkan di samping ilmu-ilmu agama juga ilmu-ilmu umum. Maka yang terdapat di UIN nanti bukan hanya program studi agama dari Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab, tetapi juga program studi umum seperti Sosiologi, Teknologi, Ekonomi, Pertanian, MIPA, Psikologi, dan sebagainya.<br />Dalam UIN yang mencakup program studi agama dan umum, mahasiswa dengan pergaulannya sesama mahasiswa akan terbiasa dengan kedua macam ilmu. Bahkan akan terjadi mahasiswa agama akan mengambil ilmu umum tertentu di Program Studi umum dan sebaliknya mahasiswa umum akan mengambil ilmu agama tertentu di Program Studi agama. Lebih dari itu akan terjadi mahasiswa mengambil kesarjanaan di Fakultas umum dan kemudian kesarjanaan lagi di Fakultas agama atau sebaliknya.<br />IAIN Sunan Gunung Djati Bandung selama ini telah mengembangkan beberapa jurusan dan program studi sebagai upaya memadukan kajian ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’aniyah. Selain mengembangkan kajian Islam yang dijadikan sebagai dasar yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa, lembaga pendidikan tinggi ini membuka jurusan-jurusan: Psikologi, Ekonomi, Bahasa, Hukum, MIPA, dan Ilmu Pendidikan. Pemikiran itu didasari oleh keyakinan, bahwa model seperti ini akan mampu mengantarkan para mahasiswanya memiliki pengetahuan, kepribadian dan wawasan yang lebih utuh, dengan kata lain para mahasiswa akan memiliki kemampuan IMTAK (Iman dan Takwa) dan sekaligus penguasaan IPTEKS (Ilmu, Teknologi dan Sains).<br />Sesuai dengan pemikiran yang melatarbelakangi pengembangan Perguruan Tinggi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung telah menyusun “Rencana Strategis Pengembangan”. Berkaitan dengan itu IAIN Sunan Gunung Djati Bandung diproyeksikan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.<br />Kini rencana tersebut telah memperoleh momentum yang sangat menguntungkan dengan munculnya tenaga baru, bahwa agama (baca: Islam) telah menjadi bagian penting dalam membangun masyarakat, dan bahkan semakin diyakini secara luas bahwa Islam (agama) tidak dapat diabaikan dalam kehidupan modern, termasuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, iklim keterbukaan di hampir segala bidang saat ini memberikan optimisme baru bagi seluruh anggota sivitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk mengantarkan lembaga ini menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).<br />Dengan landasan tersebut UIN SGD Bandung nantinya diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan-tantangan zaman. Ia hendaklah dapat memberikan warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat secara keseluruhan. Semua ini dapat disebut sebagai ekspektasi sosial kepada UIN. Pada saat yang sama UIN juga diharapkan mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan UIN. Inilah ekspektasi akademis kepada UIN. Dengan demikian, UIN Sunan Gunung Djati Bandung memikul dua harapan, yaitu sosial expectations dan academic expectations.<br /><br />3.3 Sejarah Dan Perkembangan IAIN Sunan Kalijaga.<br />Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi kedalam beberapa periode yaitu ;<br />Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu :<br />Pertama, periode rintisan ( tahun 1951-1960 ). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga ditandai dengan pengubahan Fakultas Agama UII menjadi PTAIN sampai penggabungan PTAIN dengan ADIA ( Akedemi Dinas Ilmu Agama ). Jumlah Fakultas yang ada pada periode ini hanya tiga, yaitu : Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Tarbiyah. PTAIN ini dipimpin secara berturut – turut oleh K.H.R. Moh. Adnan (1951–1959) dan kemudian Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (1959-1960).<br />Kedua, periode pembangunan landasan kelembagaan (tahun 1960-1972). IAIN pada periode ini dipimin oleh Prof. RHA. Soenarjo SH dan ditandai dengan pemindahan kamus lama ( di jalan Simanjuntak yang sekarang menjadi gedung MAN 1 Yogyakarta ) ke kampus baru yang jauh lebih luas ( di jalan Adi Sucipto Yogyakarta ). Sejumlah gedung dan Fakultas di bangun dan di tengah –tengahnya dibangun sebuah masjid yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Sistem pendidikan yang berlaku pada periode ini masih bersifat bebas karena mahasiswa diberi kesempatan untuk maju ujian setelah mereka benar benar menyiapkan diri. Sementara itu materi kurikulumnya masih mengacu pada kurikulum Timur Tengah, yang juga dikembangkan pada masa PTAIN.<br />Ketiga, periode pembangunan landasan akademik (tahun 1972-1996). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga dipimpin secara berturut – turut oleh Rektor Kolonel Drs. H. Bakri Syahid (Tahun 1972-1976); Prof. H. Zaini Dahlan, MA. (Tahun 1976-1980 dan 1980-1983); Prof. Drs. Mu’in Umar (Tahun 1983-1992) dan Prof. Dr. H. Simuh (Tahun 1992-1996). Periode ini ditandai dengan lanjutan pembangunan sarana fisik kampus, pembangunan Fakultas Dakwah, gedung perpustakaan, gedung Pascasarjana dan gedung Rektorat. System pendidikan yang digunakan pada periode ketiga ini mulai bergeser dari system Liberal kepada system terpimin dengan mengintrodusir system semester semu dan akhirnya system kredit system semester murni. Dari segi kurikulum, IAIN Sunan Kalijaga telah mengalami penyesuaian yang radikal, sesuai dengan kebutuhan Nasional Bangsa Indonesia. Jumlah Fakultas berubah menjadi lima buah, yaitu : Fakultas Adab, Fakultas Dakwah, Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Program Pascasarjana dibuka pada periode ini, tepatnya pada tahun ajaran 1983-1984. Sebelumnya program ini adalah PGC (Post Graduate Course) dan SPS ( Studi Purna Sarjana ) yang tidak memberikan gelar. Pembukaan Program Pascasarjana ini telah mengukuhkan status IAIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang sebagai lembaga Dakwah.<br />Keempat, periode pemantapan orientasi akademik dan manajemen (Tahun 1997-2001). Periode ini dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Atho’ Mudzhar sebagai Rektor dan ditandai dengan upaya melanjutkan pembangunan mutu ilmiah IAIN Sunan Kalijaga, khususnya mutu dosen dan mutu para alumni. Pada dosen dalam jumlah yang besar diberi kesempatan dan didorong untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana, baik untuk tingkat magister (S2) maupun Doktor (S3) dalam bidang keilmuan keislaman maupun ilmu – ilmu yang terkait, baik di program pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga sendiri maupun di perguruan tinggi lain, di dalam maupun di luar negeri. Demikian pula peningkatan mutu sumber daya manusia bagi tenaga administrasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan pelayanan administrasi akademik.<br />Kelima, masa pengembangan IAIN. Pada masa ini dimulai tahun 2002 ampai sekarang dibawah kepemiminan Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah. Dengan seiring semakin besarnya tantangan di masa depan dan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap lembaga IAIN, maka IAIN merasa tertantang untuk mengembangkan secara instutional dalam format yang lebih jelas, yakni berubah menjadi Universitas. Namun, sebelum perubahan tersebut dilakukan, IAIN juga melakukan pengembangan dengan konsep “IAIN with wider mandate” (IAIN dengan mandate yang lebih luas). Dengan konsep ini, IAIN telah dan akan mengembangkan jurusan/program studi bidang ilmu - ilmu sosial dan ilmu - ilmu eksakta yang dalam tahapan selanjutnya akan di Up-grade menjadi Fakultas-fakultas, jurusan-jurusan, dan program-program studi.<br />Adapun kebijakan kearah pengembangan perguruan tinggi dewasa ini bertumpu pada paradigma baru yaitu bertumpu pada tiga pilar utama; kemandirian (autonomy), akuntabilitas (accountability) dan jaminan mutu (Quality Assurance). Berdasarkan hal tersebut IAIN bekerja keras melakukan banyak hal :<br />1. Integrasi epistemology keilmuan sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu – ilmu agama.<br />2. Memberikan landasan moral bagi pengembangan IPTEK dan melakukan pencerahan dalam pembinaan IMTAQ sehingga IPTEM dan IMTAQ dapat sejalan.<br />3. Mengartikulasikan Ajaran Islam secara professional ke dalam konteks kehidupan masyarakat sehingga tidak ada lagi jarak antara norma agama dan sofistifikasi masyarakat.<br />4. Mengembangkan riset dan penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif sehingga tidak ada kesan deduktifikasi ilmu – ilmu keislaman. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pola pengabdian yang professional.<br />5. Memberikan landasan moral dan spiritual terhadap pem,bangunan nasional sehingga konsep pembangunan manusia seutuhnya dapat tercaai.<br />6. Melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas dalam berbagai segi baik kelembagaan, akademis, amangerial, dan fisik.<br /><br />C. Kesimpulan Dan Saran<br />1. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Perubahan perguruan tinggi IAIN / STAIN menjadi UIN membuka peluang dan harapan baru.<br />2. Integrasi kurikulum Agama dan Sain Teknologi merupakan tuntutan zaman dan merupakan perkembangan pemikiran paradigma.<br />3. Anehnya mengapa tidak diintegrasi dari TK, SD sampai SMA tidak terintegrasi bahkan waktu untuk agama hanya 2 jam pelajaran.<br />4. Kena apa yang dikaji hanya IAIN saja, sementara banyak perguruan swasta yang bernafaskan Islam seperti Universitas Muhammadiyah, STAINU, dll mestinya ikut terintegrasi.<br />Sebagai saran ilmu ke Islaman disitu tetap harus diutamakan, yang perlu digali mampukah bersaing dengan universitas lain? Tentunya dengan kesungguhan yang dilandasi dengan perjuangan. Dan semua jenjang pendidikan harus diikuti terintegratet.<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Prof. Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar Jogjakarta.<br />2. Prof. Dr. Imam Suprauogo, Makalah Seminar Nasional.<br />3. Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu Agama. Interpretasi dan Aksi, Mizan Pustaka. Bandung<br />4. Integrated University, Infoemation System UIN Sunan Kalijaga 2005<br />5. Sumber Biro Humas UIN Sunan Kalijaga<br />6. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165<br />7. <a href="http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/03x1.htm-16k-Cached-more">www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/03x1.htm-16k-Cached-more</a> from this-site save<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />A. PENDAHULUAN<br />1. Latar Belakang<br />Cara memandang ilmu pengetahuan vis a vis agama secara dikotomik sudah sejak lama ditinggalkan orang. Bahkan dalam sejarah pemikiran Islam, jalan pikiran seperti itu ditengarai menjadi sebab terjadinya kemunduran umat Islam sejak abad 12 yang lalu. Orang Islam yang mempersepsi bahwa ajaran Islam hanyalah mencakup fiqih, tauhid, akhlaq-tasawuf, tarikh dan sejenisnya, disadari atau tidak telah menjadikan umat Islam tertinggal dari komonitas lainnya.(Prof.Dr.Imam Suprayogo) Kemajuan peradaban umat manusia, sekalipun hal itu penting, bukanlah dihasilkan oleh kemajuan ilmu agama, melainkan oleh teknologi, kedokteran, perbankan, geologi, astronomi, fisika-kimia, manajemen dan seterusnya. Setidak-tidaknya, sumbangan ilmu fiqih, tauhid dan akhlaq dalam membangun peradaban dunia, sekalipun ada, tidak sebesar yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />Melihat dan menyadari kenyataan itu, tidak lantas kemudian para pemikir Islam menafikan peran dan fungsi ajaran Islam. Ajaran Islam yang bersumber al qur’an dan al hadits tetap diyakini kebenarannya. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia juga dipandang memiliki kekuatan dalam memajukan peradaban ini. Bertolak dari penglihatan seperti itu, muncul pertanyaan: “Adakah yang salah dari cara memandang agama pada satu sisi dan ilmu pengetahuan modern pada sisi lainnya”?<br />Komitmen yang mendasari perubahan IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah integrasi keilmuan agama dan umum. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dewasa ini upaya untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum terus bergulir tiada henti. Munculnya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan telah mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan sosial, agamawan, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Konsep yang pertama kali digulirkan oleh Al-Faruqi dimaksudkan sebagai “filter” terutama terhadap “ilmu-ilmu produk barat” yang melenceng jauh dari norma-norma Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Al Faruqi (1982) dalam Islamic of Knowledge, ada beberapa kerangka kerja yang digunakan untuk merumuskan praktek Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu ;<br />1). Penguasaan disiplin ilmu modern.<br />2). Penguasaan akidah dan nilai-nilai Islam<br />3). Penentuan relevansi antara akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern<br />4). Pencarian sintesa kreatif antara unsur-unsur akidah dan nilai-nilai Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern<br />5). Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.<br /><br />2. Rumusan Masalah.<br />Untuk lebih memfokuskan paparan permasalahan pada makalah ini penulis membatasi pada rumusan masalah sebagai berikut;<br />Mengapa IAIN/STAIN harus berubah menjadi UIN, dan bagaimana integrasi kurikulumnya ?.<br />Sejauh mana IAIN/STAIN dalam mensikapi perubahan tersebut?<br /><br />3. Metodologi<br />Makalah ini disusun menggunakan metode telaah pustaka, dengan cara mengutip pendapat dari tulisan yang telah dibaca, kemudian ditelaah dan dianalisis sesuai dengan kemampuan penulis.<br />Untuk pengumpulan data pada makalah ini digunakan metode pengumpulan data literer, yakni dengan terlebih dahulu menelusuri buku – buku yang ada relevansinya dengan masalah – masalah yang dibahas dan melalui jaringan internet untuk dikaji guna mencari landasan upaya pemecahan persoalan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />B. PEMBAHASAN MASALAH<br /><br />1. Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN.<br />Sebuah pertanyaan yang sangat amat sederhana tetapi membutuhkan jawaban yang sangat cerdas. Mengapa STAIN/IAIN harus berubah menjadi UIN?.<br />Status sebagai STAIN hanya memungkinkan lembaga ini menangani dan menekuni satu bidang keilmuan saja, seperti tarbiyah saja, atau syariah saja; sedangkan status IAIN memberikan ruang yang lebih besar, yakni menangani bidang-bidang keilmuan yang beragam, namun keragaman bidang kajian itu hanyalah dalam lingkup kajian Islam. Sehingga baik dalam status STAIN maupun IAIN, secara konseptual semua itu tidak relevan dengan keyakinan dasar Islam yang menyatakan sebagai agama universal. Konsep Islam Universal dalam wadah Universitas Islam Negeri (UIN) mewujudkan integrasi dan sintesis ilmu-ilmu keislaman (agama) dengan ilmu-ilmu umum (sains) dalam sebuah bangunan peradaban Islam. Dalam hal ini, ilmu-ilmu keislaman, seperti tarbiyah, ushuluddin, syariah, dakwah, adab, dan lainnya, diperankan sebagai basis keilmuan. Pada basis keilmuan ini, Wahyu al-Qur’an dan al-Hadits-yang melahirkan ilmu-ilmu keislaman-diletakkan berdampingan dengan akal, observasi, dan eksperimentasi yang melahirkan ilmu-ilmu alamiah, atau ilmu-ilmu umum. Dua sisi basis keilmuan ini diperankan dan diaktifkan secara serempak untuk melahirkan bidang-bidang keilmuan alam, sosial, dan humaniora. Dari tiga bidang keilmuan ini akan lahir berbagai disiplin ilmu yang mencerminkan kesemestaan Islam. Dari bidang ilmu alam akan lahir ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu alamiah lainnya; dari bidang sosial akan lahir ilmu psikologi, Sosiologi, Sejarah, Hukum, Manajemen, dan lain-lain; sedangkan dari bidang Humaniora akan lahir ilmu-ilmu filsafat, seni, bahasa, sastra, dan lain-lain. Semua bidang dan disiplin keilmuan ini akan menjadi bagian integral dari proses pendidikan Islam ketika IAIN/STAIN sudah berubah menjadi UIN. (Hady, 2004:5-6).<br />Meskipun berubahnya sebagian IAIN/STAIN menjadi UIN secara legal-formal sudah terwujud dengan turunnya SK Presiden, masing-masing IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN Sultan Syarif Qasim Riau. Salah satu perubahan yang paling tampak dari pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN adalah penambahan fakultas serta perluasan disiplin dan bidang kajian. Fakultas yang sebelumnya hanya terkait dengan disiplin keilmuan dasar Islam, seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, Dakwah, dan Adab kemudian ditambah dengan beberapa fakultas yang mengkaji disiplin keilmuan yang tidak berkaitan langsung dengan disiplin dasar Islam, seperti Sains dan Teknologi, Ekonomi, Psikologi, Humaniora dan Budaya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwasannya dalam konteks UIN tidak membedakan adanya fakultas agama dan fakultas umum. Dalam hal ini akan dibuktikan pada struktur keilmuan yang dikembangkan di UIN tersebut, yakni semua mahasiswa-baik jurusan agama maupun jurusan umum-akan mendapatkan Mata Kuliah Ciri Khusus (MKCK) UIN meliputi Studi al-Qur’an, Studi Hadits, Studi Fiqh, Tasawuf, Teologi, Bahasa Arab dan lain-lain. Sehingga diharapkan output/ lulusan UIN akan menyandang gelar “Ulama yang Intelek Professional dan Intelek Profesional yang Ulama” Dalam pengamatan penulis, satu hal yang masih membutuhkan kerja keras kita dalam rangka benar-benar mewujudkan gerakan Islamisasi ilmu Pengetahuan, yaitu Kurikulum yang dikembangkan di UIN harus berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan di PT umum atau PT Islam yang telah lama berkembang. Berkaitan hal ini, penulis setuju dengan konsep yang dibangun ketika IAIN/STAIN berubah menjadi UIN, yakni UIN merupakan Perguruan Tinggi yang berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum dan bahkan berbeda dengan Perguruan Tinggi Islam yang telah ada sekarang. Kalau kita melihat perbedaan dengan Perguruan Tinggi Umum memang sudah nampak kelihatan, tetapi bagaimana perbedaan dengan Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama berkembang. UIN haruslah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan Perguruan Tinggi Umum. Bahkan juga tidak harus sama dengan Universitas Islam sejenis yang sudah lama berkembang. Dengan hadirnya UIN harus dapat memberikan banyak peran dan inovasi baru yang dapat ditawarkan. Atau dengan kata lain kehadiran UIN harus berani tampil beda dibandingkan dengan universitas lain yang selama ini masih dalam kompetensi institusi keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik dan moral. Berani tampil beda merupakan tantangan, sekaligus merupakan kesempatan mencari peluang-peluang baru sehingga peran-peran yang dimainkan akan terasa baru yang selama ini belum tergarap secara maksimal oleh perguruan Tinggi yang sudah ada. Kurikulum yang dikembangkan selama ini di PT Islam masih diwarnai dengan adanya dikotomisasi ilmu, hal ini dibuktikan masing-masing keilmuan (baca; mata kuliah) masih berdiri sendiri-sendiri. Harapan dengan lahirnya UIN adalah dalam kurikulum tidak ada lagi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, UIN harus mampu mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam setiap mata kuliah yang menjadi lahan garapannya, UIN harus mampu mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Dengan hadirnya UIN, sebagaimana yang dikatakan Zainuddin (2004:17) maka diharapkan dapat mencetak sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yakni keunggulan di bidang Sains dan Teknologi sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman. Misalkan di Fakultas Sains dan Teknologi mahasiswa diberikan mata kuliah Studi al-Qur’an, maka seharusnya materi yang diberikan tentu akan berbeda dengan materi yang diberikan pada mahasiswa Fakultas Syariah. Mata kuliah studi al-Qur’an bagi mahasiswa Sains dan Teknologi harus digunakan sebagai landasan/pijakan dalam rangka menggali ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam raya. Atau dengan kata lain materi yang diberikan kepada mahasiswa Sains dan teknologi adalah berkutat pada ayat-ayat tentang kekuasaan Tuhan, proses penciptaan manusia, kesehatan, reproduksi, lingkungan dan lainnya meskipun tidak mengesampingkan materi dasar tentang ketauhidan/keislaman. Di Fakultas Ekonomi materi al-Qur’an yang diberikan juga harus bersentuhan berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti: jual beli, riba, manajeman, dan lainnya. Begitu juga di Fakultas Psikologi harus benar-benar berbeda dengan kurikulum di Fakultas Psikologi PT Umum/PT Islam yang sudah berkembang lebih dulu. Bahkan boleh jadi kurikulum UIN Jakarta akan berbeda dengan kurikulum yang diterapkan di UIN Malang atau UIN Yogyakarta, begitu sebaliknya. Sehingga kurikulum yang ada benar-benar terintegrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dan yang lebih penting adalah kurikulum yang digunakan harus mampu menjawab pelbagai problem yang muncul di masyarakat. (<a href="http://www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125">www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125</a>)<br /><br />2. Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kehawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru<br />Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagai mana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin?. Mengapa harus berubah menjadi “Universitas” ? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang disandangnya selama 53 tahun (1951-2004)? Akankah struktur keilmuan , kurikulum dan silabinya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan? Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur struktur mata kuliah, kurikulum dan silabi pada prodi-prodi umum di UIN dan Universitas Umum yang lain? Bagai mana pola pembinaan dan Pengembangan dan Pengembangan minat dan bakat, ketrampilan dan kepribadian mahasiswa? Dan berbagai pertanyaan yang lain?<br />Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul, Pertama, yang harus digaris bawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, namun tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan penegasan itu, maka sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Isam masih tetap menjadi tugas utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh Winder mandate-nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik okus penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang adapada universitas.<br />Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini ( fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin), dari semula berdiri memanag telah dengan sengaja dibina, dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Sampai sekarang, masing-masing fakultas telah mempunyai sejumlah tenaga pengajar yang cukup kuat, dan dosen-dosen tetap bergelar magister dan doctor cukup memadahi. Usaha untuk mengembangkan tenaga pengajar yang sudah ada tetap berlangsung hinga sekarang baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarangtidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemology baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana sini, sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.<br />Ketiga, dalam rancang bangunfakultas yang berada dibawah UIN akan mengalami perubahan sesuai dengan prinsip dasar “Miskin struktur, kaya fungsi” seperti yang diminta oleh Kementrian Pndidikan Nasional saat meng-verifikasi prodi-prodi umum yang diusulkan untuk dibuka di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 Desember 2003 dan deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) saat melakukan rapat interdepartemental untuk membahas draft rancangan Keputusan Presiden pada tanggal 11 Maret 2004. Dalam diskusi forum think tank IAIN yang melibatkan seluruh pimpinan fakultas dan institut dan para pakar di IAIN sampai pada kesimpulan bahwa untuk memperkuat fakultas yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada fakultas – fakultas yang ada sekarang ini. Untuk sementara,fakultas-fakultas yang ada sekarang aklan berubah nama sebagai berikut:Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin, Sains dan Tehnologi serta Sosial dan Humaniora. Nama 5 Fakultas yang lama masih sama seperti ketika masih berada di IAIN, tetapi berbeda dari segi muatan metode, pendekatan serta sistem pembelajaran.<br />Keempat, berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika Sekolah Tinggi hanya menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah, maka perjalanan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) yang membuka lebih dari satu bidang ilmu sebenarnya menyalahi aturan dan nomenklatur yang biasa dikenal di lingkungan pendidkan tinggi. Sedang Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu (seperti yang ada pada IAIN sekarang, yaitu keilmuan Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin). Adapun Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial maupun humaniora.<br />Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daipada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupuin luar negeri menjadai terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat. Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah peneilitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.<br /><br /><br />3. Beberapa Perguruan Tinggi STAIN/IAIN dalam mensikapi perubahan menjadi UIN.<br />3.1. Idealisme UIN Malang ke Depan<br />Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Malang bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata, melainkan yang justru lebih diutamakan adalah tataran perilaku warga kampus. Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika UIN Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam pengabdian dan pergaulannya ditengah-tengah masyarakat. Islam membimbing mahluk manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh (kaffah),lahir dan bathin, keselamatan dunia dan akhirat,meliputi pengembanagan aspek spiritual,akidah,akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian,kasih sayang,keindahan dan kebersihan,hemat dan tidak boros,dapat dipercaya atau amanah dan istiqomah.Pilar-pilar itu disebut sebagai arkan al-jami’ah (rukun perguruan tinggi)yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu:<br />1. Tenaga dosen, yakni dosen yang mumpuni, baik dari sisi akhlak,spiritual,latar belakang pendidikan,jabatan akademik, dan kualitas serta kuantitas produktivitasnya.<br />2. Masjid,masjid dimaknai sebagai wahana pengembanaganspiritual, tempat berupaya bagi siapa saja termasuk warga kampus untuk mendekatkan diri pada Allah secara berjamaah.Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbol kekayaan spiritual umat islam yang kering makana karena tempat ibadah itu kurang maksimal dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan spiritual,maupun intelektual.<br />3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kukuh. Kultur yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa islami. Bentuk konkretnya adalah kebiasaan melakukakn shalat berjamaah, tadarus Al-Quran,shalat malam,menghargai waktu,disiplin, menghormati sesama kolega, menghargai ilmu sampai pada karakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan manajemen modern ebagai produk ilmu pengetahuan.<br />4. Perpustakaan.UIN Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan yang unggul,baik dari sisi koleksi maupun pelayanan.<br />5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam,UIN Malang menyadari betapa kitab suci Al-Quran dan hadist nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh melalui observasi,ksperimen maupun olah akal yang cerdas.<br />6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah,berupa ruang kuliah,ruang dosen tempat diskusi, dan lain-lain.<br />7. Tempat pelayanan administrasi kampus. Bagaimanapun kampus perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat,tepat ,dan santun. Dalam melayani siapa saja,entah dosen,karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip bangunan akhlakul karimah.<br />8. Pusat pengembangan seni dan olahraga. Kedua aspek ini perlu dikembanmgkan untuk mengembangkan watak strategis yang harus dimilikioleh setiap calon pemimpin,yaitu watak halus dan kasar tetapi spotif. Watak halus biasanya dikembamngkan lewat aktivitas seni, sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya dikembangkan melalui olah rasa. UIN Malang yang bermaksud mengembangkan calon pemimpin masa depan ya ng tangguh memerlukan wahana pelatihan olahraga dan seni.<br />9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian besar perguruan tinggi Iuslam adalah dalam hal pengembangan pendanaan.Akibatnya, mereka tidak mampu membangun performance kampus yang gagah dan bersih, memberikan imbalan tenaga pengajar yang cukup,merumuskan program peningkatan kualitas serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakat.<br /><br />Saya berimajinasi bahwa UIN Malang sebagai penyandang nama”Islam”, kampusnya harus tampak gagah,bersih,tertib,disiplin;orang-orangnya jujur, sabar, tawakal dan istiqomah, dan semua pekerjaan dilakukan berdasarkan semangat kebersamaan dan dalam suasana kasih sayang, keikhlasan, tanggung jawab,senantiasa mengharapkan bimbingan dan petunjuk Yang Maha Kuasa, serta memiliki kesdaran sejarah yang tinggi. Atas dasar semangata seperti itu, maka kampus ini menjadi produktif, mampu menghasilkan karya-karya unggulan berupa penulisan buku, laporan penelitian, dan pemikiran-pemikiranyang diekspresikan pada berbagai media cetak yang telah disiapkan di dalam kampus maupun media di luar kampus. Keunggulan-keunggulan seperti itu secara langsung telah mendongk citra dan reputasi UIN Malang. UIN Malang terkesan bwerwibawa di tengah-tengah masyarakat perguruan tinggi pada umunya. Selain itu kampus ini dihuni orang –orang yang berakhlak mulia, mencintai, dan mernghargai serta mengembangkan ilmu pengetahuan, dosen mencintai mahasiswanya, dan demikian sebaliknya, para mahasiswa menghormati dosen-dosen mereka karena kapasitas akhlak, cinta, dam kedalaman ilmunya.<br />Performa fisik kampus UIN Malang harus senantiasa tampak bersih, taman dan rumputnyaditata rapi,tidak boros, lingkungannya dijaga baik, tenaga pengajar dan karyawannya selalu bahagia karena kebutuhan hidupnya tercukupi, karena itu mereka bangga akan statusnya sebagai warga UIN Malang. Kehidupan masyarakat kampus seperti digambarkan di atas yang dapat saya sebut sebagai perguruan tinggi Islam<br /><br />3.2 . UIN Sunan Gunung Jati Bandung<br />Agama dapat memberikan makna pada ilmu pengetahuan yang tidak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan penggunaan cara berfikir dan cara bekerja yang lazim dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan, pada umumnya masih menuntut penafsiran yang lebih mutakhir dan menyeluruh, yang hanya dapat diberikan oleh ajaran agama yang bersangkutan, buat umat Islam tentu saja ajaran agama Islam. Ini berarti, bahwa para ahli agama diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengaitkan beraneka ragam pengetahuan yang pada hakekatnya bersifat sekuler dengan acuan yang terwujud sebagai ajaran agama.<br />Bukan pula berarti bahwa ilmu pengetahuan harus diganti dengan ajaran agama. Pengetahuan kedokteran seperti juga pengetahuan fisika, biologi, kimia, ilmu ekonomi, dan sosiologi, adalah pengetahuan ilmiah yang harus dipelajari, dipelihara, diajarkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli dalam bidang pengetahuan keahlian yang bersangkutan dengan ketekunan dan kerja keras, apapun agama atau ideologi yang dianut oleh masing-masing ahli. Semestinya tidak ada kedokteran Islam, atau Fisika Islam, sosiologi Islam. Akan tetapi, para tenaga ahli masing-masing bidang pengetahuan keahlian memerlukan sudut penglihatan, perspektif, yang memberikan pandangan yang lebih luas dan makna yang lebih dalam daripada yang diberikan oleh pengetahuan keahlian yang bersangkutan. Agamalah yang dapat memberikan sudut pandang yang lebih luas dan makna yang lebih mendalam ini melalui para ahlinya.<br />Dalam masyarakat modern, semakin banyak jenis pekerjaan yang dituntut diselenggarakan oleh tenaga ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Juga dalam bidang agama, semakin banyak jenis pekerjaan yang dahulu tidak menuntut pengetahuan keahlian tertentu, menuntut agar tenaga-tenaga penyelenggara jenis pekerjaan yang bersangkutan memiliki pengetahuan keahlian tertentu yang biasanya diperoleh dari perguruan tinggi.<br />Pengetahuan keahlian dalam bidang-bidang pengetahuan keahlian tidak dapat berkembang bilamana tidak diselenggarakan kegiatan-kegiatan penelitian yang senantiasa menghasilkan pengetahuan baru. Kegiatan penelitian, biasanya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang memang mempunyai kegemaran dan kemampuan untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian.<br />Sesungguhnya kemampuan untuk menyelenggarakan penelitian, harus di miliki oleh setiap dosen IAIN, paling sedikit kemampuan untuk menyelenggara kan kegiatan penelitian perorangan buat terus menerus mengembangkan berbagai mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya.<br />Pengetahuan baru yang terkembangkan, biasanya merupakan sumbangan pada perkembangan bidang pengetahuan keahlian khusus yang bersangkutan, sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dan bahkan, dengan perantaraan berbagai bentuk dan cara penyajian, menjadi bagian dari pemikiran keagamaan dari umat Islam. Penyebar luasan hasil pengkajian atau hasil penelitian, sebagaimana biasa, harus dapat diterbitkan oleh IAIN sendiri, penerbit lain, ataupun disiarkan melalui media massa.<br />Di zaman klasik Islam juga tidak terdapat dualisme dalam sistem pendidikan, seperti sekarang. Di waktu itu tidak ada sekolah hanya memberikan pelajaran dalam ilmu umum dan pula tidak ada madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Universitas-universitas, kurikulumnya mencakup ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.<br />Ulama-ulama modern mendirikan sekolah-sekolah modern tersendiri yang mengajarkan pemikiran rasional, sains dan teknologi Barat. Dari zaman itu mulailah timbul dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum sebagaimana Untuk menghadapi era kemajuan sains dan teknologi serta globalisasi sekarang, civitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung sejak lama mengapresiasi untuk mempelajari masalah pengembangan IAIN dari institut menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum.<br />Untuk mengetahui mengapa peningkatan IAIN yaitu Institut Agama Islam Negeri menjadi UIN yaitu Universitas Islam Negeri perlu diadakan, tampaknya perlu melihat dahulu perkembangan pendidikan dan ilmu dalam sejarah Islam.<br />Islam mempertemukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan Hadis dengan akal yang tinggi dalam peradaban Yunani. Pertemuan ini menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah dikalangan ulama Islam, dan berkembanglah falsafat dan sains yang menimbulkan peradaban Islam yang tinggi.<br />Pemikiran rasional itu bukan falsafat dan sains, yang sekuler, tetapi sains dan falsafat yang terikat pada ajaran-ajaran Islam. Maka hukum yang mengatur peredaran alam ini tidak disebut para saintis Islam itu hukum alam (sunatullah) sesuai yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam konteks historis, yang dikembangkan pemikiran rasional bukan hanya falsafat dan sains tetapi juga ilmu agama, sehingga berkembang dengan pesat.<br />Dari kenyataan di atas dapat dilihat bahwa tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum seperti halnya sekarang. Keduanya menjadi satu dan keduanya diajarkan kepada anak didik. Maka pendidikan zaman klasik menghasilkan ulama-ulama agama yang tidak asing baginya ilmu-ilmu umum dan ulama dalam ilmu umum yang tidak asing baginya ilmu-ilmu agama. juga mulai timbul dualisme dalam pendidikan. Ilmu Umum terpisah dari ilmu agama dan sekolah umum terpisah dari madrasah, Sekolah umum dikelola oleh pemerintah di dunia Islam pada umumnya dan madrasah dikelola oleh lembaga-lembaga swasta.<br />Sebagai akibatnya timbullah di abad XIX dan XX dua kelompok terpelajar diseluruh dunia Islam. Sekolah-sekolah umum menghasilkan intelektual umum yang dipengaruhi oleh pemikiran sains dan teknologi Barat yang sekuler dan dalam pada itu sedikit sekali pendidikan agama mereka.<br />Kalau sekolah-sekolah umum menghasilkan kaum intelektual yang sekularis dan jauh dari agama, madrasah-madrasah menghasilkan golongan ulama yang tradisional pemikirannya dan banyak terikat pada ajaran-ajaran agama masa lampau. Dalam pada itu ulama-ulama tradisional ini jauh dari ilmu pengetahuan dan kemajuan modern.<br />Di Indonesia di masa yang akhir ini telah terdapat perubahan dalam hal ini. Kaum intelektual umum sudah mulai memperhatikan agama berkat organisasi-organisasi mahasiswa Islam, juga kaum ulama sudah mulai memperhatikan IPTEK, Sekolah Umum telah masuk ke pesantren.<br />Inilah masalah dunia Islam yang dibawa oleh dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan Islam. Kaum terpelajar Islam dewasa ini terpecah dua yang kurang serasi hubungannya dan bukan lagi satu sebagai halnya dengan ulama Islam di zaman klasik.<br />Karena adanya dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan, sistem pendidikan di dunia Islam tidak sanggup menghasilkan ulama agama yang tidak asing baginya ilmu agama, dan ulama yang sekaligus menguasai ilmu agama, sains dan filsafat, sebagai mana halnya dengan pendidikan zaman klasik yang tak kenal dikhotomisme ilmu dan dualisme pendidikan. Jelas bahwa dikhotomisme antara ilmu agama dan ilmu umum dan dualisme pendidikan madrasah dan pendidikan sekolah harus dihapuskan dan diganti oleh kesatuan ilmu dan kesatuan pendidikan.<br />Berbeda dari perguruan tinggi umum (PTU) yang cenderung mendalami ilmu-ilmu umum, UIN SGD Bandung nantinya mengemban dua misi sekaligus. la menjadi lembaga tempat berkembangnya ilmu-ilmu agama, sekaligus ilmu-ilmu umum. Tanggung jawab ganda ini berimplikasi pada cara pengembangan yang berbeda. Hal itu berdasarkan Firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang artinya;<br />… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah, : 11).<br />Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Al-Imran, : 190)<br />Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya. (Q.S. Al-Hujurat, : 61)<br />Karakteristik ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum sebenarnya bagaikan dua sisi uang yang berbeda, namun tidak terpisahkan. Dalam sejarah keilmuan, ilmu-ilmu umum berkembang pesat dalam sebuah tradisi yang disebut intellectus quaerens fidem, yakni suatu tradisi pembuktian ayat-ayat Kauniyah yang menyandarkan pada obyektivitas dan kebenaran ilmiah. Sedangkan ilmu-ilmu keislaman telah meluaskan cakupannya dalam tradisi sejarah ilmu yang disebut fides quarerens intellectum, yakni perkembangan ilmu yang menyandarkan pada kebenaran akhir (ultimate truth) yang dipesankan melalui ayat-ayat Qur’aniyah. Di bawah ini wujud integrasi ilmu UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagaimana disimbolkan dalam gambar roda berputar dunia bergulir.<br />Dasar pembidangan ilmu yang dikembangkan oleh UIN SGD Bandung berorientasi pada usaha memadukan : pertama, hubungan organis semua disiplin ilmu pada suatu landasan keislaman; kedua, hubungan yang integral di antara semua disiplin ilmu; ketiga, saling keterkaitan semua disiplin ilmu untuk mencapai tujuan umum pendidikan nasional; keempat, keutamaan pengetahuan yang disampaikan melalui wahyu yang menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan; kelima, kesatuan antara pengetahuan yang dicapai, yang diproses dan yang dikembangkan secara ilmiah akademis; keenam, pengintegrasian wawasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam spesialisasi dan disiplin ilmu yang memberikan dasar bagi seluruh disiplin akademis. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama yang merupakan tiga komponen utama dari peneguhan iman, ilmu, dan amal sholeh.<br />UIN SGD Bandung mengakui adanya dua karakteristik ilmu yang lahir dalam tradisi yang berbeda. Pembedaan karakteristik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam bukan menjadi tujuan akhir dari perumusan filosofi ilmu-ilmu UIN SGD Bandung. Pembedaan ilmu hanyalah sebuah cara untuk menghargai keunikan ilmu pada wilayah kajian masing­-masing.<br />Paradigma keilmuan UIN SGD Bandung yang utuh itu dibingkai dalam metapora sebuah roda. Roda adalah simbol dinamika dunia ilmu yang selalu berputar pada porosnya dan berjalan melewati relung permukaan bumi. Roda adalah bagian yang esensial dari sebuah makna kekuatan yang berfungsi penopang beban dari suatu kendaraan yang bergerak dinamis.<br />Fungsi roda dalam sebuah kendaraan ini diibaratkan fungsi UIN Bandung pada masa mendatang yang mampu menopang berbagai perkembangan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus dipikul. Kekuatan UIN Bandung dalam menopang semua bidang kehidupan itu tentu tidak statis. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kemajuan budaya, tradisi, teknologi dan pembangunan bangsa bergerak lebih maju, menyentuh realitas yang diinginkann dan selalu menampilkan identitas keislamannya.<br />Paradigma keilmuan UIN Bandung dengan simbol roda berputar dunia bergulir tersebut, menjadi pendorong bagi pengembangan IAIN menjadi UIN, dari institut yang mengasuh hanya ilmu agama menjadi universitas yang mengajarkan di samping ilmu-ilmu agama juga ilmu-ilmu umum. Maka yang terdapat di UIN nanti bukan hanya program studi agama dari Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab, tetapi juga program studi umum seperti Sosiologi, Teknologi, Ekonomi, Pertanian, MIPA, Psikologi, dan sebagainya.<br />Dalam UIN yang mencakup program studi agama dan umum, mahasiswa dengan pergaulannya sesama mahasiswa akan terbiasa dengan kedua macam ilmu. Bahkan akan terjadi mahasiswa agama akan mengambil ilmu umum tertentu di Program Studi umum dan sebaliknya mahasiswa umum akan mengambil ilmu agama tertentu di Program Studi agama. Lebih dari itu akan terjadi mahasiswa mengambil kesarjanaan di Fakultas umum dan kemudian kesarjanaan lagi di Fakultas agama atau sebaliknya.<br />IAIN Sunan Gunung Djati Bandung selama ini telah mengembangkan beberapa jurusan dan program studi sebagai upaya memadukan kajian ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’aniyah. Selain mengembangkan kajian Islam yang dijadikan sebagai dasar yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa, lembaga pendidikan tinggi ini membuka jurusan-jurusan: Psikologi, Ekonomi, Bahasa, Hukum, MIPA, dan Ilmu Pendidikan. Pemikiran itu didasari oleh keyakinan, bahwa model seperti ini akan mampu mengantarkan para mahasiswanya memiliki pengetahuan, kepribadian dan wawasan yang lebih utuh, dengan kata lain para mahasiswa akan memiliki kemampuan IMTAK (Iman dan Takwa) dan sekaligus penguasaan IPTEKS (Ilmu, Teknologi dan Sains).<br />Sesuai dengan pemikiran yang melatarbelakangi pengembangan Perguruan Tinggi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung telah menyusun “Rencana Strategis Pengembangan”. Berkaitan dengan itu IAIN Sunan Gunung Djati Bandung diproyeksikan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.<br />Kini rencana tersebut telah memperoleh momentum yang sangat menguntungkan dengan munculnya tenaga baru, bahwa agama (baca: Islam) telah menjadi bagian penting dalam membangun masyarakat, dan bahkan semakin diyakini secara luas bahwa Islam (agama) tidak dapat diabaikan dalam kehidupan modern, termasuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, iklim keterbukaan di hampir segala bidang saat ini memberikan optimisme baru bagi seluruh anggota sivitas akademika IAIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk mengantarkan lembaga ini menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).<br />Dengan landasan tersebut UIN SGD Bandung nantinya diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan-tantangan zaman. Ia hendaklah dapat memberikan warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat secara keseluruhan. Semua ini dapat disebut sebagai ekspektasi sosial kepada UIN. Pada saat yang sama UIN juga diharapkan mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan UIN. Inilah ekspektasi akademis kepada UIN. Dengan demikian, UIN Sunan Gunung Djati Bandung memikul dua harapan, yaitu sosial expectations dan academic expectations.<br /><br />3.3 Sejarah Dan Perkembangan IAIN Sunan Kalijaga.<br />Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi kedalam beberapa periode yaitu ;<br />Dari segi perkembangan kelembagaannya, masa keberadaan IAIN Sunan Kalijaga ini dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu :<br />Pertama, periode rintisan ( tahun 1951-1960 ). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga ditandai dengan pengubahan Fakultas Agama UII menjadi PTAIN sampai penggabungan PTAIN dengan ADIA ( Akedemi Dinas Ilmu Agama ). Jumlah Fakultas yang ada pada periode ini hanya tiga, yaitu : Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Tarbiyah. PTAIN ini dipimpin secara berturut – turut oleh K.H.R. Moh. Adnan (1951–1959) dan kemudian Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (1959-1960).<br />Kedua, periode pembangunan landasan kelembagaan (tahun 1960-1972). IAIN pada periode ini dipimin oleh Prof. RHA. Soenarjo SH dan ditandai dengan pemindahan kamus lama ( di jalan Simanjuntak yang sekarang menjadi gedung MAN 1 Yogyakarta ) ke kampus baru yang jauh lebih luas ( di jalan Adi Sucipto Yogyakarta ). Sejumlah gedung dan Fakultas di bangun dan di tengah –tengahnya dibangun sebuah masjid yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Sistem pendidikan yang berlaku pada periode ini masih bersifat bebas karena mahasiswa diberi kesempatan untuk maju ujian setelah mereka benar benar menyiapkan diri. Sementara itu materi kurikulumnya masih mengacu pada kurikulum Timur Tengah, yang juga dikembangkan pada masa PTAIN.<br />Ketiga, periode pembangunan landasan akademik (tahun 1972-1996). Pada periode ini IAIN Sunan Kalijaga dipimpin secara berturut – turut oleh Rektor Kolonel Drs. H. Bakri Syahid (Tahun 1972-1976); Prof. H. Zaini Dahlan, MA. (Tahun 1976-1980 dan 1980-1983); Prof. Drs. Mu’in Umar (Tahun 1983-1992) dan Prof. Dr. H. Simuh (Tahun 1992-1996). Periode ini ditandai dengan lanjutan pembangunan sarana fisik kampus, pembangunan Fakultas Dakwah, gedung perpustakaan, gedung Pascasarjana dan gedung Rektorat. System pendidikan yang digunakan pada periode ketiga ini mulai bergeser dari system Liberal kepada system terpimin dengan mengintrodusir system semester semu dan akhirnya system kredit system semester murni. Dari segi kurikulum, IAIN Sunan Kalijaga telah mengalami penyesuaian yang radikal, sesuai dengan kebutuhan Nasional Bangsa Indonesia. Jumlah Fakultas berubah menjadi lima buah, yaitu : Fakultas Adab, Fakultas Dakwah, Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Program Pascasarjana dibuka pada periode ini, tepatnya pada tahun ajaran 1983-1984. Sebelumnya program ini adalah PGC (Post Graduate Course) dan SPS ( Studi Purna Sarjana ) yang tidak memberikan gelar. Pembukaan Program Pascasarjana ini telah mengukuhkan status IAIN Sunan Kalijaga sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang sebagai lembaga Dakwah.<br />Keempat, periode pemantapan orientasi akademik dan manajemen (Tahun 1997-2001). Periode ini dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Atho’ Mudzhar sebagai Rektor dan ditandai dengan upaya melanjutkan pembangunan mutu ilmiah IAIN Sunan Kalijaga, khususnya mutu dosen dan mutu para alumni. Pada dosen dalam jumlah yang besar diberi kesempatan dan didorong untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana, baik untuk tingkat magister (S2) maupun Doktor (S3) dalam bidang keilmuan keislaman maupun ilmu – ilmu yang terkait, baik di program pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga sendiri maupun di perguruan tinggi lain, di dalam maupun di luar negeri. Demikian pula peningkatan mutu sumber daya manusia bagi tenaga administrasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan pelayanan administrasi akademik.<br />Kelima, masa pengembangan IAIN. Pada masa ini dimulai tahun 2002 ampai sekarang dibawah kepemiminan Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah. Dengan seiring semakin besarnya tantangan di masa depan dan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap lembaga IAIN, maka IAIN merasa tertantang untuk mengembangkan secara instutional dalam format yang lebih jelas, yakni berubah menjadi Universitas. Namun, sebelum perubahan tersebut dilakukan, IAIN juga melakukan pengembangan dengan konsep “IAIN with wider mandate” (IAIN dengan mandate yang lebih luas). Dengan konsep ini, IAIN telah dan akan mengembangkan jurusan/program studi bidang ilmu - ilmu sosial dan ilmu - ilmu eksakta yang dalam tahapan selanjutnya akan di Up-grade menjadi Fakultas-fakultas, jurusan-jurusan, dan program-program studi.<br />Adapun kebijakan kearah pengembangan perguruan tinggi dewasa ini bertumpu pada paradigma baru yaitu bertumpu pada tiga pilar utama; kemandirian (autonomy), akuntabilitas (accountability) dan jaminan mutu (Quality Assurance). Berdasarkan hal tersebut IAIN bekerja keras melakukan banyak hal :<br />1. Integrasi epistemology keilmuan sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu – ilmu agama.<br />2. Memberikan landasan moral bagi pengembangan IPTEK dan melakukan pencerahan dalam pembinaan IMTAQ sehingga IPTEM dan IMTAQ dapat sejalan.<br />3. Mengartikulasikan Ajaran Islam secara professional ke dalam konteks kehidupan masyarakat sehingga tidak ada lagi jarak antara norma agama dan sofistifikasi masyarakat.<br />4. Mengembangkan riset dan penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif sehingga tidak ada kesan deduktifikasi ilmu – ilmu keislaman. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pola pengabdian yang professional.<br />5. Memberikan landasan moral dan spiritual terhadap pem,bangunan nasional sehingga konsep pembangunan manusia seutuhnya dapat tercaai.<br />6. Melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas dalam berbagai segi baik kelembagaan, akademis, amangerial, dan fisik.<br /><br />C. Kesimpulan Dan Saran<br />1. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Perubahan perguruan tinggi IAIN / STAIN menjadi UIN membuka peluang dan harapan baru.<br />2. Integrasi kurikulum Agama dan Sain Teknologi merupakan tuntutan zaman dan merupakan perkembangan pemikiran paradigma.<br />3. Anehnya mengapa tidak diintegrasi dari TK, SD sampai SMA tidak terintegrasi bahkan waktu untuk agama hanya 2 jam pelajaran.<br />4. Kena apa yang dikaji hanya IAIN saja, sementara banyak perguruan swasta yang bernafaskan Islam seperti Universitas Muhammadiyah, STAINU, dll mestinya ikut terintegrasi.<br />Sebagai saran ilmu ke Islaman disitu tetap harus diutamakan, yang perlu digali mampukah bersaing dengan universitas lain? Tentunya dengan kesungguhan yang dilandasi dengan perjuangan. Dan semua jenjang pendidikan harus diikuti terintegratet.<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Prof. Dr. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar Jogjakarta.<br />2. Prof. Dr. Imam Suprauogo, Makalah Seminar Nasional.<br />3. Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu Agama. Interpretasi dan Aksi, Mizan Pustaka. Bandung<br />4. Integrated University, Infoemation System UIN Sunan Kalijaga 2005<br />5. Sumber Biro Humas UIN Sunan Kalijaga<br />6. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165<br />7. <a href="http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/03x1.htm-16k-Cached-more">www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/03x1.htm-16k-Cached-more</a> from this-site save<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-78031850868652800382008-08-27T19:17:00.000-07:002008-08-27T19:21:49.364-07:00KARYA ILMIAH<div align="justify">DASAR DASAR PENDIDIKAN ISLAM<br />KAJIAN S.N AL ATTAS<br /><br /> I. PENDAHULUAN<br /> Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia yang selalu mengalami perubahan baik dibidang sistem maupun kurikulum belum nampak maksimum bila dibandingkan dengan negara lain. Sebagaimana yang kita rasakan mulai jaman orde baru sampai jaman reformasi ternyata belum membuahkan hasil yang sempurna baik secara individu maupun sosial kemasyarakatan.<br /> Secara individu banyak kita lihat sarjana muslim yang meraih prstasi gelar sarjana tetapi belum dapat menularkan/mengetrapkan tertib ilmunya di dalam kehidupan. Gelar yang diraih merupakan simbul/syarat untuk mencari pekerjaan atau jabatan. Dampak seperti ini hampir dialami oleh sebagian besar mahasiswa bahwa, memiliki gelar sekedar untuk mencari pekerjaan yang enak dengan gajih yang besar. Secara sosial kemasyarakatan masih banyak kita jumpai sarjana muslim yang diberi amanat jabatan lupa terhadap amanat tersebut yang akibatnya menimbulkan ketidak puasan dari berbagai fihak, muncul demo, kekerasan dan fitnah yang tiada putusnya. Disisi lain pendidikan dasar wajib 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, diikuti adanya kejar paket A, B dan C serta SMP terbuka dengan biaya dari pemerintah yang cukup banyak juga belum membuahkan hasil yang maksimum. Lebih-lebih dengn munculnya kompensasi/subsidi BBM bagi anak sekolah dasar (SD dan SMP) gratis biaya sekolah justru memanjakan bagi anak maupun institusi itu sendiri. Yang lebih memprihatinkan lagi pemerintah telah menetapkan bantuan kepada rakyat miskin yang disebut bantuan gakin (keluarga miskin) termasuk raskin juga merupakan pendidikan yang bersifat membodohkan masyarakat. Dalam kenyataan saling berrebutan untuk dicatat/diusulkan menerima bantuan sebagai keluarga miskin yang menurut kriteria belum bisa dipertanggung jawabkan. Sementara pejabat mengajukan tuntutannya untuk dinaikkan gajinya yang apabila dibandingkan dengan bantuan gakin lebih berlipat ganda ini tidak adil.<br /> Demikian beberapa hal yang menarik bagi penulis untuk mengangkat tulisan yang berjudul Dasar-Dasar Pendidikan, kajian Syed M. Naquib Al Attas untuk menjembatani perkembangan pendidikan di Indonesia.<br /><br /> II. PERUMUSAN MASALAH<br /> Dari uraian diatas masalah yang akan penulis angkat dan rumusan masalah adalah: dengan memperhatikan dasar-dasar pendidikan yang benar akan membuahkan hasil yang maksimum. Menurut kajian S.N Al-Attas penanaman dasar pendidikan bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna tetapi untuk memunculkan manusia paripurna. Pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang, ini disebut ta’dib. Dengan adab yang baik dapat membangun dan mengembangkan masyarakat/warga negara yang baik pula.<br /><br />III. TUJUAN<br /> Memberikan wawasan yang luas bagi penulis sebagai seorang pendidik dan rekan-rekan seperjuangan pada khususnya serta mengambil pengalaman yang berharga dari seorang tokoh pendidikan untuk diteladani dan akhirnya dapat mengamalkannya guna membangun warga negara Indonesia yang kita cintai.<br /><br />IV. URAIAN.<br />A. Makna Dan Tujuan Pendidikan.<br /> Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing- masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu yang lebih menfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat belajar.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /> Sementara itu pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Dengan kata lain pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial ekonomi suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa peserta didik. Menurut mereka meskipun memiliki banyak persamaan dengan peserta didik yang lain, seorang peserta didik masih tetap memiliki keunikan dalam pelbagai segi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br /> Sejumlah pemimpin politik umat Islam menempatkan pendidikan berorientasi kemasyarakatan. Bahkan mereka yang melihat penidikan sebagai sesuatu yang berorientasi individual cenderung memilih aliran yang pertama dari pandangan ini, berusaha meraih keberhasilan sosial ekonomi bagi setiap peserta didik dengan harapan supaya mereka bisa memperkuat status sosial-ekonomi negara. Para pemimpin yang berjiwa sosialis menganggap negara atau masyarakat sebagai sesuatu yang lebih penting daripada individu. Mereka melihat pendidikan sebagai investasi, sebagai rekayasa sosial yang akan membentuk kembali tatanan sosial ekonomi negara-negara yang baru merdeka.<br /> Sekarang ini, pendidikan menjadi alat mobilisasi sosial-ekonomi individu atau negara. Dominasi sikap yang seperti ini dalam dunia pendidikan telah melahirkan patologi psiko-sosial, terutama dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit diploma” (diploma disease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial. Dalam masyarakat yang miskin sumber daya alam dan tidak dilengkapi dengan tatanan ekonomi yang baik, sikap pendidikan seperti ini turut menyumbang terciptanya situasi sosial-politik yang kacau. Disamping perencanaan yang buruk dan cara penanganan yang salah, keadaan seperti ini sebenarnya bersumber dari kebingungan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan oleh pengaruh program sekularisasi yang berkesinambungan dan konsep negara ala Barat.<br /> Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari keridhoan Allah. Beberapa teoritisi Muslim, seperti Muhammad ‘Abduh (teolog) di Mesir telah memerhatikan dan mengkritik hasil-hasil negatif dan tujuan pendidikan itu bukan untuk mobilitas sosial-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik. Dia mengkritik habis-habisan sisi-sisi pragmatis dari sistem pendidikan Mesir dan menambahkan:<br />(Pendidikan ini disampaikan [imparted] sehingga murid) bisa memperoleh gelar yang memungkinkannya memperoleh pekerjaan sebagai tenaga administrasi dalam sebuah departemen. Namun, hakekat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan (al-taklim wa al-tarbiyah) dan dengan menanamkan nilai-nilai yang luhur sehingga ia menjadi manusia yang saleh (rijalan shalihan fi nafsi), yang dengannya ia bisa mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam instansi pemerintahan ataupun dalam instansi lainnya tidak masuk kepala guru-guru tersebut.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br /><br /> Indonesia yang penduduknya merupakan penganut agama Islam terbesar di dunia juga menekankan pendidikan yang berorientasikan kemasyarakatan. Dampak yang kita rasakan bahwa penekanan pendidikan terhadap anak didik bidang adab dikesampingkan, terbukti anak didik hubungannya dengan pendidik tidak tercipta menghormat dan kasih sayang bahkan banyak kita jumpai setelah terjun di masyarakat atau mendapatkan amanah jabatan dalam suatu instansi pemerintah maupun swasta terjadi kemerosotan moral. Yang penting anak dapat lulus dengan mendapatkan nilai afektif dan kognitif yang baik dan merupakan suatu kebanggaan bagi institusi sekolah bila anak lulus 100 % dari nilai 3 mata pelajaran yang diujikan secara Nasional. Sementara setelah anak lulus tersebut tidak memiliki bekal pelajar yang baik secara paripurna, bagi keluarga anak didik merasa puas dengan kelulusan mendapat ijazah dapat digunakan untuk melamar pekerjaan. Fenomena yang lain para pegawai / pendidik atau pejabat pemerintah secara formalitas dituntut untuk memiliki ijazah yang sesuai dengan proporsinya. Dan merupakan syarat untuk status sosial-ekonomi.<br /><br />B. Pandangan Yang Mempreoritaskan Individu.<br /> Pendidikan menurut S.N. Al-Attas menegaskan dan menjelaskan bahwa; Tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna tetapi untuk memunculkan manusia yang paripurna.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br /> Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat sepiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br /> Al-Attas berpendapat bahwa warga negara atau pekerja yang baik dalam sebuah negara sekuler tidak sama dengan manusia yang baik; sebaliknya, manusia yang baik sudah pasti seorang pekerja dan warga negara yang baik. Sangat jelas bahwa jika majikan ataupun negara itu baik, sebagaimana yang didifinisikan dalam kerangka ajaran Islam, menjadi pekerja ataupun warga negara itu sama dengan menjadi manusia yang baik. Namun, sebuah negara Islam mensyaratkan adanya partisipasi aktif umat Islam yang kritis. Dalam karya selanjutnya, al-Attas menekankan bahwa penekanan terhadap individu bukan hanya sesuatu yang prinsipiil, melainkan juga strategi yang jitu pada masa sekarang.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br /> Membahas konsep Negara Paripurna (Al-Madinah Al Fadhilah) dalam Islam, Al-Attas menjelaskan bahwa tujuannya bukanlah membina dan mengembangkan warga negara yang sempurna sebagaimana yang ditekankan oleh pemikir-pemikir barat, seperti plato, melainkann lebih penting dari itu, adalah membina manusia yang sempurna, dan pada tujuan inilah pendidikan itu seharusnya diarahkan. Namun, Al-Attas juga mengatakan bahwa Islampun bisa menerima ide pembentukan warga negara yang baik sebagai tujuan pendidikan, namun yang kami maksudkan dengan warga negara disini adalah warga Negara Kerajaan Lain, yang memungkinkannya menjadi manusia yang baik. Menurut Al Attas, perhatian penuh terhadap individu merupakan suatu yang sangat penting, sebab tujuan tertenggi dan perhentian terakhir etika dalam perspektif Islam adalah untuk individu itu sendiri. Karena posisinya sebagai agen moral, menurut Islam, manusialah yang kelak akan diberi pahala atau azab pada hari perhitungan.<br /><br />C. Manusia Beradab.<br /> Al-Attas mengatakan bahwa orang terpelajar adalah orang baik, “Baik” yang dimaksudkannya disini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang memiliki kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya”. Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didifinisikan Al-Attas se bagai orang yang beradab. Tulisannya :<br /> Orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br /><br /> Pendidikan, menurut Al-Attas, adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang – ini disebut dengan ta’dib. Al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad Saw, yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai manusia sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada masa itu. Dia mengatakan, “Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.” <br />Dari keterangan diatas, dapat disimpilkan bahwa pengertian adab menurut Al-Attas melibatkan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran.<br />2. Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.<br />3. Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan perilaku salah dan buruk.<br />4. Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji.<br />5. Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat.<br />6. Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat<br />7. Realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah. Jadi jelaslah bahwa pendidikan yang dimaksudkan Al-Attas berbeda dengan pengajaran dan pelatihan.<br /><br />D. Pengembangan Masyarakat<br /> Fakta yang dianggap lumrah, yang telah dikemukakan sejak zaman Aristoteles bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Filsafat pendidikan Al-Attas sangat jelas menekankan pengembangan individu, tetapi hal ini tidak dapat dipisahkan secara sosial dalam hal cara dan konteks pelaksanaannya. Al-Attas menyatakan;<br /> Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, kami tidak bermaksud utuk melahirkan masyarakat yang baik. Karena masyarakat terdiri individu, melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah (pembuat) struktur masyarakat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br /> Seorang individu hanyalah individu ketika secara simultan ia menyadari individualitasnya yang unik dan kebersamaan dirinya dengan manusia lain yang dekat dengannya dan sekitarnya. Seorang individu tidak memiliki arti apa-apa dalam keadaan itu ia tidak lagi menjadi individu, ia adalah segala sesuatu. Dari penjelasan singkat mengenai makna adab, kini telah jelas bahwa manusia beradab (insan adabi), seperti yang dipahami Al-Attas, adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam, manusia yang baik atau individu yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anak nya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik, dan warga negara yang baik bagi negaranya. Dengan kata lain:<br />Ia harus mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah pelbagai tingkatan manusia, yang harus dipahami sebagai sesuatu yang telah disusun secara hierarkis dan logis ke dalam tingkatan-tingkatan (derajat) kebaikan yang berdasarkan kriteria Al-Qur’an mengenai kecerdasan, keilmuan, dan kebaikan (ihsan), dan harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan itu secara positif, terpercaya dan teruji.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br /> <br /> Walaupun masyarakat terdiri dari individu-individu, pendidikan masyarakat tidak dapat berlangsung kecuali ada individu yang cukup terdidik; persis sebuah mobil yang terdiri dari beberapa spare part yang antara satu dan lainnya saling menunjang sehingga untuk mereparasinya tidaklah harus melibatkan entitas mobil itu secara keseluruhan, tetapi cukup dengan menguatkan masing-masing onderdilnya.<br /> Tujuan Pendidikan dalam Islam itu bersifat religius, tetapi agama, din yang dimaksudkan oleh Islam bukan hanya bersifat personal, melainkan juga secara inheren bersifat sosial dan kultural. Bahkan, seorang sufi yang biasanya oleh kelompok modernis dipahami sebagai orang yang anti sosial, tetap tidak pernah mengabaikan kewajiban sosialnya. Al-Attas telah menyatakan beberapa kali bahwa di pusat-pusat kota, bahkan di desa-desa yang sederhana, kelompok tarekat sufi tetap menjalankan perananya dalam suatu kebudayaan.<br /> Sudah selayaknya jika pelbagai bentuk sitem pendidikan Islam baik dalam bentuk kuttab, madaris, masajid, khaniqah, maupun rumah-rumah pribadi – yang tujuannya adalah pembentukan individu-individu yang baik dan mencapai kebahagiaan tertinggi di dunia dan akherat, dapat menghasilkan banyak pemimpin politik, cendikiawan, administrator, teknisi, dan perajin, serta anggota masyarakat biasa yang tak terhitung jumlahnya. Individu-individu ini semuanya telah memiliki kontribusi dalam pengembangan peradaban Islam, kegiatan keagamaan, intelektual, dan secara unversal masih dihormati dan dikagumi secara jujur dimanapun mereka berada. Hal yang sama tidak dapat dilihat dari produk pendidikan bangsa-bangsa Muslim modern walaupun memiliki kelengkapan material dan teknologi yang terus berkembang.<br /> Dalam perspektif Islam, makna kemajuan masyarakat dan perkembangan nya bukanlah perubahan yang terus menerus menuju masa depan yang tidak pasti. Namun, lebih merupakan “sebuah proses pergerakan Muslim yang telah menyimpang menuju keaslian Islam; perkembangan seperti inilah satu-satunya yang dapat disebut dengan kemajuan yang sebenarnya”. Kemajuan mensyaratkan pencapaian tujuan-tujuan yang telah jelas dalam hidup dan ditetapkan secara permanen; sebab perjuangan menuju tujuan-tujuan yang terus-menerus berubah bukanlah kemajuan. Jadi, sesuatu yang tidak diperdebatkan lagi adalah suatu filsafat pendidikan Islam yang benar, yang menekankan pertumbuhan dan perkembangan individual, intelektual, dan spiritual secara inheren sesungguhnya bersifat sosial. Konseptualisasi Al-Attas hanya mengarahkan perhatian kita pada agen konstruksi dan rekonstuksi sosial yang sebenarnya, yaitu individu, tidak kepada keseluruhan masyarakat. Disemua negara Islam, hampir semua lembaga perguruan tinggi modern dan tradisional dibantu oleh pemerintah secara finansial. Tentunya disana terdapat beberapa pengecualian dan lebih aman untuk mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan negara sangat berpengaruh: dari pemilihan rektor dan pembantui rektor, penerimaan mahasiswa, dan pendirian departemen dan fakultas-fakultas baru, hingga penawaran mata kuliah. Jika visi Al-Attas direalisasikan, umat Islam sangat membutuhkan individu-individu yang tulus dan berpandangan jauh dalam pemerintahan, yang sadar akan peranan mereka dalam pendidikan, bukan hanya beritikad baik, melainkan juga sadar dan sanggup melaksanakannya. Jika tidak, umat Islam harus bergantung pada sumber daya mereka sendiri, yang hanya dapat direalisasikan jika mereka menganggap belajar dan pendidikan bukan hanya sebagai prasyarat penting dalam beribadah, melainkan juga merupakan bentuk ibadah yang tertinggi. Dalam sejarahnya, penekanan terhadap individu terbukti sangat efektif dalam membebaskan cendikiawan yang mampu dan berdedikasi dari kontrol penguasa atau lembaga-lembaga. Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa ijazah pada masa itu diberikan kepada mahasiswa oleh pribadi-pribadi guru bukan oleh lembaga-lembaga.<br /><br />E. Ketiadaan Adab.<br /> Sebagaimana telah dijelaskan diatas, salah satu landasan yang paling utama dalam pemikiran filsafat pendidikan Islam Al-Attas adalah konsepnya mengenai bab yang sangat komprehensif. Secara alami, analis beliau mengenai problem pendidikan, intelektual, dan kebudayaan menunjukkan fakta bahwa problim-problim itu berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial politik dari kebudayaan barat, sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab secara benar dalam segala bidang.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br /> Namun dari semua itu, ketiadaan adablah yang harus ditinjau dan dikoreksi secara efektif jika Muslim ingin menyelesaikan problem kebingungan dan kekeliruan dalam bidang keilmuan dan menanggulangi munculnya kepemimpinan palsu dalam segala bidang. Kebingungan yang akut karena ketiadaan atau disintegrasi adab, tidak hanya berarti rusaknya ilmu (corruption of knowledge), tetapi juga ketidak mampuan mengakui pemimpin yang benar dalam segala bidang, bahkan memberi jalan dan mendukung munculnya pemimpin gadungan. Sebagai tambahan, dengan dalih demokrasi, masyarakat awam dan khususnya para pemimpin mereka akan menjadi penentu masalah-masalah keilmuan kemudian menjalar pada ilmu agama. Kecenderungan populer yang terus meningkat dalam menjalankan lembaga pendidikan dengan gaya manajemen perusahaan pada beberapa masyarakat Muslim dapat mendorong para pelaksana pendidikan untuk menyesuaikan materi yang akan diajarkan di sekolah dan universitas dengan tuntutan pasar. Hal ini juga didorong oleh mass media dan dikontrol oleh kepentingan politik dan bisnis. Perjalanan internasional yang cepat dan efisien memudahkan warga negara yang baik dalam rezim atau organisasi yang tidak adil untuk meluaskan aktivitas mereka dengan lebih cepat, luas, dan kemampuan yang lebih efisian untuk melarikan diri. Pembangunan teknologi informasi yang begitu dahsyat telah menghilangkan batas-batas kenegaraan, secara praktis memberikan informasi tak terbatas untuk pelbagai macam kegunaan, baik atau buruk. Ledakan informasi yang kegunaannya sangat potensial dan gaungnya yang menglobal telah mengakibatkan pelbagai kebingungan, belum lagi isinya yang berbahaya secara etis, cultural, dan sosial. Perkembangan-perkembangan seperti ini pada hakekatnya membutuhkan individu, laki-laki dan perempuan, yang secara instrinsik baik dalam pengertian adab, yang lebih dari pada sebelumnya. Keruwetan bentuk jalinan ekonomi global akan menghancurkan ekonomi-ekonomi dan jutaan kehidupan jika warga negara yang berhasil dari ekonomi kuat dan berpengaruh itu hanya berusaha menguntungkan kepentingan pribadi dan nasional untuk jangka pendek.<br /> Namun yang lebih penting lagi, orgensi ide dan program pendidikan ini sangat mendesak, sebab, walaupun kemajuan luar biasa telah dicapai manusia moderen dalam bidang teknologi, medis, dan ekonomi, ia tidak meningkatkan taraf kebebasan, pencapaian moral dan etika, keadilan, dan kebahagiaan manusia secara berarti dan signifikan. Seorang yang terdidik atau seorang yang beradab, dalam pengertian ini, adalah manusia universal yang memahami dan mengamalkan adab dalam diri, keluarga, lingkungan, dan masyarakat dunia. Manusia yang beradab secara definitif, sebagaimana dipahami dan diamalkan Al-Attas, dapat menghadapi dunia yang plural ini dengan sukses tanpa harus kehilangan identitasnya. Berhadapan dengan pelbagai tingkatan realitas, dengan cara yang benar dan tepat, akan mendorongnya meraih kebahagiaan spiritual dan permanen, baik di dunia maupun di akherat. Hal ini berimplikasi bahwa perencanaan, isi, dan metode pendidikan harus mencerminkan penekanan pada pengamalan adab yang benar secara keras dan konsisten dalam pelbagai tingkat realitas. Untuk merealisasikan tujuan ini, sistem pendidikan yang baru harus diformulasikan dan dilaksanakan di negara Muslim, yang menurut Al-Attas harus dimulai pada tingkat universitas.<br /><br />V. Kesimpulan, Saran dan Penutup<br />A. Kesimpulan<br /> Sebagaimana telah dijelaskan diatas mulai dari pengertian, dasar dan tujuan pendidikan menurut kajian S.N. Al-Attas dan berdasarkan problematika perkembangan pendidikan di Indonesia dapat penulis simpulkan bahwa ;<br /> Tulisan-tulisannya cukup banyak merefisi pengertian Tarbiyah menjadi Ta’dib. Pendidikan Skill/Ketrampilan secara otomatis dapat berkembang dengan sendirinya melalui pendidikan Adab.<br /><br />1. Menurut kajian S.N Al-Attas penanaman dasar pendidikan bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik.<br />2. Pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang, ini disebut ta’dib. Dengan adab yang baik dapat membangun dan mengembangkan masyarakat/warga negara yang baik pula.<br />3. Dalam perspektif Islam, makna kemajuan masyarakat dan perkembangannya bukanlah perubahan yang terus menerus menuju masa depan yang tidak pasti. Namun, lebih merupakan sebuah proses pergerakan Muslim yang telah menyimpang menuju keaslian Islam; perkembangan seperti inilah satu-satunya yang dapat disebut dengan kemajuan yang sebenarnya.<br />4. Problem pendidikan, intelektual, dan kebudayaan menunjukkan fakta bahwa problim-problim itu berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial politik dari kebudayaan barat, sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab secara benar dalam segala bidang<br />5. Penanaman dasar-dasar pendidikan di Indonesia belum menunjukkan ke berhasilan dalam bidang ta’dib. Dalam kenyataan tujuan sekolah lebih ditekankan berusaha meraih keberhasilan sosial ekonomi bagi setiap peserta didik dengan harapan supaya mereka bisa memperkuat status sosial-ekonomi negara.<br /><br />B. Sekilas Tentang Syed M. Naquib Al-Attas.<br /> Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 Pendidikan Dasar di Sekolah Dasar Ngee Heng, Johor (1936-1941), dan Madrasah Al-‘Urwah Al Wutsqa, Sukabumi (1941-1945), Kemudian, dia melanjutkan ke Royal Military academy, sundhust, Inggris dan University of Malaya, Singapura. Al-Attas mendapatkan gelar M.A. pada 1962 dari Universitas McGill, Montreal, dengan Tesis “ Raniti and the Wujudiyyah of 17 Th Century acheh”. Sedangkan gelar Ph. D. diperoleh dari Universitas London 1965 dengan disesrtasi berjudul “The Mysticism of Hamzah Fanshuri”.<br /><br /> Al-Attas pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Melayu (1965-1968), Dekan Fakultas Sastra (1968-1970), dan menjadi Direktur Pertama Institut Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu (IBKKM) yang didirikan pada 1973. Dia juga pernah menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu dan Dekan Fakultas Sastra di Universitas of Malaya, Kuala Lumpur.<br /> Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, meliputi teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri serta telah menulis lebih dari dua puluh buku dan ratusan makalah tentang Islam, khususnya dalam bidang yang memang sangat dikuasainya itu. Sebagian besar karyanya ditulis dalam bahasa Inggris dan sebagian kecil dalam bahasa Melayu. Sejumlah karyanya sudag diterjemahkan kedalam pelbagai bahasa : Arab, Prancis, Jerman, Indonesia, Jepang, Korea, Rusia, Turki, dan Urdu. Sebagai penghargaan atas kontribusinya dalam bidang perbandingan filsafat, Al-Attas diangkat sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang anggotanya terdiri dari tokoh- tokoh terkemuka, seperti Henry Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Toshihiko Izutsu. Dari dalam negeri dia ditunjuk sebagai Pemegang Pertama Kursi Kehormatan Abu Hamid Al Ghazali dalam studi Pemikiran Islam oleh Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai Presiden ISTAC dan International Islamic University Malaysia. Sebagai seorang sarjana Muslim, Al-Attas diakui telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadan Dunia Islam konteporer, terutama dalam persoalan islamisasi ilmu dan pendidikan.<br /> <br />C. Saran<br /> Penulis sependapat dengan kajian S.N. Al-Attas yaitu tentang dasar-dasar pendidikan Islam penanaman adab pada diri seseorang, hanya persoalannya mengapa Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak berani menekankan pendidikan adab ?. bahkan mengapa lebih mengutamakan keberhasilan Ujian Akhir Sekolah (UAN) merupakan kebanggaan bagi institusi maupun anak ?<br /> Untuk menjawab tersebut terutama bagi perguruan yang bercirikhaskan Islam harus berani memulai penekanan pendidikan adab tersebut, sebagai contoh menambah jam pelajaran sebagai ciri khusus dan selalu menghubung kan semua pelajaran dengan adab yang baik serta saling sayang/menghormat antara yang muda dan yang tua. Seperti penulis ketahui contoh pendidikan yang telah diterapkan di pondok modern Darussalam Gontor Ponorogo.<br /><br />C. Penutup<br /> Demikian makalah yang singkat ini semoga bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan rekan seperjuangan pada umumnya. Kepada Allah kami berserah diri, semoga meridloinya. Aamiin.<br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />1. Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan 2003. hal. 165<br />2. ‘Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah,ed. Muhammad ‘Amarah, 6 jil. (Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyyah li Al-Dirasat wa Al-Nasyr), 3.2 111; dicuplik dari Rahman, Islam dan Modernity, h. 60. <br />3. B. Othanel Smith, William O. Stanley, dan J.Harlan Shores, Fundamentals of Curriculum Development. Edisi revisi ( New York, Chicago, San Francisco, Atlanta : Harcourt, Brace, & World, Inc., 1957).<br />4. S.M.N.Al-Attas, Preliminary Notes on the National Philosophy and Objectives of education; dikirim kepada Tan Sri Ghzali Syafie pada September 1970. Ketikan surat hh. 2-3.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Syied M.Naquib Al Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung Mizan . 2003. hal. 165<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> B. Othanel Smith, William O. Stanley, dan J.Harlan Shores, Fundamentals of Curriculum Development. Edisi revisi ( New York, Chicago, San Francisco, Atlanta : Harcourt, Brace, & World, Inc., 1957).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> ‘Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah,ed. Muhammad ‘Amarah, 6 jil. (Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyyah li Al-Dirasat wa Al-Nasyr), 3.2 111; dicuplik dari Rahman, Islam dan Modernity, h. 60. <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> S.M.N.Al-Attas, Preliminary Notes on the National Philosophy and Objectives of education; dikirim kepada Tan Sri Ghzali Syafie pada September 1970. Ketikan surat hh. 2-3.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> IS, h. 141<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Aims and Objectives, h.6.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Risalah,para. 15, h. 54.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> CELL, h.25.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Ibid., h.27.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Ibid., para. 153, hh. 178-180. </div>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-61508512689553065712008-08-23T02:28:00.000-07:002008-08-23T02:30:31.128-07:00PERANAN DAN KREATIFITAS GURU DALAM MENSIKAPI BERGANTINYA KURIKULUM KBK MENJADI KTSPPERAN DAN KREATIFITAS GURU DALAM MENSIKAPI<br /> BERGANTINYA KURIKULUM KBK MENJADI KTSP<br />A. Pengantar<br /> Setiap kali terdengar kabar akan diberlakukannya suatu kurikulum baru, banyak pihak yang buru-buru mengambil ancang-ancang. Namun tidak sedikit pula yang tercengang-cengang, atau malahan berang. Yang segera mengambil ancang-ancang tiada lain tentu adalah pihak yang sangat tergantung, bertumpu, atau boleh juga dikatakan memanfaatkan, keberadaan suatu kurikulum. Pihak ini, siapa lagi, kalau bukan penerbit buku pelajaran dan tentu juga adalah pihak sekolah yang terimbas langsung. Sedangkan yang seringkali menjadi tercengang-cengang biasanya adalah awam, sementara yang berang adalah orangtua siswa yang mau tidak mau harus menyisihkan atau menyiapkan lagi sejumlah dana bagi keperluan belanja buku-buku pelajaran itu.<br /> Tidak kalah pentingnya pula untuk ditengarai adalah banyaknya muncul sikap sinis, pesimis, skeptis, apatis, dan bahkan selalu berprasangka buruk terhadap bakal datangnya suatu kurikulum. Kelompok ini bukan siapa-siapa tetapi justru kebanyakan adalah para guru atau juga para cerdik pandai dalam bidang pengajaran yang lebih sering memandang suatu perubahan sebagai suatu ancaman. Dari sisi atau aspek yang bersebab dari ketidakpahaman, kecenderungan semacam ini mungkin dapat dikatakan wajar, akan tetapi mengapa harus sisi negatif semacam itu yang dikemukakan?<br /> Munculnya seloroh, keratabasa, atau plesetan terhadap metode pengajaran yang populer disebut dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sebagai Cah Bodo Soyo Akeh (= Siswa Bodoh Semakin Banyak)<a href="http://c:/My%20Documents/Grasindo/ibnuwahyudi.html#_ftn3"></a> atau terhadap KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sebagai Kurikulum Bakalan Konyol<a href="http://c:/My%20Documents/Grasindo/ibnuwahyudi.html#_ftn4"></a> atau Kurikulum Berbasis Kebingungan<a href="http://c:/My%20Documents/Grasindo/ibnuwahyudi.html#_ftn5"></a> maupun juga KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebagai Kurikulum Tingkat Sengketa Pembelajaran<a href="http://c:/My%20Documents/Grasindo/ibnuwahyudi.html#_ftn6"></a> atau juga sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai<a href="http://c:/My%20Documents/Grasindo/ibnuwahyudi.html#_ftn7"></a> memperlihatkan adanya nada sinis itu. Sekiranya kesinisan itu muncul sebagai hasil dari suatu pelaksanaan, penerapan, maupun dari pemahaman terhadap kurikulum atau metode pengajaran yang ada untuk jangka waktu tertentu dalam sosialisasi maupun desiminasinya, tentu sikap yang sedemikian itu dapat diterima oleh banyak pihak. Akan tetapi, jika dasar kesinisan itu hanyalah penerusan belaka dari kesinisan yang ada sebelumnya tanpa mengkaji terlebih dahulu esensinya atau hanya sekadar “katanya”, maka kinilah saatnya bagi kita untuk mengaca: jangan-jangan ada dan banyak yang tidak kita mafhumi dari kurikulum yang selama ini telah diberlakukan maupun yang tengah dipopulerkan. Oleh karena itu, kalau kita mempunyai kesadaran berbenah, berbagai aspek dan kenyataan harus menjadi perhatian maupun pertimbangan.<br />B. Realitas Kompetensi Guru <br /> Hal pertama yang agaknya sangat perlu kita sadari adalah bahwa ditilik dari instrumental input, kualitas dan kuantitas guru di Indonesia dapat dikatakan memang sangat rendah. Padahal, suatu kurikulum yang apapun namanya atau bagaimanapun karakteristiknya, tetap selalu akan bertumpu pada sosok yang namanya guru ini. Bahkan ketika guru lebih diposisikan sebagai semacam fasilitator atau sekadar tut wuri handayani sekalipun, tidak berarti guru kehilangan peran. Sekarang perlu kita tengok terlebih dahulu perihal kompetensi guru di Indonesia. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional menyatakan bahwa; Guru SD negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya berjumlah 558.675 orang atau sebesar 45,2% (pada SD swasta sebanyak 50.542 orang atau setara 4,1%)<br /> dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234.927 orang. Di tingkat SMP terdapat 108.811 guru negeri dan 58.832 guru swasta dari total guru sebanyak 466.748 orang (35,9%) yang dinilai tidak layak mengajar.<br /> Sementara untuk tingkat SMA terdapat 35.424 guru negeri dan 40.260 guru swasta dari jumlah keseluruhan 230.114 orang (32.8%) dinyatakan tidak layak mengajar.<br />Sedangkan di tingkat SMK, dari jumlah keseluruhan guru yang berjumlah 147.559 orang, yang dianggap tidak layak mengajar berjumlah 20.678 orang (guru negeri) dan 43.283 orang (guru swasta) atau sama dengan 43,3%.<a href="http://c:/My%20Documents/Grasindo/ibnuwahyudi.html#_ftn8"></a><br />Dari data semacam ini, apa yang dapat kita sematkan sebagai komentar? Memprihatinkan, karena tampaknya banyak guru yang “asal menjadi guru” tanpa suatu tolok ukur kompetensi tertentu atau barangkali juga memang banyak guru yang “tersesat” dan salah dalam memahami bidang keilmuan. <br />Kompetensi guru adalah tingkat kemampuan dan kesanggupan seorang guru dalam kinerja pembelajaran siswa, meliputi :<br />1. Selalu membuat perencanaan konkrit dan detail yang siap dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran siswa (Prota, Prosem, Promidsem, Silabus, Lesson Schem of Works, Paket uji kompetensi),<br />2. Berkehendak mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang menempatkan siswa sebagai arsitek pembangun gagasan dan guru berfungsi untuk “melayani” dan berperan sebagai mitra siswa supaya peristiwa belajar bermakna berlangsung pada semua individu,<br />3. Guru mampu bersikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif,<br />4. Guru berkehendak mengubah pola tindak dalam menetapkan peran siswa, peran guru, dan gaya mengajar. Peran siswa digeser dari peran sebagai “ konsumen “ gagasan ( seperti ; menyalin, mencatat, mendengar, menghafal yang hanya mampu menyerap 20% dari pengetahuan tanpa skills dan sedikit pengaruh pada perilaku berbudi pekerti), ke peran sebagai “produsen” gagasan (seperti : bertanya, meneliti, merespon pendapat guru dan ilmu, memecahkan masalah, menyatakan pendapat, melakukan apa yang dikatakan, mengarang, menulis kisah, berkreatif) sehingga dapat menguasai 90% dari pengetahuan, disertai skills (keterampilan/kecakapan) dan berpijak pada perilaku berbudi pekerti. Peran guru harus berada pada fungsi sebagai “fasilitator” (pemberi kemudahan peristiwa belajar) dan bukan sebagai penghambat peristiwa belajar. Gaya mengajar difokuskan pada model “pemberdayaan” dan “pengkondisian” dari pada model “latihan” (dril) dan “pemaksaan” (indoktrinasi).<br />5. Guru harus berani meyakinkan kepala sekolah, orang tua dan masyarakat agar dapat berpihak pada mereka terhadap beberapa inovasi pendidikan yang edukatif yang cenderung sulit diterima oleh awam dengan menggunakan argumentasi logis dan kritis.<br />6. Guru mampu bersikap kreatif dalam membangun dan menghasilkan karya pendidikan seperti : membuat alat bantu belajar ( alat peraga, tranparan OHP ), bermain peran, memberi tugas-tugas yang menantang, menyususn silabus, menyusun schem of works, menyusun alat penilaian, yang beragam (penilaian pengetahuan, penilaian skills dan penilaian attitudes) organisasi kelas,dan perancangan kebutuhan kegiatan pembelajaran<br />7. Guru harus sanggup menjadi motivator belajar siswa dan memotivasi dirinya sendiri dalam menambah wawasan pengetahuan, ketermpilan dan sebagai figur orang yang berbudi baik<br /><br />C. Kreatifitas Guru Tentang Proses Belajar Mengajar Kurikulum KBK.<br /> Seiring dengan perkembangan/perubahan dalam kehidupan ber masyarakat, berbangsa dan bernegara serta perkembanagan dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni hidup, membawa implikasi terhadap perlunya pengembangan kuirikulum. Kurikulum adalah salah satu penentu keberhasilan suatu pendidikan sedangkan “ Pendidikan merupakan investasi yang ditanam masa kini untuk memanen hasil di hari ini, hari esok dan atau masa datang.” Proses pendidikan memerlukan acuan yang dapat menjamin derap peningkatan kemampuan peserta didik dalam berperan sebagai pelaku kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mau tidak mau akan mengimbas pada budaya kehidupan masyarakat yang cenderung tidak mau statis. Kurikulum Berbasis Kompetensi menjawab tuntutan pendidikan anak bangsa ini, yang akan tumbuh dan berkembang sebagai bangsa yang mandiri, cerdas, cakap, kritis, rasional, kreatif, berbudi pekerti dan bergengsi dalam percaturan global hari ini, hari esok dan pada masa-masa datang. Ketika Kurikulum Berbasis Kompetensi diterapkan dalam terminologi pengelolaan pembelajaran siswa secara konsekuen, didukung dengan sarana belajar yang ada dan perubahan perilaku pelaku pembelajaran, output proses pembelajara siswa, akan memiliki kompetensi bernuansa pengetahuan (Knowledge), keterampilan ( Skills ) pembentuk potensi kecakapan untuk hidup (life skills) yang diwarnai perilaku (Attitudes) sebagai pencerminkan budi pekerti dan akhlak mulia. Pembelajaran siswa dengan acuan Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut pengembangan kreatifitas guru dan karyawan di sekolah. Namun demikian orang tua siswa dan keluarga serta masyarakat lokal juga terkait erat memberikan dukungan besar akan tercapainya karakteristik tamatan sekolah disetiap jenjang pendidikan. Disini berarti semua komunitas pendidikan internal dan eksternal ikut masuk dalam jaringan kerja Proses Belajar Mengajar siswa. Berarti pula konsep Manajemen Berbasis Sekolah dengan skala prioritas Manajen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) merupakan inovasi pendidikan pendukung aplikasi Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai acuan pengelolaan Proses belajar mengajar di sekolah. Guru dan karyawan sekolah sebagai pendukung aktif proses belajar mengajar tertantang kreatif dalam meningkatkan kompetensi Knowledge, Skills dan Attitudes lebih dari yang pernah dimiliki, karena mereka terkait erat dengan pembelajaran siswa yang bertujuan terakumulasikannya berbagai kompetensi siswa dalam suatu kepemilikan pemahaman dan kesadaran akan kecakapan hidup sepanjang hidupnya yang dapat disebut Life skills.<br /> Kurikulum Berbasis Kompetensi Bertujuan Membentuk Siswa Tamatan Yang Kompeten.<br /> Kurikulum berbasis kompetensi merupakan acuan yang tepat untuk mewarnai pembelajaran siswa dengan tujuan membentuk siswa yang kompeten. Sehingga Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat disebut Kurikulum Bertujuan Kompetensi, karena proses belajar mengajar yang dipedomani Kurikulum Berbasis Kompetensi tidak cuma mengajarkan kepada siswa pengetahuan semata, sehingga siswa terlena dengan semangat menguasai ilmu pengetahuan sebagai tujuan belajar dan lupa akan keterampilan dan budi pekerti yang harus terbentuk selama pembelajaran. Kurikulum berbasis kompetensi yang difahami secara mendasar kemudian dipakai sebagai pedoman proses pembelajaran siswa secara konsekuen dapat menumbuhkan kualifikasi diri masing-masing siswa untuk memiliki kecakapan hidup atau life skills, karena kurikulum berbasis kompetensi memedomani proses pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa mengembangkan berbagai kecakapan (skills) dalam bentuk keterampilan akademik melalui pembelajaran pengetahuan (knowledge), sehingga memiliki perilaku (attitudes) sopan-santun, berbudi pekerti luhur sebagai orang beriman kepada Sang Pencipta. Pengertian Kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, merupakan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Jika kebiasaan berfikir dan bertindak berdasarkan knowledge, skills dan attitudes tersebut dilakukan seseorang secara konsisten dan terus menerus dapat menjadikan orang tersebut menjadi kompeten dalam bidang tertentu. Rumusan Kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, merupakan pernyataan apa yang diaharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten. Secara runtut dan sistematik Kurikulum Berbasis Kompetensi menjelaskan dasar pemikiran penggunaan konsep kompetensi :<br />Kompetensi berkenaan dengan perangkat kemampuan melakukan sesuatu sehingga kompetensi harus memiliki konteks<br />Konteks yang dimaksud adalah dapat terdiri atas berbagai bidang kehidupan atau hal-hal yang diperlukan agar seseorang dapat melakukan sesuatu.<br />Kompetensi mendeskrepsikan proses belajar mengajar yang dilalui oleh seorang individu untuk menjadi kompeten.<br />Kompeten adalah sesuatu hasil (outcome) yang mendeskrepsikan apa yang dapat diperbuat seseorang setelah melalui pendalaman perangkat kompetensi.<br />Kehandalan kemampuan seseorang melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja (performen) yang terukur atau dapat diukur.<br />Kompeten menjadi suatu ukuran dari apa yang dapat diperbuat oleh seseorang.<br /> Dengan demikian KBK berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri seorang siswa melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna dan keberagamana yang dapat dimanifestasikan dan diinvistasikan sesuai dengan kebutuhan. Menyikapi Kurikulum Berbasis Kompetensi yang ternyata Kurikulum Bertujuan Kompetensi, oleh karena itu setiap Lembaga Pendidikan/sekolah harus tertantang menentukan berbagai kompetensi tamatannya seperti apa, berdasar kebutuhan yang mana, apa indikator pencapaiannya, bagaimana cara mencapainya dan apa yang dipakai sebagai alat ukur ketercapaian dan bagimana mengukur indikator pencapaian komtetensi yang dimaksud sebagai tujuan pembelajaran atau yang ditargetkan sebagai standar mutu sekolah (SMS). Guru-guru dari suatu Lembaga Pendidikan harus menyikapi kompetensi yang ditentukan Lembaga/sekolahnya dan melakukan creatifitas tertentu sesuai bidang mata pelajarannya. Dengan demikian setiap guru harus menentukan pula indikator-indikator kompetensi kompetensi siswa sebagai target mutu yang akan dicapai sepanjang proses pembelajaran. Guru harus mampu mengukur sendiri indikator kompetensi yang ditetapkan, dan pula mereka harus bisa mengatakan dan menyatakan keberhasilan atau ketidak berhasilan PPS yang disajikan kepada Lembaganya dan kepada siswa sesuai target mutu yang dimaksud. Jika sudah berhasil sesuai dengan kompetensi yang ditargetkan, guru harus menjaga mutu (guality assurens) dan meningkatkan kekompetensi yang lebih. Jika kurang berhasil guru itu harus meningkatkan kontrol-kontrol bertahap, sebagai langkah kendali mutu (quality control) pembelajarannya untuk menindak lanjuti dengan berbagai kreatifitas lanjutan.<br /><br />Mengapa demikian ?<br />Karena Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :<br />Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individu maupun klasikal,<br />Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman,<br />Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode bervareasi,<br />Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif,<br />Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.<br />Dengan demikian Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai kurikulum dan hasil belajar yang memuat perencanaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir hingga usia 18 tahun. Disamping buku KBK setiap mata pelajaran, kurikulum berbasis kompetensi juga dilengkapi Pedoman Pengintegrasian Pendidikan Budi Pekerti yang bertujuan mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji, dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab, peserta didik sebagai penerus bangsa, memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individual maupun sosial. Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Tujuan tersebut dapat dicapai ketika pendidikan Budi Pekerti diintegrasikan kedalam proses pembealajaran semua mata pelajaran terutama Agama dan Kewarganegaraan. Nilai-nilai Budi pekerti yang dapat dintegrasikan adalah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mentaati ajarannya, menaati ajaran masing-masing agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi, memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri, mengembangkan etos kerja/etos belajar, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki rasa keterbukaan, mampu mengendalikan diri, mampu berfikir positif, mengembangkan kualifikasi diri, menumbuhkan rasa cinta dan kasuh sayang, memiliki kebersamaan dan gotong royong, memiliki rasa kesetiakawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan santun, memiliki rasa malu, menumbuhkan kejujuran. Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan kepada siswa selama pengalaman proses pembelajaran di kelas maupun proses pembelajara di luar kelas dalam membentuk perilaku siswa. Disamping budi pekerti, kurikulum berbasis kompetensi memasukkan pengetahuan tentang hak azasi manusia, pariwisata, lingkungan hidup, pencegahan konsumeristik, kependudukan, kehutanan, home industri/ekonomi, pencegahan HIV/AIDS, penangkalan narkoba, perdamaian, demokrasi dan peningkatan konsensus pada nilai-nilai universal dalam pembelajaran mata pelajaran yang sesuai. Dalam proses belajar mengajar guru dan karyawan menjadi figur contoh dalam setiap perilakunya yang dapat mewarnai perilaku semua siswa. Oleh karena itu jelas bahwa hubungan anatara kreatifitas guru dan karyawan dalam bertindak, berperilaku, berkomunikasi setiap saat mesti mendukung pembelajaran setiap mata pelajaran di kelas atuapun diluar kelas.<br />Disamping budi pekerti, pembelajaran juga harus diperhatikan tentang pembentukan kecakpan hidup yang akan membantu siswa setelah tamat.<br />Dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi tidak terpisahkan dari manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Diperlukan komunitas pendidikan disekolah yang kreatif agar dapat menempatkan dirinya dalam mutu proses pembelajaran siswa yang mengakumulasikan personal skills, social skills, environmental skills dan vokasional skils dalam pembelajaran setiap mata pelajaran yang terakumulasi dalam akademic skills menuju siswa yang kompeten dalam arti memahami dan menyadari kecakapan hidup atau Life Skills. Kata Cakap mengandung arti pandai dengan kemahiran tertentu, mampu melakukan sesuatu dengan kemahirannya yang diterapkan dalam kemampuannya dan kesanggupannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kecakapan tersebut dapat dimiliki siswa selama pengalaman proses pembelajaran disekolah maupun dirumah. Siswa yang memiliki life skills berarti memiliki suatu kepandaian dan kemahiran serta kesanggupan yang ada pada dirinya untuk menempuh kehidupan berkelanjutan dari mulai kanak-kanak sampai akhir hayatnya. Potensi untuk mengembangakan life skills seseorang, sudah ada sejak ia dilahirkan. Sedangkan waktu untuk mengembangkan potensi yang merupakan rahasia diri ini lebih lama, karena melalui proses pengembangan naluri biologis, pengembangan daya pisik, daya pikir, daya emosi dan daya spiritual yang akan terpadu menjadi daya kalbunya. Pendidikan yang dialami anak melalui jalur informal dan jalur pendidikan formal adalah proses upaya yang secara sadar dilakukan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri pribadi agar mampu menjalani kehidupannya, dikenal dengan nama mendidik.<br /><br />D. Diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP)<br /><br /> Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sesungguhnya sangat sejalan dengan dinamika sosial-politik dewasa ini yang banyak bertumpu pada rancangan desentralistik, khususnya dalam pelaksanaan otonomi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk tentu dalam pengelolaan pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah. Maka, siap atau tidak siap, yang segera harus dilakukan adalah memperkaya atau juga menyadarkan para guru akan posisi strategis mereka dapat dan mampu menata atau berbenah dalam menghadapi kurikulum yang dapat dikatakan paling lengkap ini. Dikatakan paling lengkap, seperti dinyatakan oleh Idris Apandi, KTSP dapat disimpulkan mengandung prinsip pengembangan yang ;<br />berpusat pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;<br />beragam dan terpadu; <br />tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan; <br />relevan dengan kebutuhan kehidupan; <br />menyeluruh dan berkesinambungan; <br />belajar sepanjang hayat; dan <br />seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.<br /> Perubahan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) sebetulnya sama, Standar Kompetensinya banyak yang dikurangi tapi disusun secara sistematis/berurutan. Disamping itu bahan, sumber, alat dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan sekolahan masing-masing. Maka bagi sekolahan yang sudah memberlakukan KTSP ini berhak menentukan Visi, Misi, Tujuan dan Landasannya serta menentukan struktur kurikulum pengembangan sekolahan unggulan/pengembangan diri.<br />Juga berhak menentukan kenaikan kelas maupun kelulusannya, termasuk membuat kalender pendidikan, awal tahun ajaran, waktu belajar dan alokasi waktu<br />Indonesia sudah berganti beberapa kali semenjak pertama kali dicanangkan pada tahun 1950.<a href="http://c:/My%20Documents/Grasindo/ibnuwahyudi.html#_ftn13"></a> Dan pergantian atau perubahan kurikulum merupakan hal yang wajar sebagai bentuk aktualisasi maupun responsi dari perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan. Akan tetapi, setiap ada modifikasi dalam kurikulum, masyarakat pada umumnya selalu memberikan tanggapan yang pada intinya kurang menggembirakan; bukan karena masyarakat itu anti-perubahan mengenai kandungan kurikulum atau anti-kemajuan, melainkan karena berdampak pada buku-buku teks yang juga berganti. Dengan bergantinya buku-buku teks atau buku-buku pelajaran itu berarti para orang tua murid harus menyediakan tambahan dana untuk membeli buku-buku tersebut, sebagaimana sudah disebutkan di awal tulisan.<br /><br />E. Kesimpulan.<br /> Dengan silih bergantinya kurikulum kreatifitas guru dan karyawan tidak mudah dibentuk oleh orang lain, tetapi memerlukan penyadaran diri, semangat, motivasi diri yang kuat untuk maju. Penulis berharap bahwa prestasi seseorang dari rentetan informasi tentang konsep kurikulum berbasis kompetensi, life skills, KTSP, kreatifitas guru dan karyawan, mudah-mudahan dapat menjawab tantangan kreatifitas guru dan karyawan sekolah dalam penerapan berbagai perubahan kurikulum. Ketika sekolah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi secara konsekuen dan ditindak lanjuti dengan pemberlakuan KTSP dapat diharapkan kompetensi tamatan yang memiliki kecakapan hidup/ life skills dan mandiri, cerdas, cakap, kritis, rasional, kreatif, berbudi pekerti dan bergengsi dalam percaturan global hari ini, hari esok dan pada masa-masa datang.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Sumber Penulisan :<br /><br />1. Kebijakan Umum Kurikulum Berbasis Kompetensi, Buku Kurikulum dan Hasil Belajar, Penilaian Berbasis Kelas, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Depdiknas<br />2. Pendekatan Kontektual (Contextual Teaching and Learning) Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktoat PLP 2002.<br />3. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah ( buku 1 sd 5 ), Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Ditjen Dikdasmen,<br />4. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup ( Life Skills Education ), Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Ditjen Dikdasmen,trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-40633540209179120362008-08-23T02:17:00.000-07:002008-08-23T02:21:41.285-07:00Tujuan Pendidikan Menurut Perspertif Al Qur'an<div align="justify">A. PENDAHULUAN<br /><br />1. Latar Belakang Masalah.<br /> Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir sebagai penutup diantara para nabi yang menjadi utusannya. Sebagai nabi ia diberi wahyu yang bernama al Qur’an. Al Qur’an adalah firman Allah sebagai petunjuk yang diberikan kepada manusia kejalan yang lurus. ( Q.S. Al-Isro’ 17/50:19)<br /> Dengan keadaan demikian, al-Qur’an harus dipandang sebagai panutan dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya mencakup ajaran dogmatis, tetapi juga ilmu pengetahuan. (Umar Syihab, 1990: 93)<br /> Oleh karena itu banyak ungkapan dalam al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk melihat, memperhatikan, berfikir, menganalisa, bekerja dan beramal. Dalam hal ini dapat dfahami, karena al-Qur’an enggan menerima orang-orang yang buta hatinya atau orang yang hanya ikut-ikutan saja. Al Qur’an akan menerima orang yang senantiasa menggunakan akal sehatnya dan jauh dari segala macam pengaruh. (Syekh Mahmud Abdul Fayid, t.th.:11)<br /> Dan Allah mengemukakan bahwa tidaklah bisa disamakan antara orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu. Hal ini dijelaskan dalam Q.S az Zumar (39/59): 9 yang berbunyi:<br />قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ<br /> …..Katakalah: “Adakah sama orang – orang yang mengetahui dengan orang – orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat maenerima pelajaran.<br /> Dalam ayat yang lain , bahkan menjelaskan bahwa orang yang tahu (mempunyai pengetahuan) mempunyai peranan yang besar dan derajat yang tinggi. Hal ini dijelaskan dalam Q.S.al-Mujadalah (58/106): 11<br />يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ <br /> …..niscaya Allah akan meninggikan orang – orang yang beriman di antaramu dan orang – orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Megetahui apa yang kamu kerjakan.<br /> Dengan penjelasan tersebut, maka nampaklah bagi kita bahwa al-Qur’an sangat mengagungkan kebebasan berfikir dan menghargai kekuatan akal. Namun persoalannya, dapatkah manusia berfikir dan mempergunakn akal secara baik dan benar tanpa melalui proses. Untuk itulah diperlukan adanya satu proses dalam kehidupan manusia yang disebut pendidikan.<br /><br />2. Rumusan Masalah<br /> Untuk lebih memfokuskan paparan permasalahan pada makalah ini penulis membatasi pada rumusan masalah sebagai berikut; <br /> Tujuan Pendidikan dalam Perspektif al Qur’an yang berdasarkan pada ayat 1-5 dari Q.S Al-Alaq.<br />3. Metodologi<br /> Makalah ini disusun menggunakan metode telaah pustaka, dengan cara mengutip pendapat dari tulisan yang telah dibaca, kemudian ditelaah dan dianalisis sesuai dengan kemampuan penulis.<br /> Untuk pengumpulan data pada makalah ini digunakan metode pengumpulan data literer, yakni dengan terlebih dahulu menelusuri buku – buku yang ada relevansinya dengan masalah – masalah yang dibahas untuk dikaji guna mencari landasan upaya pemecahan persoalan. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> B. PEMBAHASAN MASALAH<br /><br />1. Prolog Turunnya Ayat.<br /> <br /> Dalam makalah ini akan dibahas tentang pendidikan dalam Al-Qur’a yang berdasarkan pada ayat 1-5 dari Q.S.Al-‘Alaq (96/1) yang berbunyi<br />اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ(4)عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)<br /><br /> Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia ) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.<br /> <br /> Proses penerimaan wahyu itu pada suatu hari di dalam gua hiro’ beliau dikejutkan oleh kedatangan malaikat membawa wahyu Ilahi. Malaikat berkata kepadanya “Bacalah”. Beliau menjawab “ Aku tidak bisa membaca”. Kedua kalinya malaikat memegang nabi dan menekan-nekannya hingga nabi kepayahan lalu dilepaskannya. Malaikat berkata lagi kepadanya; “Bacalah”. Nabi menjawab,”Aku tidak bisa membaca”. Ketiga kalinya malaikat memegang nabi dan menekan-nekannya hingga nabi kepayahan, kemudian nabi diperintahkan membaca dengan mengucapkan apa yang diucapkan oleh malaikat, yaitu Q.S Al Alaq ayat 1- 5. (Ahmad Mushthofa al-Maroghi Juz XXX, 1974:197).<br /> Selanjutnya, beliau pulang ke rumah Khotijah dalam keadaan gemetar. Sambil berkata: “Selimutilah aku, selimutilah aku”. Orang-orang yang ada di rumah itu menyelimutinya hingga rasa takut hilang. Lalu Rasulullah saw. menceritakan semuanya kepada Khatijah: “Aku merasa khawatir pada diriku”. Khotijah berkata: “Jangan khawatir, engkau bergembiralah! Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambung silaturrahmi, benar dalam bicara, menanggung beban, gemar menyuguhi tamu, dan senang menolong orang yang tertimpa bencana (Ibnu Katsir. Juz IV, t. th: 527)<br /> Berdasarkan keterangan diatas menunjukkan bahwa ayat-ayat yang lima ini merupakan awal mula diturunkannya al-Qur’an dan menunjukkan bahwa Muhammad mulai diangkat menjadi pesuruh Allah atau Rasulullah..<br /><br />2. Proses Pendidikan<br /><br /> Kata إقرأ pada ayat 1 dan 3 dari Q.S.al-‘Alaq ( 96/1 ) mempunyai arti “perintah membaca”. Kata إقرأ pada ayat ketiga ini merupakan pengulangan dan penguat dari ayat pertama. Menurut Al Nisaburi, sebagaimana yang dikutip M.Quraish Shihab (1997: 93) adalah sebagai berikut:<br />1. Perintah membaca yang pertama ditujukan kepada pribadi Muhammad Saw., sedangkan yang kedua kepada umatnya.<br />2. Yang pertama untuk membaca dalam salat, sedang yang kedua diluar salat.<br />3. Perintah pertama dimaksudkan sebagai perintah belajar untuk dirinya sendiri, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain.<br /><br /> Kata إِقْرَأْ yang berasal dari قَرَأَ - يَقْرَأُُ yang terdiri dari “qaf, ra’ dan hamzah’,berarti “pengumpulan, penghimpunan”. (al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Juz V, t.th.: 78-79). Kalau kata ini diterjemahkan dengan “bacalah”, maka kata perintah ini mengandung aspek pendidikan , yaitu dengan adanya seseorang membaca, ia berarti menghimpun dan mengumpulkan ilmu pengetahuan. Dengan kata <br />قَرَأَ ini pula menandakan bahwa sejak awal diturunkannya al-Qur’an telah memberikan isyarat bahwa betapa pentingnya ilmu pengetahuan. Perintah membaca pada wahyu pertama ini, nantinya disusul dengan ayat demi ayat yang berjumlah 6.236 ayat yang sebagian besar mendorong kepada ilmu pengetahuan. (Zakiah Darajat, 1972: 8-80). Hal ini memberikan indikasi kepada kita betapa pentingnya perintah membaca tersebut. Untuk bisa membaca memerlukan belajar terlebih dahulu, sementara belajar itu sendiri merupakan bagian dari pendidikan.<br /> Kata قَرَأَ di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu dalam Q.S.al-A’la/96:1 dan 3, serta Q.S. al-Isra’/17: 14. Dalam Q.S.al-Isra’/17:14 berbunyi:<br />اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا<br />“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”.<br /><br /> Ada yang merasa heran mengapa pertama dari ayat tersebut adalah kata إِقْرَأْ<br />Atau perintah untuk membaca. Padahal nabi Muhammad belum pernah membaca suatu kitab apapun sebelum turunnya al- Qur’an. Hal ini sesuai dengan Q.S.al-‘Ankabut (29/85): 48<br />وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لاَرْتَابَ الْمُبْطِلُونَ<br />Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis sesuatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).<br /><br /> Keheranan ini akan hilang jika seseorang tersebut menyadari arti dari iqra’<br />itu sendiri dan menyadari pula bahwa perintah membaca itu juga untuk umat manusia seluruh alam dalam sejarah kemanusiaan. Sebab al-Qur’an menjadi pedoman bagi umat manusia agar berbahagia dunia dan akhirat.<br /> Kata “bacalah” dalam ayat pertama ini menunjukkan bahwa perintah tersebut dalam kategori mar takwini, perintah atau titah Allah untuk menjadikan sesuatu. (Muhammad ‘Abduh,1999: 248)<br /> Ayat pertama sesudah kata إِقْرَ adalah kata بإسم yang berasal dari kata bi dan ism. Huruf bi biasanya diterjemahkan “dengan”. Ada pendapat maksud dari bi ini antara lain:<br />1. Huruf ba’ ( ب ) yang dibaca bi tersebut adalah sisipan yang tidak menambah suatu makna tertentu melainkan hanya sekedar memberi tekanan kepada perintah tersebut. Pendapat ini menjadikan kata ismi ( إسم ) sebagi obyek dari perintah iqra’ seperti yang dikemukakan di atas.<br />2. Huruf ba ( ب ) tersebut mengandung arti “pernyataan” atau mulasabah sehingga ayat tersebut berarti” Bacalah disertai dengan Nama Tuhanmu!” (M.Quraish Shihab.1997:80)<br /> Dari dua pendapat tersebut penulis lebih cenderung pada point yang kedua sebab dalam membaca kita harus selalu bersama nama Tuhan . Jadi mengaitkan pekerjaan membaca dengan nama Tuhan mengantarkan si pelaku selalu karena Tuhan dan akan menghasilkan keabadian, karena Tuhan yang Kekal Abadi, serta diiringi keikhlasan.<br /> Kata ismi dari kata sama-yasmu berarti tinggi, (al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya.T.th:JuzIII:99), dan juga dapat berarti tanda, (M.Quraish Shihab,1997). Dalam bahasa Indonesia diartikan ”nama” , sebab nama itu harus dijunjung tinggi dan sebagai tanda sesuatu.<br /> Kata rabb dari kata rabba terdiri dari huruf ra’, ba’, dan mu’tal berarti penambahan, pertumbuhan dan peninggian, (Al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Juz II,T.TH.:483), ada yang mengatakan berarti meningkatkan, penambahan, pengembangan atau pertumbuhan. (Ibn Manzhur ,vol.14,1968: 304 – 307). Kata tersebut akhirnya mengacu pada arti pengembangan, peningkatan, ketinggian, dan perbaikan. Kata rabb berarti pendidikan karena dari akar kata تربية<br />Kata تربية yang berati “menjadikan / mendirikan sesuatu tahap demi tahap sampai taraf sempurna”. (Al Raghigb al- Ashfahani ,1992: 189). Dapat pula berarti “memelihara” , atau “memperbaiki”. (Al Husayn Ahmad bin Faris bin Zkariya,Juz II, t.th: 18 – 19)<br /> Maududi menjelaskan bahwa” mendidik dan memelihara” merupakan salah satu dari sekian banyak makna implisit yang terkandung di dalam kata رَبَّ (Abdurrahman Saleh Abdullah. 1990: 18) Qurthubi menyebutkan bahwa kata ini merupakan bentuk diskripsi yang diberikan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan secara paripurna. (Abdurrahman Saleh Abdullah. 1990: 19). Sementara Al-Razy membuat perbandingan antara Allah Yang Maha Mendidik yang mengetahui benar kebutuhan – kebutuhan hambanya sebagai peserta didik, karena Allah adalah Sang Pencipta. Pemeliharaan manusia terbatas kepada kelompok tertentu , sementara Allah adalah Rabb al-‘Aalamin yang universal dan tiada batas. Karena manusia berkomunikasi dan menitik beratkan pendidikan bagi manusia yang ada di bumi ini, maka akan sangat relevan jika Allah diyakini, yang telah mengajarkan manusia di muka bumu ini dengan nama – nama dari segala sesuatu yang ada. (Abdurrahman Saleh Abdullah 1990: 19) Jadi pendidikan merupakan proses transformasi pengetahuan dari satu generasi, atau dari orang tua kepada anaknya , atau dari seseorang pengajar kepada anak didiknya. (Ahmad Zaki., t.th.: 1270)<br /> Kata rabbuka dalam ayat ini berarti Tuhanmu , sebab Tuhanmulah yang mendidik, memelihara, memperbaiki manusia. Itu semua pada hakekatnya adalah pengembangan, peningkatan, perbaikan, meninggikan kemampuan yang menjadi obyek didik, yaitu manusia.<br /> Kata خَلَقَ dari berarti memberi ukuran sesuatu dan menghaluskan sesuatu. (Al Husayn Ahamad bin Faris bin Zakariya, Juz II,t.th.: 213). Kedua- duanya merujuk pada makna pemberian bentuk sesuatu yang mengarah pada fisik dan pemolesan psikis manusia. Kata khalaqa dalam bahasa Indonesia biasa diartiakan” menciptakan”. Yang dimaksud adalah menciptakan dari tiada, atau menciptakan tanpa satu contoh terlebih dahulu. ( M.Quraish Shihab.1997: 86)<br /> Kata الإنسان diterjemahkan dengan “manusia” berarti keadaan sesuatu yang selalu tampak dan jinak. (Al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariya, Juz I, 1979: 145). Untuk makna yang pertama relevan dengan penampilan manusia yang dapat dilihat fisiknya yang berbeda jika dilawankan dengan jin sebagai makhluk halus. Untuk makna yang kedua berkenaan dengan sifat kejiwaan manusia seperti keramahan, kesenangan dan berpengetahuan. (Abd.Muin Salim .1989: 104). Selain kedua arti tersebut kata الإنسان dari akar kata نسين (nisyun) berarti lupa , ada pendapat dari نوس (nawsun) berarti pergerakan dan dinamika. (M.Qurish Shihab ,1997:89). Dengan demikian manusia itu tercakup adanya pisik psikis yang mempunyai sifat lupa, selalu ingin bergerak maju dan dinamis.<br /> Kata علق berarti sesuatu yang digantungkan pada sesuatu yang tinggi.(Al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariya, juzIV,t.th.:125). Kata al’alaq dalam ayat ini biasanya diartikan dengan darah yang beku. (al-Raghib al-Ashfahani,1992:579), maka dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan segumpal darah. Kemudian membekalinya dengan ilmu pengetahuan biasa mengolah bumi serta menguasai apa yang ada padanya untuk kepentingan umat manusia. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan ada ketergantungan dari pihak luar atau orang lain, yaitu pendidik.<br /> Kata إقرأ yang kedua dalam ayat ke tiga menunjukan adanya perintah membaca yang berulang -ulang , apa lagi jika dihubungkan dengan prolog turunnya ayat-ayat ini akan nampak jelas bahwa membaca itu harus berulag-ulang. Didalam prolog turunnya ayat-ayat ini Rasullullah disuruh membaca sampai tiga kali dan dalam ayat –ayatnya ada dua kali sehingga berjumlah lima kali perintah membaca<br /> Kata إقرأ lebih terasa kandungan pendidikannya, jika dihubungkan dengan kalimat وربك الأكرم kata رب pada dasarnya bermakna “pendidikan” sudah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya kata رب disifati dengan kata أكرم . Kata ini asalnya terdiri dari huruf kaf, ra’ dan mim, yang berarti mulia pada sesuatu pada dirinya atau mulia pada akhlak .(al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya,1979,Juz V: 171-172). Menurut M.Quraish Shihab (1992 b:27) bahwa كرم mempunyai arti, antara lain: memberikan dengan mudah tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, dan kebangsawanan. Namu apabila kata ini disifatkan kepada Allah, maka ia berarti nama yang dilekatkan karena kebaikan-Nya dan kemaha murahan-Nya yang tampak (Q.S.27/48:40).<br /> Kata أكرم dalam ayat ini dalam bentuk ism tafdhil mengandung pengertian bahwa Allah menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi segala hamba-Nya, khususnya dalam perintah membaca. Di samping itu pula dapat bermakana bahwa Allah lebih tinggi dari segala kemuliaan dengan pengertian bahwa Allah dalam memberi tidak mengharapkan manfaat, pujian ganjaran, atau menolak bahaya. (Al- Fakhr al-Razi, t.th.:16)<br /> Al-Qurthubi menyatakan bahwa penyifatan Tuhan dengan أكرم mengandung arti kemahabijaksanaan Tuhan akan ketidaktahuan hamba-Nya, maka Dia tergesa-gesa dalam menyiksanya. (al-Qurthubi ,t.th.:7209). Sedangkan Sayyid Quthub berpendapat bahwa penyifatan Tuhan di sini menunjukkan kemahakuasaan Tuhan, apabila dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan Tuhan menumbuhkan dari hal- hal yang kecil dan sderhana ke bentuk mulia. Jadi kemahamurahan Tuhan disini nampak pada perubahan segumpal darah ke derajat manusia. (Sayyid Quthub,juz XXVIII,1971:617-618).<br /> Dengan demikian , dari kedua pendapat diatas , dapat disimpulkan bahwa terlihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat yang pertama dan perintah membaca pada ayat yang ketiga dari Q.S.96/1 al-‘Alaq. Pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca yaitu membaca demi Allah; sementara perintah kedua menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut, yaitu Allah akan menganugerahkan kepdanya ilmu pengetahuan , dan wawasan baru.<br /> Hal ini menunjukkan apa yang dijanjikan Allah terbukti secara sangat jelas dalam membaca ayat al-Quran, yaitu penafsiran – penafsiran baru atau pengembangan-pengembangan dari pendapat - pendapat yang telah pernah ada. Begitu pula terbuktinya dengan sangat jelas dalam “pembacaan” alam raya ini dengan bermunculannya penemuan-penemuan baru mebuka rahasia-rahasia alam, dan orang yang banyak membaca itu hidup akan mulia.<br /><br />3. Tujuan Pendidikan<br /> Salah satu bentuk kalam Allah adalah apa yang dikandung dalam Q.S. Al-‘Alaq (96/1):4 الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ<br /> Ayat tersebut mensifati Tuhan Yang Maha Pemurah. Dengan demikian rangkaiannya menerangkan sebagian bentuk atau cara Tuhan melimpahkan kemurahan-Nya. Dalam memberikan kemurahan kepada hamban-Nya, maka Dia harus mengajarkan kepada mereka, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Tuhan adalah pendidik.<br /> Dalam Q.S. al-Alaq (96/1): 4 tersebut menggambarkan bahwa Allah mengajarkan manusia dengan perantaraan قلم . Kata قلم biasanya diartikan dengan “pena”. Kata قلم baik dalam bentuk tunggal maupun jamak digunakan oleh al-Qur’an dalam arti “alat”, baik untuk menulis maupun untuk mengundi. Dari arti قلم pada ayat ini adalah “hasil dari penggunaan alat tersebut”, yakni “tulisan”, sebab pena adalah alat untuk menulis. Dalam artian bahwa kata yang digunakan berarti “alat”/ قلم, tetapi yang dimaksudkan adalah hasil penggunaan alat tersebut yakni “tulisan”, Pengertian ini menggambarkan bagaimana terjadinya pengajaran dari pendidik kepada obyek didik melalui pena.<br /> Pemilihan kata قلم sebagai pengganti kata كتابة berarti “tulisan”, menggambarkan betapa pentingnya peranan alat tulis bagi umat manusia, baik alat itu yang berbentuk sederhana seperti pensil maupunn yang canggih seperti komputer dan alat percetakan, yang kesemuanya harus berperan untuk mencerdaskan umat manusia. Keterangan tersebut dapat difahami bahwa ayat keempat dari ayat ini menjelaskan peranan pena dalam Pendidikan. Namun tidak dijelaskan siapa yang diajar dan apa yang diajarkan.<br /> Jawaban dari pertanyaan diatas dapat dilihat pada ayat kelima, yang berbunyi : عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ Ayat ini menerangkan bahwa Tuhanlah yang mengajarkan ilmu kepada manusia tentang apa yang tidak diketahuinya. Ini berarti bahwa sumber ilmu manusia ialah Allah sendiri.<br /> Kalimat ما لم يعلم dapat pula memberikan pengertian tentang tujuan pendidikan yang dilihat dari dua aspek pendidikan (Umar Syihab, 1990: 93-94). <br /> Pertama adanya perubahan dalam diri seseorang atau masyarakat menjadi tahu, dengan adanya hal-hal atau informasi-informasi yang disampaikan kepada seseorang atau masyarakat tersebut. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan pada diri seseorang dan masyarakat. Kedua adalah menggali potensi yang terdapat dalam diri manusia. Lewat pendidikan, potensi dalam diri manusia dapat digali secara cermat. Potensi manusia dapat berupa intelegensia, kreatifitas, kepribadian dan lain-lain potensi yang dimilikinya. Dengan demikian aspek pendidikan terdiri dari aspek eksternal dan aspek internal.<br /> Tujuan pertama dapat berarti bahwa pendidikan merupakan pewarisan budaya, sementara tujuan kedua pendidikan berarti pengembangan potensi. Dari sini tercermin bagi kita bahwa apa yang belum diketahui, tidak hanya berarti bahwa manusia tidak mempunyai pengetahuan sama sekali, tetapi dalam diri manusia terdapat potensi-potensi yang perlu digali dan diaktualisasikan, agar dapat berguna bagi dirinya, agamanya dan masyarakatnya, baik untuk duniawi ataupun ukhrawi.<br /><br />اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ(4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)<br /><br /> Dari ayat tersebut diatas dapat diketahui bahwa, sejak turunnya awal wahyu manusia terdokma jiwa tauhid dan berilmu pengetahuan. Hidup manusia selain bertauhid termasuk berilmu pengetahuan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />C. KESIMPULAN<br /><br /> Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut;<br />1. Sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu pertama beliau senang menyendiiri untuk bersemedi di dalam gua Hiro’ untuk beribadah, lalu menerima wahyu dalam Q.S al-‘alaq ayat 1-5.<br />2. Lima ayat yang turun pertama kali ini menjelaskan pentingnya pendidikan. Pendidikan itu sangat penting bagi umat manusia, sehingga perlu jenjang pendidikan yang berkelanjutan dan perlu diulang-ulang.<br />3. Mermbaca dan menulis dua komponen yang melahirkan proses pendidikan. Melalui bacaan manusia memperoleh ilmu pengetahuan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.<br />4. Tujuan pendidikan untuk mengadakan perubahan dalam diri manusia, dan menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, pertama merupakan pewarisan budaya dan yang ke dua pengembangan potensi oleh manusia agar dapat diaktualisasikan : والله أعلم باالصواب<br />5. Menuntut ilmu adalah merupakan kewajiban bagi manusia. Karena manusia hidup selain harus bertauhid juga harus beriulmu pengetahuan<br />6. Antara tauhid dan ilmu pengetahuan kedua pengertian yang tidak dapat dipisahkan<br /> </div>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-22591212589436614452008-08-18T07:16:00.000-07:002008-08-18T07:20:37.878-07:00KARYA ILMIAH<div align="justify"><strong>TARJAMATUL QUR’AN<br /></strong><br />Kata kunci : Tarjamatul Qur’an<br />Makalah ini berjudul Tarjamatul Qur’an untuk mengetahui lebih jauh dan jelas tentang ihwal penerjemahan Al-Qur’an.<br />I. Pendahuluan<br />Secara histories Al Qur’an diturunkan pada malam 17 Romadlon. Setelah melalui beberapa proses tahapan dengan ayat yang pertama surat al ‘alaq ayat 1-5. Namun pada dasarnya keberadaan Al Qur’an tidak sekedar menyempurnakan ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci terdahulu.<br />Hal ini dibuktikan dengan kehadirannya yang hingga kini masih terjaga kemurnian Al Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab sekalipun, karena adanya susunan yang indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui mereka dalam bahasa Arab.<br />Termasuk kesulitan seseorang ialah menundukkan seluruh kata dalam satu bahasa, untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Sementara Al Qur’an tidak berbicara dengan sebuah kata kecuali sejalan dengan makna yang dikehendaki dan pada tingkat kedalaman paling tinggi.<br />Pada perkembangan abad modern sekarang ini Al Qur’an masih terkesan eksis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Terjemah Al Qur’an yang selalu berkembang tidak pernah mengalami tolak belakang dalam memahami / menterjemahkan Al Qur’an bahkan falsifikasi terjemahan Al-Qur’an selalu dapat menyesuaikan perkembangan zaman. Hal inilah yang akan kami coba paparkan pada pembahasan lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya.<br />Sebagai kitab yang sakral, umat Islam mengagungkan ajaran yang ada didalamnya. Tidak bisa dinafikan lagi kehadirannya. Al Qur’an di bumi adalah membuka sekian banyak penafsiran dan pemahaman karena mengandung bahasa yang tak satupun ada intervensi dengan manusia. Sketsa sejarah ini memiliki satu nilai positif, bahwa ia memberikan latar belakang bagi pembahasan ajaran-ajaran agama.<br />Mudah-mudahan makalah ini menjadi bukti kecintaan terhadap Al Qur’an, dan dapat memperkaya perbendaharaan ilmu pengetahuan, khususnya tentang penerjemahan yang di tanah air masih sangat dibutuhkan. Diharapkan agar apa yang telah dikemukakan dalam makalah ini dapat dijadikan bahan pemikiran lebih lanjut bagi siapa saja yang ingin menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia.<br /><br />II. Tujuan Penulisan<br />Secara umum untuk memberikan gambaran yang jelas kepada para pembaca mengenai ihwal penerjemahan Al-Qur’an tentang Pengertian Terjemahan, Jenis Terjemahan, Syarat-syarat Penerjemahan perbedaan penterjemahan dengan Penafsiran serta apa yang harus dipenuhi dalam menterjemahkan Al-Qur’an.<br /><br />III. Uraian<br />1. Pengertian Terjemahan<br />1.1. Terjemahan Menurut Etimologi.<br />Terjemahan menurut etimologi mengandung empat makna yang berpaut.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />1.1.1 Menyampaikan berita kepada yang terhalang menerima berita. Untuk memudahkan pemahaman berita yang dilakukan oleh penerjemah terhadap orang yang lanjut usia. (mungkin karena orang tersebut sudah tuli) disebut terjemahan, dan orangnya dinamakan turjuman ( penerjemah )<br />1.1.2 Menjelaskan maksud kalimat dengan cara menggunakan bahasa aslinya. Menurut pemahaman ini berarti mutarjim sama dengan mufassir. Bahwa turjuman (penerjemah, juru bahasa disebut mufassir (pemberi keterangan tentang maksud suatu kalimat)<br />1.1.3 Menjelaskan maksud suatu kalimat dengan perantaraan bahasa di luar bahasa sumber. Bila bahasa sumbernya bahasa Arab, maka bahasa yang menjelaskan harus bahasa lain.<br />1.1.4 Alih bahasa. Yaitu pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke bahasa lain. Pelaku pekerjaan mengalihkan makna atau amanat diberi nama penerjemah.<br />Oleh karena keempat pengertian diatas baik secara tersurat maupun tersirat mengandung makna menerangkan atau menjelaskan, dapat dikatakan bahwa terjemahan adalah setiap perilaku yang mengandung unsur menjelaskan meskipun diluar ketentuan keempat pengertian tersebut.<br /><br />1.2. Terjemahan Menurut Pola Umum<br />Terjemahan menurut paham umum ialah ungkapan makna dari bahasa tertentu ke bahasa lain sesuai dengan maksud yang terkandung dalam bahasa tertentu tersebut.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Yang dimaksud dengan makna dalam difinisi ini bukan sekedar arti permukaan dari kata atau kalimat itu sendiri. Untuk itu seorang penerjemah perlu memperhatikan teks yang akan diterjemahkan, baik dari segi isi teks maupun ragam bahasanya.<br /><br />2. Jenis Terjemahan<br />Secara umum terjemahan ada dua jenis, yakni terjemahan harfiah dan terjemahan tafsiriah atau maknawiah<br />2.1. Terjemahan Harfiyah<br />Terjemahan harfiyah ialah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai urut-urutan kata bahasa sumber. Terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan lafziah atau musawiyah. Terjemahan harfiyah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami dicarilah padanan kata dalam bentuk bahasa penerima (Bpe), dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber (Bsu) meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya terjemahan harfiah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber (Bsu) tidak mungkin dilakukan, sebab masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa penerima) selain mempunyai cirri khas sendiri dalam urut-urutan, ada kalanya masing-masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri.<br /><br />2.2. Terjemahan Tafsiriah atau Maknawiah<br />Terjemahan tafsiriah atau maknawiah ialah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber (Bsu). Terjemahan seperti ini mengutamakan ketepatan makna dan maksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan kalimat. Oleh sebab itu, bentuk terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan maknawiah, karena mengutamakan kejelasan makna. Pemberian nama terjemahan tafsiriah jenis terjemahan kedua ini, karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Teknik terjemahan tafsiriah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber (Bsu) terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima (Bpe) tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber (Bsu)<br /><br />3. Syarat-Syarat Penerjemahan<br />Oleh karena penerjemahan bukanlah penggantian kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa penerima dan amanat, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Baik untuk penerjemahan secara harfiah maupun tafsiriah / maknawiah diperlukan tiga persyaratan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />1. Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber (Bsu) dan konteks bahasa penerima (Bpe)<br />Ialah penerjemahan benar-benar sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa Sumber (Bsu) dan memberikan makna yang tepat di dalam bahasa penerima (Bpe). Suatu contoh dapat dikemukakan tentang kata الَّسيَّارَةَ arti kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks kisah Yusuf sebagaimana tersebut dalam Surat Yusuf ayat 10 berbeda dengan kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks teknologi otomotif. Kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks kisah Yusuf artinya ialah beberapa orang musafir. Sedangkan dalam konteks teknologi otomotif artinya mobil.<br />Bagaimanakah wujud penerjemahan dapat dikatakan sudah sesuai konteks bahasa penerima (Bpe)? Jawabannya dapat diketahui melalui pertanyaan sebagai berikut: Apakah pengertian beberapa orang musafir untuk kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks kisah Yusuf di atas sudah sesuai dengan yang dimaksudkan oleh ayat apabila diungkapkan dalam bahasa penerima (Bpe)? Kalau jawabannya ya, berarti penerjemahan sudah dapat dikatakan sesuai dengan konteks bahasa penerima (Bpe).<br />Demikian pula dengan pengertian mobil untuk kata الَّسيَّارَةَ dalam konteks teknologi otomotif. Apakah pengertiannya benar-benar sudah sesuai dengan yang dimaksud dalam bahasa penerima (Bpe)? Kalau jawabannya ya, berarti penerjemahan dapat dikatakan sudah sesuai dengan konteks bahasa penerima (Bpe).<br />Jika tidak salah apabila dikatakan menerjemahkan bukan sekadar mencari padanan kata yang umumnya dilakukan dengan cara membuka kamus. Membuka kamus adalah suat keharusan dalam pekerjaan menerjemahkan, tetapi tidak selesai sampai di situ karena tidak mutlak dapat menyelesaikan pekerjaan menerjemahkan itu sendiri.<br />Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa penerjemahan tidak cukup hanya sesuai dengan konteks bahasa sumber (Bsu) dan bahasa penerima (Bpe), akan tetapi harus pula dapat mencerminkan bahan yang diterjemahkan. Karena itu, penguasaan bahan yang akan diterjemahkan menjadi penting bagi seorang penerjemah. Untuk itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa seorang penerjemah yang ideal adalah seorang yang ilmunya sebidang dengan pengarang yang bukunya diterjemahkan.<br />2. Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber (Bsu) dan gaya bahasa penerima (Bpe).<br />Ialah penerjemahan benar-benar memperlihatkan kesesuaian gaya bahasa dari kedua bahasa yang dipertemukan. Suatu contoh dapat dikemukakan: gaya at-tibaq ( اَلطِّباَقْ ) dalam bahasa Arab sama dengan gaya antitesis dalam bahasa Indonesia. Secara etimologi berarti lawan atau pertentangan.<br />Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia ialah :<br />1) Kecantikannyalah justru yang mencelakakannya.<br />Contoh dalam Al-Qur’an<br />2) وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًاوَهُمْ رَقُوْدٌ<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> artinya Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur<br />3) هُوَيُحْيِ وَيُمِيْتُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> artinya Dialah yang menghigupkan dan mematikan dan hanya …...<br />4) ... لَهَامَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَامَاكْتَسَبَتْ<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> artinya Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya … <br />Apabila masing-masing ayat diperhatikan, contoh (2) merupakan gaya antitesis yang terdiri atas dua buah kata benda, yakni اَيْقَاظًا dan رَقُوْدٌ. Contoh (3) gaya antitesis terdiri atas dua buah kata kerja, yakni يُحْيِ dan يُمِيْتُ. Adakalanya gaya antitesis dalam Al-Qur’an terdiri atas sebuah kata benda dan sebuah kata kerja, seperti لَهَا dan عَلَيْهَا.<br />Contoh lain ialah gaya bahasa al-itnab (اْلاِطْنَاُب) dalam bahasa Arab yang sepadan dengan gaya pleonasme dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya gaya pleonasme adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata lebih banyak dari yang perlukan buat menyatakan satu pikiran atau gagasan. Disebut pleonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan, maknanya tetap utuh. Misalnya dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian itu saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Ungkapan ini akan tetap utuh maknanya walaupun kata-kata dengan mata kepala saya sendiri dihilangkan. Di dalam Al-Qur’an gaya bahasa semacam ini dapat dilihat misalnya dalam ayat :<br />5) تَنَزّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا....<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br />“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril ....”<br />Makna ayat ini tetap utuh meskipun dihilangkan kata-kata malaikat Jibril. Jadi, sekiranya ayat ini diterjemahkan dengan pada malam itu turun malaikat-malaikat, tidak salah, karena kata malaikat Jibril dalam kalimat ini berkedudukan sebagai penghormatan terhadap malaikat Jibril itu sendiri yang bila tidak disebut pun beliau sudah termasuk dalam sebutan malaikat-malaikat.<br />Lebih lanjut dapat disimak apa yang dimaksud dengan gaya bahasa metonimia dalam bahasa Indonesia. Kata metonimia diambil dari kata Yunani meto yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma yang berarti nama. Dengan demikian, gaya metonimia ialah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan pertalian ini dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, sebab untuk akibat dan lain-lain. Metonimia jenis ini adalah suatu bentuk sinekdoke. Perhatikan contoh berikut :<br />6) Ia membeli sebuah chevrolet (berupa penemu untuk hasil temuan).<br />7) Pena lebih berbahaya dari pada pedang (berupa sebab untuk akibat).<br />Apabila ulasan tentang gaya bahasa metonimia diperhatikan, dapat dianalogikan bahwa ayat Al-Qur’an yang berbunyi: وَاسْئَلِ الْقَرْيَةِ الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> (tanyalah negeri yang kami berada di situ), termasuk gaya metonimia. Alasannya karea yang dimaksud dengan kata القرية (negeri) dalam ayat tersebut adalah penduduk. Jadi, arti lengkapnya adalah sebagai berikut: “Tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ”. Gaya ini seperti disebut di atas mempergunakan sebuah kata untuk suatu hal yang lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat, yaitu berupa tempat bermukim untuk pemukim atau negeri untuk penduduk. Dalam bahasa Arab, gaya bahasa seperti ini disebut majaz mursal.<br />Contoh lain ialah :<br />8) وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَ هَا بِاَيْدِ ....<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br />“Dan langit itu Kami bangun dengan tangan (Kami)...”<br />Yang dimaksud dengan kata اَبْدٍ (tangan) dalam ayat ini adalah kekuasaan, karena arti lengkapnya ialah : Langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami). Ini sama dengan mempergunakan sebab akibat.<br />يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْ اَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ ...<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />“Mereka menyumbat telinga mereka dengan jari-jari mereka karena mendengar suara petir...”<br />Pada ayat ini gaya bahasa yang digunakan termasuk dalam gaya bahasa sinokdoke, yang di dalam bahasa Arab juga tergolong majaz mursal. Sinekdoke ini termasuk jenis totum proparte, yakni mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian sebagaimana pernah disinggung di atas. Arti yang sesungguhnya dari ayat ini ialah : mereka menyumbat telinga dengan ujung jari mereka. Jadi, yang dimaksud dengan “jari-jari” ( اَصَابِعُ ) dalam ayat ini adalah ujung jari ( اَنَامِلُ), bukan berupa jari-jari yang utuh dari pangkal sampai ujung.<br />Dari uraian di atas dapat dibayangkan betapa pentingnya penguasaan penerjemah terhadap gaya bahasa sumber dan penerima sekaligus. Dengan penguasaan penerjemah terhadap gaya bahasa sumber dan penerima, sekaligus dengan penyesuaian antara kedua bahasa ini, tidak terlalu sulit baginya untuk menerjemahkan materi yang akan diterjemahkannya. Dengan demikian bahasa peneima selaras dengan bahasa sumber dalam hal makna dan gaya.<br /><br />3. Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber (Bsu) dan ciri khas bahasa peneima (Bpe).<br />Ialah bahwa penerjemahan benar-benar mengerti tanda-tanda khusus yang membedakan antara bahasa sumber dengan bahasa penerima.<br />Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima akan dilihat dari peristiwa bahasa. Peristiwa bahasa merupakan suatu istilah dalam cabang ilmu bahasa yang berfungsi membicarakan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam bahasa sebagai akibat pemakaian bahasa tersebut. Agar lebih mudah dipahami, bisa dilihat contoh-contoh di bawah ini :<br />1. Bahasa Indonesia tidak mengenal fleksi (perubahan bentuk kata), baik konjugasi / tasrif (perubahan bentuk kata kerja), maupun deklinasi / i’rab (perubahan bentuk kata benda / kata sifat) seperti yang terdapat dalam bahasa Arab. Bandingkan !<br />Konjugasi / tasrif<br />Bahasa Indonesia Bahasa Arab<br />Saya pergi ke pasar اَنَا اَذْهَبُ اِلَى السُّوْقِ<br />Saya telah pergi ke pasar ذَهَبْتُ اِلَى السُّوْقِ<br />Pergilah ke pasar اِذْهَبِيْ اِلَى السُّوْقِ /اِذْهَبْ<br />Deklinasi / i’rab<br />Bahasa Indonesia Bahasa Arab<br />Mansur sudah datang جَاءَ مَنْصُوْرٌ<br />Saya sudah melihat Mansur رَأَيْتُ مَنْصُوْرًا<br />Saya pergi dengan Mansur ذَهَبْتُ مَعَ مَنْصُوْرٍ<br />Ali kecil عَلِيٌّ صَغِيْرٌ<br />Ali lebih kecil daripada Mansur عَلِيٌّ اَصْغَرُ مِنْ مَنْصُوْرٍ<br />2. Bahasa Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata seperti terdapat pada bahasa Arab. Bandingkan !<br />Bahasa Indonesia Bahasa Arab<br />Engkau اَنْتَ = engkau laki-laki<br /> اَنْتِ = engkau perempuan<br />Ia هُوَ = ia laki-laki<br /> هِيَ = ia perempuan<br />Mereka هُمْ = mereka laki-laki <br /> هُنَّ = mereka perempuan<br />Kamu sekalian اَنْتُمْ = kamu sekalian laki-laki<br /> اَنْتُنَّ = kamu sekalian perempuan<br /><br />3. Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk jamak dualis (bentuk jamak dua) dan bentuk jamak pluralis (bentuk jamak lebih dari dua) seperti pada bahasa Arab. Bandingkan !<br />Bahasa Indonesia Bahasa Arab<br />sebuah buku كِتَابٌ<br />dua buah buku كِتَابَانِ<br />berapa buku كُتُبٌ<br />Jadi, dalam bahasa Indonesia jumlah tunggal itu ditandai dengan pemakaian kata seperti esa, se-, dan satu atau suatu, sedangkan jumlah banyak umumnya dinyatakan dengan upaya pengulangan. Contoh : sayur-sayuran, tali-temali, dsb. Jadi, pengertian kejamakan dalam bahasa Indonesia tidak selamanya benar bila diungkapkan dengan kata yang wujudnya bentuk ulang.<br />Dalam bahasa Arab dikenal tiga macam bentuk jama sebagai berikut :<br />1. jam’u at-taksir ( جَمْعُ التَّكْسِيْرِ ) “broken plural”<br />2. jam’u al muzakkar as-salim ( حَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ ) “masculine sound plural”<br />3. jam’u al-mu’annas as-salim ( حَمْعُ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ ) “feminine sound plural”<br />Untuk menunjukkan suatu benda / hal yang menyatakan banyak / jamak, bahasa Arab menempuh berbagai macam cara sebagai berikut :<br />1. Jam’u at-taksir ( جَمْعُ التَّكْسِيْرِ ) “broken plural” dengan cara mengubah bentuk kata tunggalnya. Contoh :<br />9) sahmun ( سَهْمٌ ) menjadi as-humun ( اًسْهُمٌ ).<br />10) Saifun ( سَيْفٌ ) menjadi as-yafun / suyufun ( سُيُوْفٌ / اَسْيَفٌ ).<br />Suatu yang dirasakan sulit ialah membuat teori yang baku dalam bentuk perubahan tersebut. Oleh karenanya, bentuk-bentuk jamak ini banyak diketahui melalui hasil bacaan dan pendengaran. Sekadar membantu mengetahui bentuk-bentuk jamak ini dapat dikemukakan beberapa bentuk padanan yang sudah diangkat di permukaan oleh para ahli. Diantaranya ialah padanan bunyi :<br />a. af’ulun ( اَفْعُلُنْ), seperti nafsun ( نَفْسُنْ ) menjadi anfusun ( اَنْفُسٌ )<br />b. af’alun ( اَفْعَلُنْ), seperti inabun ( عِنَبٌ ) menjadi a’nabun ( أًعْنَبٌ )<br />c. af’ilatun أَفْعِلَتُنْ), seperti ragifun ( رَغِيْف) menjadi argifatun ( اَرْغِيْفَةٌ)<br />d. fi’latun ( فِعْلَتُنْ), seperti fatan ( فَتىً) menjadi fityatun ( فِتْيَةٌ)<br />e. fu’alun ( فُعُلُنْ), seperti gurfatun ( غُرْفَةٌ ) menjadi gurafun ( غُرَفٌ)<br />f. fa’la ( فَعْلَى), seperti asirun ( اَسِرٌ ) menjadi asra ( أَسْرَى)<br />g. fi’lanun فِعْلاَنٌ), seperti gulamun ( غُلاَمٌ ) menjadi gilmanun( غِلْمَانٌ)<br />h. fu’alun ( فُعَّالُنْ ), seperti qari’un ( قَارِئٌ ) menjadi qurra’un ( قُرَّاءٌ)<br />2. Jam’u al muzakkar as-salim ( جَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ ) “masculine sound plural” dengan cara menambahkan huruf wawu (و ) dan nun ( ن) pada kata tunggal ketika rafa dan huruf ya ( ي ) dan nun ( ن ) ketika nasab dan jar.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Contoh :<br />(11a) mu’minun ( مُؤْمِنٌ ( menjadi mu’minun (مُؤْمِنُوْنَ ) mu’minin ((مُؤْمِنِيْنَ mu’minin ((مُؤْمِنِيْنَ <br />(11b) muslimun (مُسْلِمٌ ) menjadi muslimun ( مُسْلِمُوْنَ ) muslimin ( مُسْلِمِيْنَ ) muslimin ( مُسْلِمِيْنَ )<br />(11c) talibun ( طَالِبٌ ) menjadi ( طَالِبُوْنَ ) talibin ( طَالِبِيْنَ ) talibin (طَالِبِيْنَ)<br />3. Jam’ul al-muannas as-salim ( جَمْعُ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ ) “feminine sound plural” dengan cara menambahkan huruf alif ( أ ) dan ta’ ( ت ) pada kata tunggal, kecuali pada huruf ta’-nya sudah ada, tinggal menambah huruf alif saja. Contohnya :<br />(12a) mu’minun ( مُؤْمِنٌ ) menjadi mu’minatun (مُؤْمِنَاتٌ )<br />(12b) zainabun ( زَيْنَبٌ ) menjadi zainabatun ( زَيْنَبَاتٌ )<br />(12c) hamidatun ( حَمِيْدَةٌ ) menjadi hamidatun ( حَمِيْدَاتٌ )<br /><br /><br />4. Perbedaan Penerjemahan Dengan Penafsiran<br />Penerjemahan memiliki beberapa perbedaan dengan penasiran sebagai berikut :<br />1. Dalam penerjemahan tidak pernah terlihat pembahasan tentang kata asal dan usulnya, sedangkan dalam penafsirannya sering terlihat pembahasan tentang kata dan asal – usulnya.<br />Mengapa dalam penerjemahan tidak dibahas mengenai kata dan asal usulnya ? Jawabannya, karena penerjemahan adalah pengalihan bahasa, bukan penjelasan. Jadi, perlu kesamaan, tanpa penambahan dan pengurangan sehingga misalnya saja terjadi kesalahan dalam bahasa sumber (Bsu) maka penerjemahanpun harus tunduk. Lain halnya dengan penasiran, titik berat penafsiran adalah maksud dan kejelasan ayat. Untuk mencapai tujuan tersebut para mufassir menghubungkan penafsirannya dengan asal usul kata, latar belakang turunnya ayat, soal-soal akidah, nasikh mansukh dan hal-hal lain yang dapat lebih memperjelas maksud ayat yang ditafsirkan. Hal penghubungan seperti itu disebut istitrad, artinya berpindah dari pembicaraan karena ada hubungannya. Dari sekian banyak istitrad ini salah satunya adalah catatan tentang kesalahan apabila memang ada kesalahan, seperti yang terlihat dalam catatan-catatan khusus buku-buku ilmiah.<br /><br />2. Bahasa terjemahan adalah bahasa lurus, dalam arti tidak disertai dengan keterangan, kecuali dalam hal menerjemahkan kata-kata yang mengacu pada ciri-ciri tertentu atau yang mempunyai pemakaian khusus dalam bidang tertentu. Menerjemahkan kata seperti ini memerlukan pengungkapan seperti tidak langsung dan sering berupa penjelasan yang panjang lebar, guna menciptakan kembali konteks-situasi yang relevan, misalnya, تَقْرَى , tudak cukup diartikan takut saja, perlu penjelasan, yakni memelihara diri dari siksaan Allah dengan cara mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya. Sementara itu, penafsiran terikat dengan berbagai keterangan terutama tentang urutan kata atau huruf dalam rangka memperoleh makna. Contohnya adalah tentang kedudukan huruf wawu ( و ) yang terletak diantara kata Allah (الله) dan ar-rasikhun ( اَلرَّاسِخُوْنَ ) pada ayat 7 surat Ali’Imron di bawah ini<br />13. ... وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَالرَّسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا ....<br />Mufassir yang berpendapat bahwa hanya Allah satu-satunya yang mengetahui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat menempatkan tanda titik (.) sesudah kata Allah ( الله ), dan wa ar-rasikhuna fil al-‘ilmi ( وَالرَّسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ ) sebagai kalimat baru. Mufassir yang berpendapat bukan hanya Allah yang mengetahui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat, menempatkan huruf wawu ( و ) yang terletak sesudah kata Allah ( الله ) sebagai huruf penyambung (‘ataf) dan kata yaquluna (يَقُوْلُوْنَ ) yang terdiri atas kata kerja dan perilaku, menjadi keterangan dari al-rasikhuna fi al-‘ilmi ( اَلرَّسِحُوْنَ فِى اْلعِلْمِ ).<br />Yang demikian ini tidak dapat begitu saja ditinggalkan oleh mufassir, sekiranya ditinggalkan, maka penafsiran ayat yang diajukannya tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut ukuran kemampuan manusia. Menurut Az-Zarqany hasil penafsiran seperti ini digolongkan tebakan, dan tidak ada gunanya.<br /><br />3. Penerjemahan (disuatu ketika) membutuhkan kesan otentisitas (keaslian) seluruh makna dasar dan tujuan dari penerima, sedangkan penafsiran (juga disuatu ketika), kesan itu tidak dibutuhkan oleh pembaca. Pembaca sudah merasa cukup dengan mengetahui maksud pokoknya saja. Maksud pokoknya dapat dibuat secara rinci dan juga dapat secara garis besar saja; bisa juga mencakup seluruh makna dan maksud teks bahasa sumber atau terbatas dalam sebagian saja, tergantung pada penafsir dan situasi.<br />Sebagai contoh untuk suatu gambaran ialah anekdot tentang seorang yang menemukan dua pucuk surat yang tertulis dalam bahasa asing sepeninggal orang tuanya. Kebetulan orang tersebut tidak bisa berbahasa asing, ia meminta kepada seorang ahli bahasa untuk memberitahukan maksud surat itu. Ahli bahasa mengatakan bahwa salah satu diantara kedua surat tersebut dapat dikatakan tidak penting, isinya hanya berita tentang seseorang yang pernah meminta pertolongan kepada ayah orang tersebut sewaktu masih hidup, sedangkan surat yang satunya lagi adalah transaksi hutang piutang antara ayah orang tersebut dengan seorang berkebangsaan asing. Orang tersebut langsung saja membuang surat pertama yang sisinya permintaan pertolongan. Surat kedua (transaksi hutang piutang) disimpan baik-baik, dan pada hari berikutnya dibawa lagi ke ahli bahasa agar diterjemahkan untuk keperluan penyelesaian di kantor pengadilan.<br />Bukankah ini suatu kenyataan bahwa penjelasan tentang maksud pokok surat belum cukup buat orang tersebut? buktinya, orang tersebut masih tetap meminta bantuan untuk kedua kalinya kepada ahli bahasa agar diterjemahkan karena persoalan belum dapat diselesaikan kalau hanya sekedar mengetahui maksud pokok surat, tetapi dirasa perlu pula mengetahui seluruh dasar, tujuan, dan otentisitasnya. Contoh ini dapat pula dijadikan sebagai suatu gambaran bahwa ada kalanya penafsiran hanya sekedar menyampaikan maksud pokok saja, artinya tidak harus rinci. Sedangkan penerjemahan (juga ada kalanya) harus merupakan bentuk yang utuh, didalamnya tercakup seluruh makna dari tujuan teks asli bahasa sumber.<br />Perbedaan penerjemahan dengan penafsiran yang digambarkan dalam telaah dua pucuk surat diatas, dapat diiterima apabila pengertian penafsiran terbatas pada pengungkapan maksud seperti penafsiran tentang ayat 29 Surat Al-Isra’<br />وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ...<br />Maksudnya : Jangan terlalu kikir dan jangan pula terlalu pemurah ...<br />Demikian pula untuk penerjemahan, perbedaan diatas berlaku apabila penerjemahan diartikan dengan<br /><br />“Ungkapan tentang makna kalimat dari suatu bahasa ke bahasa yang lain dengan pemenuhan seluruh makna dan maksud yang ada dalam bahasa sumber”.<br />Inilah yang dimaksud dengan ungkapan di suatu ketika di atas.<br /><br />4. Penerjemahan kitab suci bukan Islam (Injil) memerlukan kesan autentisitas makna dan tujuan dari penerima sebagaimana dimaksudkan oleh penyusun melalui nama (judul terjemahan), sedangkan penafisran hanya ada kalanya saja dan tidak melalui nama (judul terjemahan), akan tetapi langsung melalui isi. Itu saja hanya mengajukan hal-hal yang sifatnya mendukung, kalau mufassirnya mempunyai bahan pendukung yang cukup. Kalau tidak, mufassir tidak akan memberikan komentar sama sekali, cukup dengan mengatakan : رَبِّ كَلاَمِ اَعْلَمُ بِمُرَادِهِ(pembicara lebih tahu apa maksud pembicaraannya). Ini dapat dilihat dari banyak kitab tafsir apabila mufassir berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat atau pembukaan-pembukaan surat.<br />Sebagai bukti bahwa penerjemahan memerlukan kesan autentisitas makna dan tujuan melalui nama (judul terjemahan) dari pembaca seperti yang dikehendaki oleh penyusun dalam bahasa sumber ialah pemberian nama kitab terjemahan dengan nama asli kitab, seperti terjemahan kitab Injil langsung dengan nama Injil. Mungkin penerjemah lupa bahwa terjemahan bagaimanapun juga tetap terjemahan. Akan tetapi, karena membutuhkan autentisitas makna dari pembaca, pemberian nama kitab terjemahan dengan nama kitab asli tetap dilakukan. Apabila nama kitab asli dicantumkan pada kitab terjemahan secara langsung, dari sudut pandang tertentu dapat dijadikan bukti bahwa penerjemah yakin atas keautentikan karya terjemahannya, dan ia ingin meyakinkan penerima bahwa autetisiatas makna dan tujuan sama dengan yang dimaksud penyusun sehingga ia tidak segan-segan membuang kata-kata terjemahan. Bukankah bahasa kitab Injil adalah bahasa Ibrani? lalu mengapa terjemahan kitab Injil ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Daerah disebut juga Injil ? ini tidak lain agar tercipta suatu kesan kepada pembaca bahwa apa yang dibaca sama dengan aslinya, perbedaannya hanya dalam soal bahasa.<br />Dari uraian ini kelihatannya yang berani mengatakan terjemahan bukan terjemahan hanya penerjemah saja. Mufassir tidak berani. Tafsir Al-Qur’an tidak pernah menyuarakan diri sebagai Al-Qur’an. Mufassir tidak pernah menyuarakan tafsirnya sebagai Al-Qur’an. Kata-kata tafsir selalu tercantum dalam setiap kitab tafsir, misalnya : Tafsir al-Baidlawiy, Tafsir al-Maragiy, Tafsir Abi as-Su’udiy dan lain-lain.<br />Dari bukti-bukti diatas dapat dikatakan bahwa tafsir hanya mengatakan dirinya sebagai yang menjelaskan maksud dan tidak memerlukan kesan dari pembaca bahwa tafsir sama dengan aslinya. Namun begitu, tidak setiap terjemahan selalu menanamkan dirinya dengan nama aslinya. Tidak sedikit pula karya-karya terjemahan langsung mengakui dirinya sebagai terjemahan, terutama menyangkut karya-karya ilmiah. Aka tetapi, hal ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa tidak benar ada orang yang mengatakan karya terjemahan bukan terjemahan, sebab fokus pembicaraan adalah penerjemahan dan penafsiran kitab Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Jadi yang tidak dapat dijadikan alasan (kalau ada) adalah yang bertalian dengan penerjemahan kitab Taurat dan Injil, bukan penerjemahan karya ilmiah.<br /><br />5. Penerjemahan memberi kesan seakan-akan lepas dari bahasa sumber, dalam arti tidak secara terbuka menghubungkan diri dengan teks asli, ia sering mengadakan kontak dengan teks asli, mislanya Muhammad Rasyid Rida ketika menafsirkan frasa “ لاريب فيه” dalam ayat 2 surat al-Baqoroh mengadakn kontak dengan teks asli dengan cara sebagai berikut :<br /> ‘Ar-Raib dan ar-raibah ialah ragu, bimbang atau curiga, makna ayat ini ialah Bahwasanya Al-Qur’an ini terhindar dari segala jenis cacat, tidak ada keraguan padanya dan tidak ada kebimbangan yang membuatnya menanggung aib.<br />Jadi, selain kalimat penafsiran terikat dengan teks asli, juga jelas bagi pembaca tentang kata dan kalimat mana yang diberi makna seperti itu.<br /><br />5. Apa-apa yang Harus Dipenuhi Dalam Penerjemahan<br />Sebagaimana dalam buku Manahilul ‘Irfan dijelaskan sebagai berikut :<br />مَالاَبُدَّ مِنْهُ فِي التَّرْجَمَةِ مُطْلَقًا<br />لاَبُدَّ لتحقيق معنى الرجمة مطلقا حرفية كانت أو تفسيرية من أمور أربعة :<br />أولها : معرفة المترجم لأوضاع اللغتين لغة الأصل ولغة الترجمة.<br />ثانيها : معرفة لأساليبهما وخصائصهما.<br />ثالثها : وفاء الترجمة بجميع معاني الأصل ومقاصده على وجه مطمئن.<br />رابعها : أن تكون صيغة الترجمة مستقلة عن الأصل.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a><br /> Artinya :<br />Makna tarjamah baik secara kata maupun tafsir harus memenuhi 4 perkara;<br />1. Penterjemah harus menguasai dua bahasa, yaitu bahasa asli dan bahasa terjemahan.<br />2. Menguasai uslub-uslub kedua bahasa tersebut dan kekhususan-kekhususan istilah keduanya.<br />3. Hasil tejemahan memenuhi seluruh makna-makna bahasa asli dan maksud-maksudnya.<br />4. Sighoh terjemah bebes dari bahasa asli.<br /><br />IV. Kesimpulan.<br /> Menterjemahkan Al qur’an suatu hal yang sangat menyenangkan sebab bahasa didalam al qur’an benar-benar merupakan bahasa puitisasi yang sangat indah dan tidak ada satupun yang dapat membuat ayat untuk menandingi ayat-ayat Allah. Dengan jenis terjemahan tafsiriah atau maknawiyah orang dapat lebih mudah didalam memahami isi yang terkandung didalam al qur’an sehingga tidak akan terjadi konflik dalam memahami bahasa. Dan sungguh sangat sulit apabila kita menggunakan terjemahan secara tektual.<br /> Agar tidak terjebak dari penyelewengan makna seorang mufassir benar-benar harus menguasai syarat-syarat penerjemahan yaitu;<br />Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan bahasa penerima<br />Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan bahasa penerima<br />Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dari ciri khas bahasa penerima.<br /> Sehingga penerjemahan memiliki beberapa perbedaan dengan penafsiran diantaranya sebagai berikut;<br />1. Dalam penerjemahan tidak pernah terlihat pembahasan tentang kata asal dan usulnya<br />Bahasa terjemahan adalah bahasa lurus, artinya tidak disertai dengan keterangan.<br />Penerjemahan (disuatu ketika) membutuhkan otentisitas (keaslian) seluruh makna dasar dan tujuan dari penerima.<br />Penerjemahan memberi kesan seakan-akan lepas dari bahasa sumber, dalam arti tidak secara terbuka menghubungkan diri dengan teks asli, ia sering mengadakan kontak dengan teks asli.<br /> <br /><br />Tri Hantoro<br /> NIM. O.000050048<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Az Zarqaniy, Manahilu al-Irfan fi ‘Ulumi Al-Qur’an, ttp. Isa al-Babiy al-Halaby wa Syurakahu, 1362 H = 1943 M<br /><br />2. Ismail Lubis, DR.MA, Falsifikasi Terjemahan Al Qur’an, Departemen Agama, PT Tiara Wacana Yogyakarta. Edisi 1990<br /><br />3. Al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />6. Hukum Menerjemahkan Al-Qur’an<br />Dalam menetapkan hukum menerjemahkan Al-Qur’an, ada empat konotasi yang muncul dari kata “Menerjemahkan Al-Qur’an” yakni :<br />1) Hukum menerjemahkan Al-Qur’an dengan pengertian menyebarkan ayat-ayat (tabligu alfazihi)<br />2) Hukum menerjemahkan Al-Qur’an dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa sumber (tafsiratuhu bilugatihi al-‘arabiah)<br />3) Hukum menerjemahkan al-Qur’an dengan pengertian menafsirkanya dalam bahasa penerima (tafsiratuhu bilugoh ajnabiah)<br />4) Hukum menerjemahkan Al-qur’an dengan pengertian alih bahasa (naqluhu ila lugah ukhra).<br />Pembahassan dalam penelitian ini terbatas pada nomor tiga dan empat, dengan alasan nomor satu merupakan bagian dari pengumpulan dan pembukuan ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan nomor dua bagian dari penafsiran. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu.<br />1. Menerjemahkan Al-Quran dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa penerima.<br />Menerjemahkan Al-Quran dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa penerima, atau dengan kata lain menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain bahasa sumber kepada orang yang tidak mampu memahami bahas sumber, hukumnya sama dengan hukum menafsirkan al-Qur’an dalam bahasa sumber bagi orang yang mampu memahami bahasa sumber, yakni wajib, setidak-tidaknya sunat. Dalil yang dipergunakanuntuk mendukung pernyataan ini ialah dalil tentang menafsirkanal-Qur’an dalam bahasa sumber bagi yang mampu memahami bahasa sumber, yakni :<br />وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ اِليَهِْمْ<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br />‘Kami turunkan kepada kamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (perintah-perintah, larangan-larangan, aturan-aturan, dan lain-lain yang terdapat di dalam Al-Qur’an)<br />Dalil ini berlaku dengan alasan bahwa menafsirkan Al-Qur’an dengan memakai bahasa yang dipahami oleh penerima sama dengan menafsirkannya dalam bahasa sumber buat orang yang memahaminya. Jadi, bukan semata-mata alih bahasa al-Qur’an. Model ini juga sama dengan menguraikan kandungan ayat-ayat AlQur’an, bukan merupakan uraian makna dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara utuh. Hal ini berarti sama dengan yang dilakukan oleh mufassir, terbatas sesuai dengan kemampuan manusia sendiri.<br />Tafsir dalam pengertian etimologi mengandung makna keterangan dan penjelassan. Keterangan dan penjelasan tidak mengandung persyaratan kuantitas, dengan pengertian terbatas pada sudut pandang saja (min wajhin). Ini sesuai dengan pengertian tafsir secara umum, yakni suatu disiplin ilmu yang membahas Al-Qur’an dari segi makna yang dimaksud oleh Allah sesuai dengan kemampuan manusia.<br />Apabila penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an merupakan keterangan tentang apa yang dimaksudkan oleh Allah sesuai dengan kemampuan manusia, maka soal bahasa yang dipakai untuk keperluan keterangan tersebut tidak menjadi masalah karena masih dalam ruang lingkup keterbatasan kemampuan manusia. Hanya saja, dalam hal penerjemahan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagaimana pernah disinggung dalam bab II bagian B.<br />Jadi dapat dikatakan bahwa penerjemahan seperti ini sebenarnya adalah penerjemahan kata dan kalimat-kalimat yang telah disusun oleh mufassir. Sebagai alasan pertama ialah karena isi terjemahan pada garis besarnya sama dengan yang dikemukakan oleh para mufassir. Alasan kedua ialah karena hasil penerjemahan tersebut tidak dapat dipastikan mencakup semua pengertian yang dimaksud oleh Allah. Dengan perkataan lain, penerjemahan seperti ini tidak ubahnya dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terlebih dahulu kedalam bahasa Arab, untuk kemudian diterjemahkan dalam bahasa lain.<br />Penerjemahan seperti ini bisa juga disebut : Terjemahan Tafsir Al-Qur’an atau Tafsir Al-Qur’an Dalam Bahasa... untuk menghilangkan kesan adanya terjemahan AlQur’an padahal bukan semata-mata terjemahan Al-Qur’an, melainkan terjemahan tafsir Al-Qur’an sebaiknya secara terbuka ditegaskan : Terjemahan Tafsir Al-Qur’an. Tindakan seperti ini memberikan arah yang pasti bagi yang ingin menentukan nama secara tepat. Artinya, menjadi lebih jelas bagi pembaca bahwa yang dibacanya bukan terjemahan Al-Qur’an semata-mata.<br />Penerjemahan Al-Qur’an dalam pengertian alih bahasa dengan pemenuhan seluruhmakna dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an merupakan suatu hal yang sulit, bahkan mustahil dilakukan (khartu al-qatad) bagaikan memanjat pohon berduri. Dikatakan demikian karena alih bahasa dalam pengertian seluruh makna primer dan sekunder yang terdapat dalam bahasa sumber tidak dapat dipenuhi melalui bahasa penerima.<br /><br />2. Menerjemahkan Al-Qur’an dengan pengertian alih bahasa<br />Pengertian kedua ini adalah pengertian menurut umum. Secara ringkas menerjemahkan Al-Qur’an disini dapat didefinisikan : Alih bahasa Al-Qur’an dari bahasa Arab ke bahasa lain. Secara lebih panjang dapat didefinisikan : Mengungkapkan makna dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an dengan bahasa lain.<br />Apabila bentuk terjemahannya sesuai dengan urutan kata dan kalimat bahasa sumber disebut terjemahan harfiah, lafziah atau musawia. Kalau tidak, disebut terjemahan tafsiriah atau maknawiyah.<br />Realisasi penerjemahan Al-Qur’an dengan pengertian seperti nomor dua, mustahil menurut hukum adat dan hukum syar’i. Artinya, secara adat pelaksanaan model terjemahana seperti ini tidak mungkin, dan secara syariah (hukum Islam) mencobanya saja sudah haram.<br />Secara adat ada dua hal yang dapat dijadikan sebagai dasar.<br />(1) Dalam realisasi penerjemahan seperti ini harus terpenuhi seluruh pengertian ayat-ayat Al-Qur’an, yang meliputi pengertian primer (al-ma’ani al-awwaliah), pengertian sekunder (alma’ani as-sanawiyah), dan maksud-maksud utama (almaqosid ar-raisiah). Hal ini tidak mungkin terpenuhi secara utuh dalam bentuk penerjemahan, terutama yang menyangkut pengertian sekunder, dan dua diantara tiga maksud-maksud pokok diturunkannya Al-Qur’an.<br />Dikatakan tidak terpenuhi, karena pengertian sekunder ayat-ayat Al-Qur’an tidak semuanya terbunyikan dalam bahasa Indonesia. Bagaimana cara menterjemahkan بديع السموات والارض kedalam bahasa Indonesia agar mencakup makna primer sekaligus makna sekunder? apakah sydah cukup diartikan dengan “Allah pencipta langit dan bumi”? kalau dijawab dengan cukup, lalu apa perbedaannya dengan خلق السموات والارض yang juga diartikan dengan “Menciptakan langit dan bumi”? Memang benar bahwa arti dasar kata bada’a dan khalaqa adalah mencipta dan mengadakan(Indonesia), akan tetapi masing-masing kata, selain mempunyai makna dasar yang diistilahkan dengan pengertian primer, juga mengandung makna sekunder. Kata bada’a artinya mencipta, tetapi tekanannya khas, yakni “tidak ada yang menyamai hasil ciptaan itu. Sementara itu, kata khalaqa tekanannya ialah “dari tidak ada menjadi ada”. Dalam kenyatannya sulit menerjemahkan kata-kata tersebut ke dalam bahasa Indonesia secara tepat, dalam pengertian makna primer dan sekunder dapat dirasakan oleh pembaca sekaligus. Hasil penerjemahan tidak dapat memperlihatkansecara jelas letak perbedaan makna antara bada’a dengan khalaqa sehingga tidak terasa keistimewaan bahasa Al-Qur’an.<br />(2) Bahwasanya Al-Qur’an merupakan bacaaan yang dapat mendatangkan ganjaran. Artinya, sekedar membaca ayat-ayatnya saja sudah termasuk ibadah. Kalau sudah berupa terjemahan, ketentuan itu sudah tidak berlakulagi, sebab meskipun terjemahan Al-Qur’an, tetap tidak dapat dikatakan Al-Qur’an. Ini yang dimaksud bahwa melalui terjemahan, maksud-maksud pokok Al-Qur’an tidak dapat dipenuhi. Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah adalah karena kekhususan Al-Qur’an, kekhususan ungkapan gaya bahasanya, serta kekhususan urutan-urutannya. Sementara itu, membaca kitab lain bukan merupakan ibadah meskipun kitab itu tersusun dari bahasa Arab yang ungkapan dan gaya bahasanya mirip dengan ungkapan dan gaya bahasa Al-Qur’an. Maksud bukan ibadah disini ialah bukan ibadah yag setingkat dengan ibadah membaca Al-Qur’an.<br />Menerjemahkan Al-Qur’an seperti pemahaman diatas bagaikan menyamai Al-Qur’an, padahal itu tidak mungkin dilakukan sama sekali sebab yang namanya menyamai, semua kandungan makna dan maksud-maksudnya harus terpenuhi tidak tertinggal sedikipun, dan hal ini mustahil dicapai. Al-Qur’an sendiri secara terbuka menantang para penulis canggih bangsa Arab sekalipun dengan membuat sepotong surat pendek. Para penulis tidak berkutit sama sekali. Kalau penulis yang menggunakan bahasa Arab saja sudah angkat tangan, apalagi penulis yang bukan orang Arab, tentu akanlebih jauh lagi dari harapan. Jangankan menerjemahkan Al-Qur’an dalam arti seluruh makna dan tujuannya terpenuhi, menerjemahkan teks-teks kesusastraan dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lain pun tidak mungkin dilakukan. Jadi, kalau ada orang yang merasa shasil terjemahannya dalam kesusastraan tertentu misalnya sama dengan aslinya, dalam arti makana dan kandungan artinya tidak ada yang ketinggalan adalah sesuatu yang masih perlu dipertanyakan. Walaupun ada itu baru sekedar terilhami ole kesusastraan tersebut dan mendekati.<br />Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa menerjemahkan Al-Qur’an dalam arti terpenuhi makna dan maksud-maksud Al-Qur’an tidak dapat dilakukan, maksimum hanya dapat dilakukan pengadaan makna secara garis besarnya saja, sedangkan sebagian yang lain akan tertinggal, terutama yang menyangkut makna sekunder dan ketentuan membacanya sebagai ibadah. Yang lebih tidak mungkin lagi dilakukan adalah apabila penerjemahan harus ditambah dengan sebuah persyaratan kalimat murni.<br />Kalau yang dilakukan adalah terjemahan hariah, maka sekurang-kurangnya ada dua hal yang sulit dipenuhi oleh penerjemah:<br />(1) Sama dengan persoalan diatas, yakni pengadaaan makna sekunder sebagai contoh lain ialah “ظمأ” dalam surat Thaha 119 dengan bunyi lengkap “ وانك لاتظمؤافيها ولا تضحى” demikian pula dalam surat at Taubah ayat 120 dengan bunyi lengkap “ ذلك بانهم لايصيبهم ظمأ ولاتصب ولا محمصة”<br />(2) Pengadaan kata ganti (pronomina) yang sama dengan kata ganti bahasa Al-Qur’an, misalnya kata ganti untuk orang perempuan yang dibicarakan (persona ketiga) bentuk tunggal. Dalam bahasa Indonesia hanya ada dua macam bentuk tunggal untuk persona ketiga, yakni (1) ia, dia atau –nya dan (2) beliau.<br />Meskipun ia dan dia dalam banyak hal berfungsi sama, ada kendala tertentu yang dimiliki masing-masing. Dalam posisi sebagai subyek atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi jika berfungsi sebagai obyek atau terletak disebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan –nya yang dapat muncul. Demikian pula dalam kaitannya dengan preposisi, dia dan –nyadapat dipakai, tetapi ia tidak. Perhatikan contoh berikut<br />Dia<br /><br />Ia<br />(14) setuju dengan pendapat kami <br /><br /><br />Dia<br /><br />Ia<br />(15) pandai sekali<br /><br />*dia<br /><br />*ia<br />(16) Buku itu sudah dibacanya minggu yang lalu<br />dia<br />-nya<br />*ia<br /><br />(17) Memang, saya terpaksa memukul<br /><br />dia<br />-nya<br />*ia<br />(18) Yang berwarna merah buku<br /><br /><br />dia<br />-nya<br />*ia <br />(19) Saya akan pergi bersama<br /><br />dia<br />-nya<br />*ia <br /><br />(20) Berikan buku ini kepada<br />dia<br />-nya<br />*ia <br /><br />(21) Surat ini untuk<br /><br /><br />Pada contoh diatas, lambang <*> menandakan bahwa bentuk yang mengikutinya tidak diterima dalam bahasa baku. Jadi dalam bahasa Indonesia kata ia dan dia dipakai sebagai bentuk biasa untuk menyebutkan laki-laki dan perempuan atau benda-benda. Dalam bahasa Arab kata ia dan dia tidak dapat dipakai seperti pemakaiannya dalam bahasa Indonesia. Untuk menyebutkan orang laki-laki dipakai “هو” sedangkan untuk menyebutkan orang perempuan dipakai “هي”. Jadi, berbeda dengan bahasa Indonesia. Sebagai contoh dapat dilihat ayat-ayat dibawah ini<br />(22) .... وَابْيَضَّتْ عَيْنَاُه مِنَ الْحُزْنِ قَهُوَ كَظِيْم <a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />“... kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia adalah seorang yang menahan marahnya (terhadap anak-anaknya)<br />(23) قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِيْ عَنْ نَفْسِى ..... <a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a><br />Yusuf berkata,”Dia menggodaku agar aku menuruti kemauannya”...<br />Pada contoh (22) di atas, kata هو mengacu pada Nabi Yusuf sedangkan pada contoh (23), kata هي mengacu pada Zulaikha. Untuk menyebut benda-benda juga ada sendiri. Apabila bendanya tergolong mudzakkar (laki-laki) dipakai kata هو , dan apabila tergolong muannas (perempuan) dipakai kata هي perhatikan contoh berikut :<br />(24) ... قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ امَنُوا هُدًى وَشِفَآءً<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a><br />Katakanlah, “Ia adalah petunjuk dan penawar buat orang-orang yang beriman”.<br />(25) .... هِيَ تَجْرِي بِهِمْ فىِ مَرْجٍ كَالْجِبَالِ ....<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a><br />“ ... ia (bahtera) berlayar membawa mereka dalam gelombang bagaikan gunung.<br />Pada contoh diatas, kata ganti “هو” mengacu pada Al-Qur’an (القرأن) dan pada contoh (25) kata ganti “هي” mengacu pada bahtera (الفلق ). Jadi dalam bahasa Arab ada perbedaan antara ia/dia untuk menyebut benda-benda.<br />Pronomina persona ketiga tunggal beliauidipakai sebagai bentuk penghormatan untuk menyebut orang. Karena itu beliau, dalam bahasa Indonesia dipakai oleh orang yang lebih muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Contoh:<br />(26) Menteri baru saja menelepon dan mengatakan bahwa beliau tidak dapat hadir.<br />(27) Saya rasa dia-maksud saya beliau tidak akan menolak usul ini.<br />Pada contoh (26) di atas, beliau merupakan pengganti dari kata ia (menteri), dan pada contoh (27) kata beliau merupakan kata pengganti dari kata dia. Karena itu, beliau sama saja dengan ia / dia.<br />Dalam bahasa Arab kata beliau hanya merupakan padanan dari kata هو dan هي (bila dikehendaki). Karena itu, kalau beliau dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab sama saja yakni merupakan pengganti dari kata ia / dia atau هو / هي . Perbedaan hanya pada kekhususan pemakaian kata هو / هي itu sebagaimana dikemukakan di atas.<br />Pronomina persona ketiga jamak dalam bahassa Indonesia adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Akan tetapi, pada cerita fiksi atau narasi lain yang mengunakan gaya fiksi kata mereka kadang-kadang juga dipakai untuk mengacu ke binatang atau benda yang dianggap bernyawa seperti terlihat pada contoh berikut :<br />(28) Sejak dulu anjing dan kucing selalu bermusuhan. Setiap kali bertemu mereka berkelahi.<br />(29) Pohon mangga dan pohon rambutan ketakutan setelah mendengar Pak Tani akan menebangnya. Mereka berjanji akan berbuah.<br />Jadi, mereka tidak mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi manapun hanya bentuk itulah yang dapat dipakai : usul mereka, rumah mereka, kepada mereka. Bahasa Arab membedakan mereka yang dipakai untuk menyebut laki-laki, dengan mereka yang dipakai untuk menyebut perempuan. Disamping itu bahasa Arab juga membedakan mereka yang dipakai untuk menyebut insan atau makhluk berfikir dengan mereka yang dipakai untuk menyebut benda atau binatang. Mereka untuk menyebut laki-laki dipakai واولحماعة dan هم<br />Contoh<br />(30) وَجَآءُ وْااَبَاهُمْ عِشَآءًيَّبْكُوْنَ <a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a><br />“Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis.<br />(31) فَلَمَّا ذَهَبُوْا بِهِ وَاَجْمَعُوْآاَنْ يَجْعَلُوْهُ فِى غَيَابَةِ الْجُبِّ وَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِاَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لاَ يَشْعُرُوَْنَ<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a><br />‘Maka tak kala mereka membawa Yusuf, dan sepakat bahwa mereka akan memasukkannya ke dasar sumur, kami mewahyukan kepada Yusuf,” Sesunguhnya engkau akan menceritakan perbuatan mereka ini kepada mereka, sedangkan mereka sudah tidak ingat lagi.”<br />Mereka untuk menyebut perempuan dipakai هُنَّ dan نون النسوه<br />Contoh :<br />(32) فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ اَرْسَلَتْ اِلَيْهِنَّ وَاَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَأَتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّيْنًا وَقاَلَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ <a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a>فَلَمَّا رَاَيْنَهُ اَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ اَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَا حَاشَا ِللهِ مَاهَذَا بَشَرًا اِنْ هَذَا اِلاَّمَلَكْ كَرِيْمٌ<br />Tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka(wanita-wanita dikota) diundangnyalah mereka itu dan disediakannya bagi mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Zulaikha berkata (kepada yusuf),” Keluarlah (perlihatkanlah dirimu) kepada mereka. Tatkala mereka itu melihatnya, mereka kagum kepada keelokan rupanya, dan mereka melukai (jari) tangan mereka dan mereka berkata,”Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia.”<br />Mereka menyebut insan atau makhluk berfikir di pakai هن، هم، واو الجماعه dan نون نسواة<br />Contoh<br />(33) وَجَآءَ اِخْوَةُ يُوْسُفَ فَدَخَلُوْا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُوْنَ<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br />Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)nya. Yusuf mengenal mereka, sedangkan mereka terhadap Yusuf tidak kenal lagi.<br />(34) َواَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ اَنْ لَنْ يَبْعَثَ اللهُ اَحَدًا<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a><br />Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka (mereka jin) sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rosul)pun.<br />(35) وَالّتِي يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَآئِكُمْ فَاشْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ اَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَاِنْ شَهِدُوْ فَاَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتَّى <a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a>يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ اَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً.<br />“Dan terhadap para wanita yang mereka mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi (yang menyaksikan perbuatan) mereka diantara kamu. Apabila diantara mereka memberikan kesaksian, maka tahanlah mereka (wanita-wanita) itu di dalam rumah sampai mereka meninggal dunia dan Allah memberikan jalan kepada mereka.<br />Mereka untuk menyebut benda atau binatang dipakai هي sekaligus huruf ت ta’nis (perempuan) pada kata kerja atau hanya dengan memakai ت ta’nis (perempuan) saja pada kata kerja (tanpa هي) contoh<br />(36) وَتَرَ الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَّهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللهِ الَّذِيْ اَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ اِنَّهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَفْعَلُوْنَ<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a><br />“Kamu melihat gunung itu, kamu menyangka mereka tetap pada tempatnya padahal mereka berjalan bagaikan awan. (Begitulah) pembuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu lakukan.<br />(37) تَعِيْثُ اْلفِيَلَةُ فِى الْغَابَاتِ<br />Mereka (gajah-gajah) hidup di hutan<br />Untuk pronomina penunjuk umum dalam bahasa Indonesia hanya ada tiga macam, yakni ini, itu, dan anu. Kata ini mengacu ke acuan yang dekat dengan pembicaraan / penulis, kemasa yang akan datang, atau ke informasi yang akandisampaikan. Kata itu mengacu ke acuan yang agak jauh dari pembicara / penulis, ke masa yang lampau. Kata anu mengacu ke acuan yang tidak dapat disebutkan (karena tidak ingat / lupa), atau karena tidak ingin disebutkan. Perhatikan contoh berikut:<br />(38) Ini / itu rumah saya<br />(39) Ini / itu / anu yang menyebabkan penyakit kulit<br />(40) Dia membeli ini / itu / anu kemarin.<br />(41) Bu Wies memberikan ini / itu kepada saya<br />(42) Jawaban dia ini / itu<br />(43) Rumah saya ini / itu.<br />Dalam bahasa Arab bentuk dan bunyi-pronomina penunjuk dapat dibedakan antara yang mengacu pada laki-laki dan yang sejenis atau yang mengacu pada perempuan dan yang sejenis, dan antara yang mengacu pada tunggal atau dua atau jamak. Kata “ ذَا “ mengacu ke acuan tunggal laki-laki dan yang sejenis. Kata “ذِهِ “ mengacu ke acuan tunggal perempuandan yang sejenis. Kata “ ذَانِ mengacu ke acuan dua laki-laki dan yang sejenis. Kata “تَانِ “ mengacu ke acuan dua perempuan dan yang sejenis. Kata “ اُولاَءِ” mengacu ke acuan jamak laki-laki atau perempuan.<br />Bila yang diinginkan itu pronomina penunjuk yang mengacu ke acuan yang dekat atau pronomina penunjuk umum, maka bentuk-bentuk dan bunyi pronomina di atas harus ditambah dengan “هاء” pada bagian depan (huruf pertama). Dengan demikian bentuk-bentuk dan bunyi pronomina tersebut berubah menjadi هذا ، هذه ، هذان، هاتان ، dan هؤلاء. Perhatikan contoh-contoh berikut :<br />(44) هَذَا طَالِبٌ مُجْتَهِدٌ<br />“Mahasiswa ini bersungguh-sungguh”.<br />(45) ... يَا مَرْيَمُ اَنّى لَكِى هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ ...<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a><br />Zakaria bertanya, “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini ? Maryam menjawab,”makanan ini dari Allah.”<br />(46) هَذِهِ مُدَرِّسَةُ اللُّغَِة الْعَرَبِيَّةِ<br />Wanita itu guru bahasa Arab<br />(47) قَالَ اَنَّى يُحْيِى هَذِهِ اللهُ بَعْدَ مَوْتِهَا<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a><br />“Ia bertanya,”Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri itu setelah hancur?”<br />(48) هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوْا فِي رَبِّهِمْ ...<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a><br />Inilah dua golongan (golongan mukimin dan golongan kafir) yang bertengkar. Mereka bertengkar mengenai Tuhan.<br />(49) هَاتَانِ مُدَرِّسَتَانِ بِالْجَامِعَةِ اْلاِسْكَنْدَرِيَةِ<br />Kedua wanita itu dosen Universitas Iskandariyah.<br />(50) هَاتَانِ قِصَّتَانِ مُعْجِبَتَانِ<br />Kedua kisah ini menarik<br />(51) فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ هؤُلآءِ شَهِيْدًا<br />Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila kami mendatangkan seorang saksi (rosul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi bagi mereka (sebagai umatmu).<br />Jadi, dalam bahasa Arab bentuk-bentuk dan bunyi pronomina laki-laki dan yang sejenis seperti “ هذا” diatas, ada sendiri. Demikian pula dengan pronomina perempuan dan yang sejenis, pronomina tunggal, dua, dan jamak, sedang dalam bahasa Indonesia tidak ada sehingga tidak pas diartikan secara harfiah seperti dalam contoh-contoh diatas.<br />Demikian rumitnya jalan yag ditempuh penerjemah harfiah sehingga dinyatakan haram bagi yag mencobanya. Kalau ini hanya sekedar, hukumnya tidak haram kerena masih dalam ruang lingkup keterbatasan kemampuan manusia. Soal berhasil atau tidak adalah masalah lain.<br />Meskipun az-Zarqaniy berpendapat haram, sebenarnya dapat dipahami dan dimaklumi jalan pikirannya ketika menyimpulkan hukum menerjemahkan ini. Ketika itu jalan pikirannya sama dengan jalan pikiran orang yang mengatakan pintu ijtihad sudah tertutup. Sebenarnya pintu ijtihad tetap terbuka, akan tetapi karena syarat-syaratnya sangat berat dan rasa-rasanya tidak mungkin dipenuhi oleh perorangan, lalu dikatakan saja tertutup.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Az Zarqaniy, Manahilu al-Irfan fi ‘Ulumi Al-Qur’an, ttp. Isa al-Babiy al-Halaby wa Syurakahu, 1362 H = 1943 M,. hlm. 109<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Az Zarqaniy, op. cit. hlm. 111.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Disarikan dari Az Zarqaniy, op. cit. hlm. 113.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Q.S. 18. 18.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Q.S. 10. 56.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Q.S. 2. 286.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Q.S. 97. 4<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Q.S. 12. 82<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Q.S. 51. 47.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Q.S. 2. 19.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Rafa’, nasab dan jar ialah tanda untuk kedudukan kata sebagai unsur bahasa.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Muhammad Abdul ‘Adzim Az Zarqaniy Manahilul al-Irfan fi ulumil Qur’an hlm. 12.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Q.S. 16. 144.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Q.S. 12. 84.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Q.S. 12. 26.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Q.S. 11. 44.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Q.S. 11. 42.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Q.S. 12. 16.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Q.S. 12. 15<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Q.S. 12. 31.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Q.S. 12. 58.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Q.S. 72. 7.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> Q.S. 4. 15<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> Q.S. 27. 88.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Q.S. 3. 37.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> Q.S. 2. 259.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2069164826267623709#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> Q.S. 22. 19.</div>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-16225012065038240392008-08-09T01:01:00.000-07:002008-08-12T06:50:54.259-07:00KARYA ILMIAHSTUDI TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN TERPADU PEMBINAAN ANAK BERIMAN DAN BERKEPRIBADIAN BAGI SISWA SD DI KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2003-2007trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-37888190822769244232008-07-28T21:34:00.000-07:002009-09-30T08:23:53.758-07:00Ijin SIOP<div align="center"><br /><strong>PIMPINAN CABANG MUHAMMADIYAH<br />PANTI ASUHAN YATIM MUHAMMADIYAH “AL HUDA”<br />KECAMATAN KALIGESING KAB. PURWOREJO<br />Alamat : Kaliharjo, RT.02/II. Kec. Kaligesing Purworejo (54175) Telp.02753316065.HP 0811266275</strong><br /><br />Nomor : 01/PAYM-Al Huda-Klg/X/06 Purworejo, 30 Januari 2007<br />Lampiran : 1 (satu ) bendel<br />Perihal : Permohonan Pendaftaran<br />Organisasi Sosial K E P A D A<br />Yth.Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial<br />Propinsi Jawa Tengah<br />Di S E M A R A N G<br /><br />Menurut Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nome : 40 / HUK / KEP /X-1980 tanggal 1 Oktober 1980, dengan ini kami pengurus mengajukan permo honan pendaftaran Organisasi Sosial dengan keterangan sebagai berikut;<br /><br />1. Nama Organisasi Sosial : Yayasan Panti Asuhan Muhammadiyah Al Huda Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo<br />2. Alamat Kantor : Krajan RT. 02/II Kaliharjo Kecamatan Purworejo.<br />3. Akte Notaris : No. : A/2. 975/1986<br />4. Anggaran Dasar dan Rumah Tangga : PP Muhammadiyah<br />5. Azas/Tujuan : Memberi Kesejahteraan, Perawatan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang.<br />Perintah Allah Swt agar menyantuni anak yatim dan fakir miskin.<br />6. Status Organisasi : Cabang<br />7. Lingkup wilayah kegiatan : Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo<br />8. Kegiatan dibidang usaha kesejahteraan sosial :<br />a. Yang sudah dilaksanakan : Panti Asuhan Yatim<br />Panti Asuhan Fakir Miskin dan terlantar<br />b. Yang sedang dilaksanakan : Panti Asuhan Yatim<br />Panti Asuhan Fakir Miskin dan terlantar<br />c. Yang Tahap Perintisan : Pembinaan Usaha Ekonomi Produktif ( UEP )<br />9. Sumber Dana dan Bantuan :<br />a. Dana Bantuan Dari Dalam Negeri ;<br />1. Usaha Sendiri : Uang Rp 20.000.000, barang tanah wakaf/gedung.<br />2. Donatur : Uang Rp 3.000.000, barang, beras bahan pokok.<br />3. Bantuan dari Instansi : Uang Rp 10.000.000, Stimulan UEP, barang<br />Permakanan dari APBD Propjateng : Uang Rp 1.400.000, Rutin<br />b. Dana Bantuan dari Luar Negeri : -<br />c. Insentif Uang : -<br />10. Kekayaan :<br />a. Benda bergerak : Rp 40.000.000,-<br />b. Benda Tidak Bergerak : Rp 60.000.000,-<br />c. Dua tanah sertifikat wakaf dg ukuran : 1. PAY Putri 200 M2 dan PAY Putra 2.500 M2.<br />11. Keterangan Lain-lain : Ijin Operasional Orsos dengan No.552/ ORSOS/ XI.2003, hampir habis masa berlakunya. Terhitung tanggal 4 Nopember 2006.<br />Mohon dengan hormat untuk perpanjangan Ijin Operasional tersebut.<br /><br />Mengetahui/Menyetujui Pimpinan Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah<br />Kepala Dinas KSDPM Purworejo Al Huda Kec. Kaligesing Kab. Purworejo<br /><br /><br /><br /><br /><br />Dra. WORO WIDYAWATI MUSLIHAH, S.Pd.<br />NIP. 500081996<br />Tembusan dikirim kepada ;<br />Yth. Bapak Bupati Purworejo<br />Yth. Bapak Kepala Kantor Kesatuan Bangsa Dan Perlindungan Masyarakat Purworejo.<br />Yth. Kepala Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial Kab. Purworejo<br />Yth. Bapak Kepala Dinas Sosial dan Kesejahteraan Sosial Kab. Purworejo<br />Arsip.</div>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-63485815052954822782008-07-28T08:10:00.001-07:002008-07-28T08:11:13.804-07:00WisudaS2 MSI<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" bgcolor="#ffffff"><tr><td><a href="http://smilebox.com/play/4e4445314d6a4d304d773d3d0d0a&campaign=blog_playback_link&blogview=true" target="_blank"><img width="386" height="303" alt="Click to play wisuda S2 MSI" src="http://smilebox.com/snap/4e4445314d6a4d304d773d3d0d0a.jpg" style="border: medium none ;" /></a></td></tr><tr><td><a href="http://www.smilebox.com/?partner=smilebox&campaign=blog_snapshot" target="_blank"><img width="386" height="46" alt="Create your own photobook - Powered by Smilebox" src="http://www.smilebox.com/globalImages/blogInstructions/blogLogoSmileboxSmall.gif" style="border: medium none ;" /></a></td></tr><tr><td align="center"><a href="http://www.smilebox.com/photobooks" target="_blank">Make a Smilebox photobook</a></td></tr></table>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-53234863346250250272008-07-26T23:45:00.000-07:002008-07-26T23:48:52.302-07:00wisuda S2 MSI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE9jE20vC_moobG6ZyG7edg-Dpl8kVfVNvB-bCFKMcP1UHnK_cIS6geKj95QHl8JE7t8AS4jaPzHfVQ2Ipw4wQxs08LTdUNlr9M7kpq-RqVw9VukxAD6kbs45pJghmkAkP_nM4X37TMdTU/s1600-h/DSCF0025.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE9jE20vC_moobG6ZyG7edg-Dpl8kVfVNvB-bCFKMcP1UHnK_cIS6geKj95QHl8JE7t8AS4jaPzHfVQ2Ipw4wQxs08LTdUNlr9M7kpq-RqVw9VukxAD6kbs45pJghmkAkP_nM4X37TMdTU/s320/DSCF0025.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5227581855757501218" border="0" /></a>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2069164826267623709.post-62460419736735690742008-07-26T07:20:00.001-07:002008-07-26T07:24:26.873-07:00biografi<p>Nama : Tri Hantoro, S.Pd.I, M.S.I</p><p>Tanggal Lahir : Surakarta, 6 Juni 1956</p><p></p>trihantorohttp://www.blogger.com/profile/17962331175423013861noreply@blogger.com2